Perempuan itu
terjaga dari lelapnya. Roda bus yang melaju di atas jalan yang tidak rata
membuat kepalanya terantuk-antuk kaca jendela. Ia lalu menyandarkan kepala di dinding
kursi, menarik paksa sebagian kesadarannya yang masih mengambang di alam tidur.
Diliriknya jam digital yang menggantung di ujung lorong bus, pukul 3 dini hari.
Butuh waktu dua jam lagi untuk sampai ke pelabuhan kemudian menyeberang
menggunakan kapal laut. Perempuan itu menatap sekeliling, namun tak melihat
jelas karena lampu dalam bus dipadamkan. Sepertinya hanya dua orang yang
terjaga, ia dan sang supir.
Bunyi dari speaker bus masih mengalun sejak memulai perjalanannya empat jam yang lalu. Berbagai bahasa dan genre diputar bergantian. Awal perjalanan didominasi oleh bahasa daerah, entah daerah mana. Tengah perjalanan berganti dengan bahasa nasional. Dan pukul tiga dini hari itu dikuasai bahasa internasional. Starlight Muse telah berakhir, berganti dengan When You’re Gone milik Avril Lavigne. Bus yang gelap, jalanan yang lengang, hawa dingin yang menusuk, intro yang sedih. Perempuan itu mendengus, momen yang sempurna. Ia merogoh ransel, mengaduk-aduk isinya dan mengeluarkan sebungkus roti isi cokelat dari sana. Lumayan untuk mengganjal perutnya yang mulai berkicau. Ia sedang meraih botol air yang ditaruh dibawa kursi dan meneguknya perlahan ketika sebuah pesan masuk ke ponselnya.
From : +628xxxxxxxxxx
Hei kamu, sombong amat…:p
Perempuan itu melirik jam digital di sudut kanan atas ponsel, memastikan itu memang pukul tiga dini hari. Bukan waktu yang tepat untuk mengirim sms.
Jari jemari
bergantian menekan layar ponsel, larut dalam sebuah game bernama onet. Gerakan
jemari itu terhenti ketika peluit kapal berbunyi, pertanda sebentar lagi akan berlabuh.
Pemilik jemari menekan tombol exit game dan menaruh ponselnya di sisi kanan. Ia
lalu memeluk kedua kakinya yang terlipat dan menyandarkan dahinya di atas
lutut. Perjalanan berjam-jam membuat kepalanya pening. Bus dan puluhan
kendaraan lainnya satu per satu merayap keluar dari badan kapal. Tubuh
penumpang sedikit terguncang ketika roda bus berpindah ke atas dermaga yang
posisinya lebih rendah dibanding lantai kapal.
Satu titik air dari langit jatuh menimpa kaca bus, meluncur turun dan mendarat di atas jalan. Satu titik air itu diikuti titik air lain yang semakin lama semakin banyak. Menimbulkan bunyi ketukan yang ribut di atap bus. Perempuan itu mengangkat kepalanya dan menatap ke luar. Hujan. Disandarkannya dagunya ke bingkai kaca. Hembusan napas yang hangat perlahan membuat kaca di depannya menjadi buram.
Semakin jauh kita pergi, rasa rindu untuk pulang semakin besar.
…
...
Tapi rindu, adalah persoalan yang amat rapuh.
Kalimat-kalimat di buku Prie GS melintas dalam benak perempuan itu. Belakangan ia sering menerima ucapan kangen baik lewat DM di Twitter, Line, hingga yang lebih privasi seperti sms. Ia menghela napas panjang, membuat kaca di depan wajahnya semakin berkabut.
Rindu itu rapuh. Seperti titik air di kaca ini.
Perempuan itu kembali meraih ponselnya dan membuka aplikasi twitter. Aplikasi yang katanya dibuat untuk orang-orang kesepian. Tak ada manusia yang tak pernah kesepian. Dibacanya satu persatu tweet di timeline, hingga sampai pada satu tweet,
Mendahului kehendak Tuhan kah ini ? Tidak! Karena Tuhan yang menghendaki ini
Perempuan itu tersenyum sinis, kau sudah mendahului kehendak Tuhan dengan menyatakan “Tuhan yang menghendaki ini”. Ditutupnya aplikasi itu setelah mendengar percakapan penumpang di kursi depan bahwa terminal sudah dekat. Ia pun sibuk mengemasi barang bawaannya.
