19 July 2013

Dari Balik Kaca

Perempuan itu terjaga dari lelapnya. Roda bus yang melaju di atas jalan yang tidak rata membuat kepalanya terantuk-antuk kaca jendela. Ia lalu menyandarkan kepala di dinding kursi, menarik paksa sebagian kesadarannya yang masih mengambang di alam tidur. Diliriknya jam digital yang menggantung di ujung lorong bus, pukul 3 dini hari. Butuh waktu dua jam lagi untuk sampai ke pelabuhan kemudian menyeberang menggunakan kapal laut. Perempuan itu menatap sekeliling, namun tak melihat jelas karena lampu dalam bus dipadamkan. Sepertinya hanya dua orang yang terjaga, ia dan sang supir.

Bunyi dari speaker bus masih mengalun sejak memulai perjalanannya empat jam yang lalu. Berbagai bahasa dan genre diputar bergantian. Awal perjalanan didominasi oleh bahasa daerah, entah daerah mana. Tengah perjalanan berganti dengan bahasa nasional. Dan pukul tiga dini hari itu dikuasai bahasa internasional. Starlight Muse telah berakhir, berganti dengan When You’re Gone milik Avril Lavigne. Bus yang gelap, jalanan yang lengang, hawa dingin yang menusuk, intro yang sedih. Perempuan itu mendengus, momen yang sempurna. Ia merogoh ransel, mengaduk-aduk isinya dan mengeluarkan sebungkus roti isi cokelat dari sana. Lumayan untuk mengganjal perutnya yang mulai berkicau. Ia sedang meraih botol air yang ditaruh dibawa kursi dan meneguknya perlahan ketika sebuah pesan masuk ke ponselnya.

From : +628xxxxxxxxxx
Hei kamu, sombong amat…:p 

Perempuan itu melirik jam digital di sudut kanan atas ponsel, memastikan itu memang pukul tiga dini hari. Bukan waktu yang tepat untuk mengirim sms.
 ***
Laut berkilauan ditimpa cahaya matahari pagi. Bus dan puluhan mobil serta motor mengantri masuk ke badan kapal. Perempuan itu membuang pandangan jauh ke laut lewat kaca bus. Dua hal yang membuatnya merasa bebas atau paling tidak, lebih lapang dengan hanya melihat, laut dan langit. Kedua hal itu kini terhampar di hadapannya. Ia meraih ponsel dan mengarahkan mata kamera ke kaca jendela. Sejenak tangannya menggantung di udara. Digesernya ponsel sedikit ke sebelah kanan, mengambil satu huruf yang tertempel di kaca luar bus.

***
Jari jemari bergantian menekan layar ponsel, larut dalam sebuah game bernama onet. Gerakan jemari itu terhenti ketika peluit kapal berbunyi, pertanda sebentar lagi akan berlabuh. Pemilik jemari menekan tombol exit game dan menaruh ponselnya di sisi kanan. Ia lalu memeluk kedua kakinya yang terlipat dan menyandarkan dahinya di atas lutut. Perjalanan berjam-jam membuat kepalanya pening. Bus dan puluhan kendaraan lainnya satu per satu merayap keluar dari badan kapal. Tubuh penumpang sedikit terguncang ketika roda bus berpindah ke atas dermaga yang posisinya lebih rendah dibanding lantai kapal.

Satu titik air dari langit jatuh menimpa kaca bus, meluncur turun dan mendarat di atas jalan. Satu titik air itu diikuti titik air lain yang semakin lama semakin banyak. Menimbulkan bunyi ketukan yang ribut di atap bus. Perempuan itu mengangkat kepalanya dan menatap ke luar. Hujan. Disandarkannya dagunya ke bingkai kaca. Hembusan napas yang hangat perlahan membuat kaca di depannya menjadi buram. 

Semakin jauh kita pergi, rasa rindu untuk pulang semakin besar.

...
Tapi rindu, adalah persoalan yang amat rapuh. 

Kalimat-kalimat di buku Prie GS melintas dalam benak perempuan itu. Belakangan ia sering menerima ucapan kangen baik lewat DM di Twitter, Line, hingga yang lebih privasi seperti sms. Ia menghela napas panjang, membuat kaca di depan wajahnya semakin berkabut. 
Rindu itu rapuh. Seperti titik air di kaca ini. 


Perempuan itu kembali meraih ponselnya dan membuka aplikasi twitter. Aplikasi yang katanya dibuat untuk orang-orang kesepian. Tak ada manusia yang tak pernah kesepian. Dibacanya satu persatu tweet di timeline, hingga sampai pada satu tweet,

Mendahului kehendak Tuhan kah ini ? Tidak! Karena Tuhan yang menghendaki ini 

Perempuan itu tersenyum sinis, kau sudah mendahului kehendak Tuhan dengan menyatakan “Tuhan yang menghendaki ini”. Ditutupnya aplikasi itu setelah mendengar percakapan penumpang di kursi depan bahwa terminal sudah dekat. Ia pun sibuk mengemasi barang bawaannya.
 ***
Huruf demi huruf terangkai dalam lembar microsoft word, mengikuti perintah tombol keyboard yang ditekan oleh jari-jari perempuan itu. Sejak pukul tujuh pagi ia telah berkutat dengan tugas kuliah. Tangan kanannya meraih mug yang berada di samping notebook, sementara matanya tidak lepas menatapi layar monitor. Didekatkannya mug itu ke bibirnya. Sedetik kemudian matanya melirik isi mug, tak ada setetes air yang turun. Mugnya sudah kosong. Perempuan itu berdecak. Dilihatnya kotak plastik transparan berisi minuman instan tak jauh dari tempatnya duduk. Persediaan milo-nya sudah habis, yang tersisa hanya kopi. Ia sedang tidak berminat mengisi lambungnya -yang belum terisi nasi sejak pagi- dengan kafein. Dipaksanya kedua kakinya berjalan menuju dispenser. Ia berlutut menekan keran hingga air meluncur mengisi mug sampai penuh. Sambil memegang mug, ia berjalan mendekati jendela. Langit di luar mulai gelap. Maghrib sebentar lagi mampir. Perempuan itu baru akan melepas kait penyangga jendela ketika matanya tertumbuk pada siluet di atap bangunan setengah jadi di depan kosnya. Rupanya ia tidak sendirian menangkap senja.

 
;