“Belajarlah
sedikit demi sedikit mengurangi intensitas kecuekanmu”
Saya terdiam mendengar kalimatnya. Entah sudah yang keberapa
kali kalimat semacam ini dilemparkan pada saya. Di antara sekian jumlah manusia, dia
termasuk dari sedikit yang bertahan berteman dengan saya. Sore itu dia
kembali menegur saya yang melewatkan beberapa hal penting. Kadang saya bingung
juga, kenapa orang lain dengan mudahnya bisa memperhatikan berbagai hal
sementara saya, nanti setelah berkali-kali lihat baru menyadari ada perubahan
di sekitar saya. Sepertinya saraf kepekaan saya kurang sensitif menanggapi situasi.
Bahkan meski itu ada kaitannya dengan saya sendiri.
Yoru pernah bilang bahwa seringkali masalah dalam pertemanan
muncul karena di satu pihak terlalu banyak rasa “tidak enak” sementara pada
saat yang sama, sensitivitas di pihak lain terlalu rendah. Sebelumnya saya
tidak begitu mempermasalahkan apa-apa yang saya kenakan. Selama tidak membuat
sesak napas dan tidak mengganggu mata orang lain, saya akan memakainya.
Kekurangan yang lain adalah jika menyukai sesuatu, saya tidak akan
mengganti-gantinya.
Pernah suatu hari seorang sahabat memberi hadiah selembar
jilbab hitam. Saking sukanya, saya memakai jilbab itu ke kampus hampir setiap
hari. Mulai dari senin sampai jumat. Begitu pulang langsung dicuci, dijemur,
disetrika dan dipakai lagi keesokan harinya. Karena terlalu sering dipakai, lama
kelamaan menjadi identitas. Sampai-sampai bila ada yang bertanya tentang saya, yang
lain akan menimpali dengan kalimat : “Yang selalu pakai jilbab hitam kan ?”
Tanpa saya sadari, ternyata beberapa teman menyusun
rencana yang secara halus menyuruh saya mengganti jilbab warna lain. Tapi tidak berhasil. Saya tidak peka dengan maksud mereka. Belakangan saya baru tahu
bahwa jilbab hitam itu mereka yang sering sembunyikan, bukan karena saya yang
lupa menaruhnya. Masalah sepele ini sampai harus membawa-bawa “kepala suku”.
Dalam suatu musyawarah kecil, di bagian pembuka majelis entah mengapa diangkat
tema zuhud. Ketika beliau sampai pada kalimat bahwa sikap zuhud bukan berarti
tidak pernah ganti jilbab, saya mulai menangkap bahwa sayalah yang dimaksud. Kemudian
hari saya diberi tahu bahwa mereka tidak enak hati bila harus mengatakannya
secara langsung. Sementara sinyal kepekaan saya juga tidak cukup untuk menangkap
maksud yang sehalus itu.
Pada dasarnya, saya memang tidak begitu memperhatikan
pendapat orang lain. Saya tidak ambil pusing bagaimana orang lain memandang
saya, dari mana saya berasal, cara berpikir saya, sifat saya dan semacamnya. Orang-orang
melihat, lalu menyimpulkan, kemudian ditutup dengan penilaian. Bisa benar,
seringkali pula salah. Bukankah umumnya manusia seperti itu ? Tanpa disadari
bahwa kemampuan menilai tergantung dari sejauh mana kemampuan mengamati, dan
kemampuan mengamati jelas dibatasi oleh jarak pandang. Sehingga memberi
penilaian yang hanya berdasar jarak pandang terlebih jika hanya dilihat dari
jauh tidak akan sampai pada kesimpulan yang sebenarnya. Ah, tapi kenapa pula
saya membahas tentang ini. Kita kembali.
Sikap buruk lainnya adalah kebiasaan “membangun tembok”. Latar belakang
keluarga yang memang tidak dibiasakan mengungkapkan perasaan secara langsung. Baik
ibu maupun ayah bukanlah tipe manusia yang bisa terus terang mengutarakan isi
hati. Pun terhadap anak-anaknya. Selain itu, sejak kecil saya sudah tinggal
bersama nenek, terpisah dari orangtua dan kedua adik saya. Saya sering berada
dalam kondisi memegang setumpuk masalah dan keresahan di tangan, lalu berjalan
membawanya mencari orang-orang yang sekiranya bisa saya percayakan apa yang
sedang saya pegang, namun pada akhirnya saya tidak menemukan satu pun. Tidak
nenek, tidak teman-teman, tidak juga sepupu, terlebih pada ayah dan ibu. Itu akan
membuat saya tampak cengeng di depan mereka. Dan lagi, bukankah setiap manusia
juga punya masalah masing-masing yang belum tentu dapat mereka selesaikan ? Jadi
kupikir tidak perlu menambah beban pikiran mereka dengan masalah baru. Sehingga
tempat terakhir menampung semua itu, apalagi kalau bukan, dengan menuliskannya.
Perlahan-lahan kemudian saya membangun pembatas dengan
orang-orang sekitar. Rasanya saya lebih aman dengan kondisi seperti itu. Bukan
hanya saya yang aman dari perlakuan orang lain, tapi dengan begitu, orang lain
juga tidak akan tersakiti oleh saya. Makanya dalam berteman saya tidak terlalu
dekat dengan orang lain. Pun sebaliknya, saya tidak pernah membiarkan orang
lain bergantung pada saya. Saya tidak ingin orang lain jauh memasuki kehidupan
saya.
Dengan sikap seperti ini, tidak heran bila saya sering
ditinggalkan. Teman sebangku saya pernah minta tukar tempat duduk karena tidak
bisa lagi kompromi dengan saya. Dia sering jalan ke mana-mana, makan di tempat
ini, makan di tempat itu. Sementara saya lebih suka masakan nenek (penghalusan
dari kere. Hehehe). Dia gaul, saya kuper. Dia sering ikut acara ngumpul-ngumpul,
saya lebih suka nongkrong depan TV nonton Extravaganza atau jalan-jalan ke
perpus. Bila diajak ikut, saya lebih banyak menolak.
Kelemahan saya yang lain adalah tidak berusaha menahan
orang yang ingin pergi atau menjauh dari saya. Bila dengan begitu orang lain
akan merasa lebih baik, silakan. Tidak terlalu dekat dan tidak terlalu jauh, itulah
cara terbaik. Dengan sifat ini, saya tidak akan menjadi tipe manusia yang
dirindukan bila jauh. *Sesenggukan di balik
pintu*
Terlepas
dari semua itu, saya bersyukur sampai saat ini dianugerahi segelintir teman
yang berbanding terbalik dengan saya. Yang bertahan dengan segala kekurangan
saya. Mereka yang selalu menyeimbangkan kehidupan saya yang terlalu miring ke
kiri. Terlalu kaku. Terlalu cuek. Dari mereka saya belajar bagaimana
memperlakukan orang lain. Bagaimana menekan ego dan melatih kesabaran. Mereka
ada untuk mengingatkan saya ketika lalai. Mereka ada untuk menarik dan menahan
saya di saat yang tepat.