Memakai pakaian yang sesuai syari’at bukanlah
segala-galanya. Itu hanyalah salah satu bentuk keimanan atas perintah yang
tercantum jelas dalam surah An Nur ayat 31 dan Al Ahzab ayat 59. Memakai pakaian
syar’i tidak lantas membuat seseorang bisa disebut sebagai sosok ideal. Tidak
otomatis membuat seseorang paham sepenuhnya ilmu agama. Tidak. Mereka baru saja
membuka gerbang dari sebuah proses panjang dan mungkin tak berujung. Mereka
baru saja memasuki tahap awal dari rentetan konsekuensi sebuah pilihan. Di dunia
ini ada banyak pilihan. Kita selalu dihadapkan pada berbagai pilihan. Dan
setiap pilihan selalu menanam konsekuensi di baliknya. Ada banyak orang yang
ingin berubah menjadi lebih baik. Yang membedakannya adalah bahwa ada yang siap
dan ada yang tidak siap berubah.
Seseorang yang memilih untuk menutup aurat sesuai
syariat harus siap dengan sederet konsekuensinya. Siap untuk istiqomah dengan
pakaiannya. Siap untuk menambah ilmunya. Siap untuk tidak berjabat tangan
dengan bukan mahramnya. Siap untuk memperbaiki tingkah lakunya. Siap untuk
menata hatinya. Dan siap untuk memperjuangkan pilihannya itu. Yang membedakan dari
orang kebanyakan adalah kesiapan ini. Banyak orang yang ingin berubah namun
ditunda-tunda atau bahkan dilupakan karena berbagai pertimbangan tadi.
Tapi sekali lagi, bahwa memakai pakaian syar’i tidaklah berarti segala-galanya. Ia hanyalah salah satu aspek keimanan. Manusia selalu berada di antara dua hal, amal dan dosa, baik dan buruk, taat dan tidak taat. Manusia adalah manusia, bukan malaikat. Manusia punya akal, tapi juga punya hawa nafsu. Keimanan-lah yang menengahinya. Namun bahkan iman pun selalu berfluktuasi. Ia tidak statis sebagaimana malaikat. Ia bisa meroket dengan kebaikan dan bisa pula terjun bebas karena kemaksiatan. Sehingga wajarlah bila manusia disebut sebagai tempatnya salah. Manusia adalah tempatnya salah, bahkan pada mereka yang diberi kelebihan ilmu dibanding yang lain. Bahkan pada mereka yang telah lebih dulu menjemput hidayah. Bahkan pada mereka yang bergelar murabbi atau murabbiyah.
Tapi sekali lagi, bahwa memakai pakaian syar’i tidaklah berarti segala-galanya. Ia hanyalah salah satu aspek keimanan. Manusia selalu berada di antara dua hal, amal dan dosa, baik dan buruk, taat dan tidak taat. Manusia adalah manusia, bukan malaikat. Manusia punya akal, tapi juga punya hawa nafsu. Keimanan-lah yang menengahinya. Namun bahkan iman pun selalu berfluktuasi. Ia tidak statis sebagaimana malaikat. Ia bisa meroket dengan kebaikan dan bisa pula terjun bebas karena kemaksiatan. Sehingga wajarlah bila manusia disebut sebagai tempatnya salah. Manusia adalah tempatnya salah, bahkan pada mereka yang diberi kelebihan ilmu dibanding yang lain. Bahkan pada mereka yang telah lebih dulu menjemput hidayah. Bahkan pada mereka yang bergelar murabbi atau murabbiyah.
Kekeliruan kita hanyalah bahwa kita menempatkan
orang-orang ini pada posisi yang melebihi kapasitasnya. Mungkin kita terlalu
menganggap mereka sebagai sosok yang sempurna. Yang harus anggun, lemah lembut
dan paham berbagai ilmu. Yang tidak boleh melakukan kesalahan sedikitpun di
depan mata kita. Dan bila itu terjadi, maka yang tersisa hanya kekecewaan. Yang
tersisa hanyalah sakit hati. Kita lupa bawa mereka pun masih berproses. Kita
lupa bahwa kita yang saat ini sangat jauh dari sosok seorang Khadijah, Fatimah,
Aisyah atau Sumayyah. Maka tempatkanlah mereka sesuai kapasitasnya.
Kekeliruan yang lain di luar hal tadi adalah penarikan
kesimpulan dari suatu kasus sebagai bukti pembenaran. Sebagai contoh, syariat
telah mengatur bagaimana cara bergaul laki-laki dan perempuan yang bukan
mahram, sehingga pacaran termasuk hal yang dilarang. Namun pada kenyataannya kita
mendapati ada yang berilmu dan menutup aurat dengan baik, namun mengejutkan karena
ternyata ia berpacaran. Sehingga muncullah pernyataan-pernyataan seperti, : “Siapa bilang pacaran dilarang ? Tuh, si A
jilbaber tapi bisa kok pacaran”. Jika syariat sudah melarang, lalu ada
orang yang paham namun melanggarnya maka yang bermasalah bukan aturannya, tapi
pelakunya. Dan itu bukan alasan untuk mencari-cari pembenaran. Pun kita tidak
perlu menghabiskan waktu untuk membahasnya. Yang perlu kita lakukan adalah
menaati aturan yang telah ditetapkan, mendoakan orang tersebut dan berdoa pula
untuk diri sendiri agar bisa istiqomah dan tidak terjatuh pada kesalahan yang
sama.
Manusia akan diuji dengan perkataannya. Dari
kalimat-kalimat yang meluncur di lisannya. Atau dari rangkaian huruf yang ia
tuliskan lewat jemari tangannya. Kalimat itu akan kembali pada pemiliknya
sebagai sebuah ujian. Untuk melihat apakah ia mampu mengaplikasikan atau hanya
semata ucapan. Kita semua sedang berproses, di titik manapun itu. Sebagai orang
awam maupun sebagai orang paham. Kita masih berproses.
“Ya Allah, aku
memohon keteguhan hati dalam tiap urusan. Aku memohon kepada-Mu kemauan kuat
untuk mendapat petunjuk-Mu. Aku memohon kepada-Mu agar dapat bersyukur atas
nikmat-Mu dan agar dapat beribadah dengan baik kepada-Mu. Aku mohon agar diberi
lisan yang jujur dan hati yang sehat. Aku berlindung dari segala kejahatan yang
Engkau ketahui. Dan memohon segala kebaikan yang Engkau ketahui. Aku memohon
ampun kepada-Mu dari (kesalahan) yang Engkau ketahui, karena Engkau Mahatahu
hal-hal ghaib”
~HR. Ahmad, At-Tirmidzi, An-Nasai~