16 July 2013

Di Bawah Langit Terminal

Matahari terus bergerak ke arah barat, mengubah warna awan menjadi keemasan. Uniknya, langit yang menjadi latar masih bertahan dengan warna birunya. Sementara itu, di bumi, kepungan gelap membuat beberapa benda terlihat seperti siluet.

Seorang perempuan bersandar di dinding sebuah ruko, menatap sandal gunung penuh debu yang melekat di kedua kakinya. Hampir setengah jam ia berdiri di sana. Melakukan pekerjaan paling membosankan menurut sebagian orang : menunggu.

Lalu lintas jalan raya di hadapannya mulai memasuki situasi macet. Orang-orang berlomba pulang ke rumah masing-masing, mengejar momen buka puasa bersama keluarga. Perempuan itu menoleh ke mini market yang berjarak tiga ruko dari tempatnya berdiri. Memastikan jika ia harus berbuka di pinggir jalan. Sebenarnya ia tidak perlu khawatir, karena di dalam ransel yang menggantung di bahu kirinya, sudah tersedia sebotol air putih dan lima biji kurma yang diberikan seorang teman beberapa jam sebelumnya. 

Lalu lintas di depan tak lagi menarik perhatiannya. Perempuan itu mengangkat wajah, menatap langit yang perlahan ditinggalkan matahari. Ia meraih ponsel dari saku ransel, mengusap layar untuk membuka kunci, menekan ikon kamera dan membidikkannya ke arah langit. Ia menurunkan ponselnya, memeriksa momen yang baru saja ia tangkap. Kedua sudut bibirnya tertarik ke arah yang berlawanan, membentuk garis lengkung pelangi terbalik. Satu bunyi ayat melintas di kepalanya, nikmat Rabb-mu yang manakah yang kamu dustakan ? 


Di saat yang sama, suara lain memanggil namanya dari seberang jalan. Suara itu dikirim lewat perantara udara, menembus gendang telinga dan diteruskan ke otak. Otak merespon informasi berupa perintah untuk menoleh. Perempuan itu mengalihkan perhatiannya dari ponsel ke seberang jalan, mencari pemilik suara. Di antara padatnya lalu lalang mesin beroda, satu sosok tertangkap di lensa matanya. Lengkung pelangi terbalik kembali menghiasi sudut bibirnya. Pekerjaan paling membosankan itu berakhir sudah.
 
;