29 July 2013

Pemilik Sepatu Boot

Satu keteladanan lebih bermakna dibanding ribuan kata 

Sepasang sepatu boot berwarna hijau lumut bertengger di sisi kiri pintu sebuah masjid. Letak sepatu itu agak terpisah, sekitar dua jengkal dari barisan sandal lain yang berjejer tak rapi. Dari segi penampilan, sepatu boot itu adalah produk massal yang dibuat untuk para pekerja pertanian. Tapi pemiliknya bukanlah seorang petani. Ia seorang lelaki sepuh yang mengandalkan tongkat dan indera peraba sebagai pengganti kedua matanya. Matanya telah memutih sejak puluhan tahun silam. Tapi sosoknya mempunyai tempat tersendiri di hati para jamaah lain. 

Untuk mencapai masjid, setiap lima waktu sehari kakek itu harus melewati lorong sempit di depan rumahnya. Sampai di ujung lorong, beliau masih perlu menyeberangi jalan ke tempat di mana masjid tersebut berdiri. Kakek itu bisa melakukannya sendiri. Namun, bila sudah berada di tepi jalan, siapapun yang melihat -entah anak-anak, remaja nongkrong, atau orang dewasa- seperti sudah dikomando, akan menghampiri sang kakek, mengangkat tongkatnya dan menuntunnya sampai depan pintu masjid. Di depan pintu masjid, sang kakek akan melepas sepatu boot hijau lumutnya, menyadarkan tongkatnya ke tiang dan berjalan meraba jendela menuju shaf paling depan. Kakek itu bisa melakukannya sendiri. Namun, jamaah yang sudah lebih dahulu ada di dalam masjid -entah anak-anak, remaja masjid, atau orang dewasa- seperti sudah dikomando, akan menghampiri sang kakek, memegang tangan beliau lalu menuntunnya menuju shaf pertama paling pinggir kanan. 

Lima waktu sehari, selama puluhan tahun, tak peduli hujan deras atau sengatan matahari, berbekal sepatu boot, tongkat dan semangat, kakek itu menjaga shalat jamaahnya di masjid. Pun, selama lima waktu sehari, baik anak-anak, remaja hingga orang dewasa di kompleks itu setia bergantian menuntun sang kakek menuju masjid. Kau bisa mendapati kumpulan anak-anak yang sedang asyik bermain di tepi jalan akan jeda sejenak ketika melihat kakek itu muncul di ujung lorong. Salah seorang dari mereka akan menghampiri sang kakek dan menuntunnya menuju masjid. Setelah itu ia kembali bermain bersama kawanannya. Atau di sore hari menjelang maghrib, kau bisa mendapati remaja yang sedang khusyuk makan bakso akan meletakkan mangkuknya begitu melihat kakek tersebut muncul di ujung lorong. Dia baru melanjutkan kembali makannya setelah menuntun sang kakek masuk ke masjid. 

Begitu seterusnya, selama bertahun-tahun. Sejak mereka masih anak-anak yang baru belajar mengeja huruf hingga kuliah di kota besar. Jika pulang kampung, rutinitas mereka menuntun sang kakek ke masjid tak pernah berubah. Ketika Ramadhan tiba, setiap harinya kakek tersebut ikut berbuka di masjid. Dengan piring plastik dan gelas besar miliknya, beliau akan duduk bersandar di dekat tiang, berdzikir sambil menunggu waktu berbuka. 

Hingga suatu sore tepat hari ke sembilan Ramadhan, orang-orang terlihat sibuk membangun tenda dan mengatur kursi plastik di depan rumah beliau. Remaja laki-laki mengangkat meja dengan mata sembab. Beberapa orang dewasa mengikat tenda sambil mengusap lendir hidung dengan kerah baju. Tak jauh dari jejeran kursi dan tenda itu, matahari sore menyapu selembar bendera putih yang berkibar tertiup angin laut.

Kakek itu kembali menghadap Penciptanya di usia 83 tahun. Beliau meninggalkan pesan tak tertulis yang membekas di hati para jamaah lain bahwa keterbatasan tidak menjadi penghalang bagi siapapun untuk melaksanakan kewajiban. Beliau adalah teladan lima kali sehari bagi mereka yang memiliki fisik yang kuat serta indera yang lengkap namun masih berat melangkahkan kakinya menuju masjid.
 
;