Huruf
demi huruf terangkai dalam lembar microsoft word, mengikuti perintah tombol keyboard
yang ditekan oleh jari-jari perempuan itu. Sejak pukul tujuh pagi ia telah berkutat
dengan tugas kuliah. Tangan kanannya meraih mug yang berada di samping notebook, sementara matanya tidak lepas
menatapi layar monitor. Didekatkannya mug itu ke bibirnya. Sedetik kemudian matanya
melirik isi mug, tak ada setetes air yang turun. Mugnya sudah kosong. Perempuan
itu berdecak. Dilihatnya kotak plastik transparan berisi minuman instan tak
jauh dari tempatnya duduk. Persediaan milo-nya sudah habis, yang tersisa hanya
kopi. Ia sedang tidak berminat mengisi lambungnya -yang belum terisi nasi sejak
pagi- dengan kafein. Dipaksanya kedua kakinya berjalan menuju dispenser. Ia
berlutut menekan keran hingga air meluncur mengisi mug sampai penuh. Sambil
memegang mug, ia berjalan mendekati jendela. Langit di luar mulai gelap.
Maghrib sebentar lagi mampir. Perempuan itu baru akan melepas kait penyangga
jendela ketika matanya tertumbuk pada siluet di atap bangunan setengah jadi di
depan kosnya. Rupanya ia tidak sendirian menangkap senja.
Bunyi dari speaker bus masih mengalun sejak memulai perjalanannya empat jam yang lalu. Berbagai bahasa dan genre diputar bergantian. Awal perjalanan didominasi oleh bahasa daerah, entah daerah mana. Tengah perjalanan berganti dengan bahasa nasional. Dan pukul tiga dini hari itu dikuasai bahasa internasional. Starlight Muse telah berakhir, berganti dengan When You’re Gone milik Avril Lavigne. Bus yang gelap, jalanan yang lengang, hawa dingin yang menusuk, intro yang sedih. Perempuan itu mendengus, momen yang sempurna. Ia merogoh ransel, mengaduk-aduk isinya dan mengeluarkan sebungkus roti isi cokelat dari sana. Lumayan untuk mengganjal perutnya yang mulai berkicau. Ia sedang meraih botol air yang ditaruh dibawa kursi dan meneguknya perlahan ketika sebuah pesan masuk ke ponselnya.
From : +628xxxxxxxxxx
Hei kamu, sombong amat…:p
Perempuan itu melirik jam digital di sudut kanan atas ponsel, memastikan itu memang pukul tiga dini hari. Bukan waktu yang tepat untuk mengirim sms.
***
Laut berkilauan
ditimpa cahaya matahari pagi. Bus dan puluhan mobil serta motor mengantri masuk
ke badan kapal. Perempuan itu membuang pandangan jauh ke laut lewat kaca bus.
Dua hal yang membuatnya merasa bebas atau paling tidak, lebih lapang dengan
hanya melihat, laut dan langit. Kedua hal itu kini terhampar di hadapannya. Ia
meraih ponsel dan mengarahkan mata kamera ke kaca jendela. Sejenak tangannya
menggantung di udara. Digesernya ponsel sedikit ke sebelah kanan, mengambil
satu huruf yang tertempel di kaca luar bus.
***
Satu titik air dari langit jatuh menimpa kaca bus, meluncur turun dan mendarat di atas jalan. Satu titik air itu diikuti titik air lain yang semakin lama semakin banyak. Menimbulkan bunyi ketukan yang ribut di atap bus. Perempuan itu mengangkat kepalanya dan menatap ke luar. Hujan. Disandarkannya dagunya ke bingkai kaca. Hembusan napas yang hangat perlahan membuat kaca di depannya menjadi buram.
Semakin jauh kita pergi, rasa rindu untuk pulang semakin besar.
…
...
Tapi rindu, adalah persoalan yang amat rapuh.
Kalimat-kalimat di buku Prie GS melintas dalam benak perempuan itu. Belakangan ia sering menerima ucapan kangen baik lewat DM di Twitter, Line, hingga yang lebih privasi seperti sms. Ia menghela napas panjang, membuat kaca di depan wajahnya semakin berkabut.
Rindu itu rapuh. Seperti titik air di kaca ini.
Perempuan itu kembali meraih ponselnya dan membuka aplikasi twitter. Aplikasi yang katanya dibuat untuk orang-orang kesepian. Tak ada manusia yang tak pernah kesepian. Dibacanya satu persatu tweet di timeline, hingga sampai pada satu tweet,
Mendahului kehendak Tuhan kah ini ? Tidak! Karena Tuhan yang menghendaki ini
Perempuan itu tersenyum sinis, kau sudah mendahului kehendak Tuhan dengan menyatakan “Tuhan yang menghendaki ini”. Ditutupnya aplikasi itu setelah mendengar percakapan penumpang di kursi depan bahwa terminal sudah dekat. Ia pun sibuk mengemasi barang bawaannya.
***