20 April 2013

Gado-gado Kebiasaan Buruk

“Belajarlah sedikit demi sedikit mengurangi intensitas kecuekanmu”

Saya terdiam mendengar kalimatnya. Entah sudah yang keberapa kali kalimat semacam ini dilemparkan pada saya. Di antara sekian jumlah manusia, dia termasuk dari sedikit yang bertahan berteman dengan saya. Sore itu dia kembali menegur saya yang melewatkan beberapa hal penting. Kadang saya bingung juga, kenapa orang lain dengan mudahnya bisa memperhatikan berbagai hal sementara saya, nanti setelah berkali-kali lihat baru menyadari ada perubahan di sekitar saya. Sepertinya saraf kepekaan saya kurang sensitif menanggapi situasi. Bahkan meski itu ada kaitannya dengan saya sendiri. 

Yoru pernah bilang bahwa seringkali masalah dalam pertemanan muncul karena di satu pihak terlalu banyak rasa “tidak enak” sementara pada saat yang sama, sensitivitas di pihak lain terlalu rendah. Sebelumnya saya tidak begitu mempermasalahkan apa-apa yang saya kenakan. Selama tidak membuat sesak napas dan tidak mengganggu mata orang lain, saya akan memakainya. Kekurangan yang lain adalah jika menyukai sesuatu, saya tidak akan mengganti-gantinya. 

Pernah suatu hari seorang sahabat memberi hadiah selembar jilbab hitam. Saking sukanya, saya memakai jilbab itu ke kampus hampir setiap hari. Mulai dari senin sampai jumat. Begitu pulang langsung dicuci, dijemur, disetrika dan dipakai lagi keesokan harinya. Karena terlalu sering dipakai, lama kelamaan menjadi identitas. Sampai-sampai bila ada yang bertanya tentang saya, yang lain akan menimpali dengan kalimat : “Yang selalu pakai jilbab hitam kan ?”

Tanpa saya sadari, ternyata beberapa teman menyusun rencana yang secara halus menyuruh saya mengganti jilbab warna lain. Tapi tidak berhasil. Saya tidak peka dengan maksud mereka. Belakangan saya baru tahu bahwa jilbab hitam itu mereka yang sering sembunyikan, bukan karena saya yang lupa menaruhnya. Masalah sepele ini sampai harus membawa-bawa “kepala suku”. Dalam suatu musyawarah kecil, di bagian pembuka majelis entah mengapa diangkat tema zuhud. Ketika beliau sampai pada kalimat bahwa sikap zuhud bukan berarti tidak pernah ganti jilbab, saya mulai menangkap bahwa sayalah yang dimaksud. Kemudian hari saya diberi tahu bahwa mereka tidak enak hati bila harus mengatakannya secara langsung. Sementara sinyal kepekaan saya juga tidak cukup untuk menangkap maksud yang sehalus itu. 

Pada dasarnya, saya memang tidak begitu memperhatikan pendapat orang lain. Saya tidak ambil pusing bagaimana orang lain memandang saya, dari mana saya berasal, cara berpikir saya, sifat saya dan semacamnya. Orang-orang melihat, lalu menyimpulkan, kemudian ditutup dengan penilaian. Bisa benar, seringkali pula salah. Bukankah umumnya manusia seperti itu ? Tanpa disadari bahwa kemampuan menilai tergantung dari sejauh mana kemampuan mengamati, dan kemampuan mengamati jelas dibatasi oleh jarak pandang. Sehingga memberi penilaian yang hanya berdasar jarak pandang terlebih jika hanya dilihat dari jauh tidak akan sampai pada kesimpulan yang sebenarnya. Ah, tapi kenapa pula saya membahas tentang ini. Kita kembali. 

Sikap buruk lainnya  adalah kebiasaan “membangun tembok”. Latar belakang keluarga yang memang tidak dibiasakan mengungkapkan perasaan secara langsung. Baik ibu maupun ayah bukanlah tipe manusia yang bisa terus terang mengutarakan isi hati. Pun terhadap anak-anaknya. Selain itu, sejak kecil saya sudah tinggal bersama nenek, terpisah dari orangtua dan kedua adik saya. Saya sering berada dalam kondisi memegang setumpuk masalah dan keresahan di tangan, lalu berjalan membawanya mencari orang-orang yang sekiranya bisa saya percayakan apa yang sedang saya pegang, namun pada akhirnya saya tidak menemukan satu pun. Tidak nenek, tidak teman-teman, tidak juga sepupu, terlebih pada ayah dan ibu. Itu akan membuat saya tampak cengeng di depan mereka. Dan lagi, bukankah setiap manusia juga punya masalah masing-masing yang belum tentu dapat mereka selesaikan ? Jadi kupikir tidak perlu menambah beban pikiran mereka dengan masalah baru. Sehingga tempat terakhir menampung semua itu, apalagi kalau bukan, dengan menuliskannya. 

Perlahan-lahan kemudian saya membangun pembatas dengan orang-orang sekitar. Rasanya saya lebih aman dengan kondisi seperti itu. Bukan hanya saya yang aman dari perlakuan orang lain, tapi dengan begitu, orang lain juga tidak akan tersakiti oleh saya. Makanya dalam berteman saya tidak terlalu dekat dengan orang lain. Pun sebaliknya, saya tidak pernah membiarkan orang lain bergantung pada saya. Saya tidak ingin orang lain jauh memasuki kehidupan saya. 

Dengan sikap seperti ini, tidak heran bila saya sering ditinggalkan. Teman sebangku saya pernah minta tukar tempat duduk karena tidak bisa lagi kompromi dengan saya. Dia sering jalan ke mana-mana, makan di tempat ini, makan di tempat itu. Sementara saya lebih suka masakan nenek (penghalusan dari kere. Hehehe). Dia gaul, saya kuper. Dia sering ikut acara ngumpul-ngumpul, saya lebih suka nongkrong depan TV nonton Extravaganza atau jalan-jalan ke perpus. Bila diajak ikut, saya lebih banyak menolak. 

Kelemahan saya yang lain adalah tidak berusaha menahan orang yang ingin pergi atau menjauh dari saya. Bila dengan begitu orang lain akan merasa lebih baik, silakan. Tidak terlalu dekat dan tidak terlalu jauh, itulah cara terbaik. Dengan sifat ini, saya tidak akan menjadi tipe manusia yang dirindukan bila jauh. *Sesenggukan di balik pintu*

Terlepas dari semua itu, saya bersyukur sampai saat ini dianugerahi segelintir teman yang berbanding terbalik dengan saya. Yang bertahan dengan segala kekurangan saya. Mereka yang selalu menyeimbangkan kehidupan saya yang terlalu miring ke kiri. Terlalu kaku. Terlalu cuek. Dari mereka saya belajar bagaimana memperlakukan orang lain. Bagaimana menekan ego dan melatih kesabaran. Mereka ada untuk mengingatkan saya ketika lalai. Mereka ada untuk menarik dan menahan saya di saat yang tepat.
 
;