Masa depan itu gas, masa lalu itu rem, masa kini itu persneling. Hidup sungguh
tidak matic.
~Prie GS~
Tubuhnya penuh
debu karena jarang mandi. Mesinnya mendingin, rodanya berlumpur, kaca spionnya
buram dan bensinnya sekarat . Demikianlah kondisi si Kapten setelah ditinggal
sebulan lebih. Dia agak ngambek karena jarang diprovokatori (baca :
dipanas-panasi).
“Hai bro, kamu
tetap cakep ya, walau ditinggal sebulan,” sapa saya, basa-basi. Merasa sedikit bersalah
karena sudah menelantarkannya. Tapi saya juga tidak kuat mengendarai motor
pulang kampung saat sedang berpuasa. Memang konyol bicara dengan
benda mati seperti motor. Sebenarnya ini juga
belajar dari seorang teman. Pernah suatu malam dia kecelakaan di
jalan. Kecelakaan tunggal. Motornya tergelincir karena jalanan licin oleh
hujan. Dia hanya menderita luka gores di tangan dan kaki, tapi mesin motornya mati.
Sambil menahan sakit, dia mengusap-usap si motor dan berkata, “Bertahanlah bro, rumah sudah dekat”. Setelah
berusaha berkali-kali, diutak-atik sana-sini, akhirnya si motor mau diajak
kompromi.
Mengingat kejadian
itu membuat saya senyum sendiri. Kadang, saya ikut meniru kebiasaan konyolnya.
Seperti saat menyusun tugas akhir. Setiap kali selesai konsultasi dengan
pembimbing, sepulang dari kampus saya langsung toss sama si laptop, “Kerja bagus, bos”. Dan sebagai wujud rasa terima kasih, namanya dimasukkan
dalam daftar ucapan terima kasih di bagian kata pengantar. Hehehe
Tahun-tahun
sebelumnya, topik yang paling sering dibahas ketika silaturahim dengan
teman sekolah masih berputar sekitar pekerjaan dan kuliah. Tapi tahun ini sepertinya
menjadi permulaan dari satu topik yang tidak pernah habis dibahas. Yang tak punya
ujung pangkal dengan berbagai lika-likunya. Topik yang selalu meninggalkan
pertanyaan “Kapan ?” di akhir pertemuan.
Sebenarnya agak
kaget juga mengetahui ada beberapa teman seangkatan yang sudah dan akan menikah
ketika tiba di kampung halaman. Sampai geleng-geleng kepala sendiri karena lambatnya
informasi sampai ke telinga. Si A ternyata menikah dengan si C setelah
bertahun-tahun dengan si D. Si F akan menikah dengan si R padahal dua bulan
sebelumnya masih dengan si G. Takdir memang tak bisa ditebak.
Membahas topik Tanpa
Ujung Pangkal itu sering mengingatkan saya pada motor dan jalan raya. Sendiri
mengendarai motor itu menyenangkan. Bebas. Ke mana pun ingin pergi, kau bebas.
Bebas mengunjungi tempat yang ingin kau tuju. Bebas memilih rute mana yang akan
kau tempuh. Bebas mengontrol kecepatan motor. Bahkan, kau bebas mengubah arah tujuan
di tengah perjalanan. Tak ada yang akan protes. Kendali ada di tanganmu. Bila
terjatuh, kau tidak begitu terbebani rasa bersalah karena yang terluka hanya
kau sendiri. Risikonya kau juga harus bangun sendiri. Orang yang berlalu lalang
di sekitarmu tidak selalu berbaik hati mengulurkan tangan.
Berbeda ketika
kau sedang membawa seseorang di belakangmu. Kau memang akan punya teman berbagi
selama perjalanan, tidak melulu bicara dengan motor sendiri. Tetapi, kau harus
sering-sering menjaga keseimbangan karena berat beban yang ditanggung menjadi
bertambah. Kau tidak boleh egois melarikan motor karena keselamatan orang yang
kau bawa menjadi tanggung jawabmu. Kau juga harus sepakat dengan orang di balik
punggungmu dalam menentukan tujuan dan rute perjalanan. Selama perjalanan, beban
mungkin akan bertambah lagi dengan kehadiran dua atau tiga anggota baru. Selain
anggota baru, masalah juga akan muncul satu demi satu. Ban motormu bisa kempes
atau malah bocor ketika tidak ada bengkel di sekitar situ. Bensinmu pun bisa
sekarat ketika tak ada pom bensin terdekat. Karenanya, kau tidak boleh sesukamu
mengubah tujuan yang telah disepakati. Hal itu bisa menyulut perselisihan. Berselisih
di jalan raya dengan kecepatan lari yang tinggi akan memancing malapetaka. Berbagai
kemungkinan bisa terjadi. Motor hancur, kau dan orang-orang yang kau bawa
terluka. Atau, karena tidak tahan dengan beban yang kau bawa, akhirnya memilih meninggalkan
mereka di tepi jalan.
Seringkali,
saya hanya bisa menunduk dalam-dalam melihat para pengendara di sisi kiri dan kanan satu
per satu menurunkan orang-orang di balik punggungnya, yang telah mereka bawa
bertahun-tahun. Meninggalkannya beserta dua, tiga bahkan kadang lima anggota
kecil. Di antara pengendara itu ada yang berbaik hati membawa mereka pulang ke asal.
Ada juga yang menyerahkan motornya agar dapat dipakai oleh orang yang ia
tinggalkan. Namun, ada pula pengendara yang membiarkan mereka kebingungan di
tepi jalan. Di saat yang sama, pengendara itu menggandeng orang baru dan
berlalu begitu saja. Tersisa air mata, kebencian dan amarah yang terpantul
dari mata orang-orang yang ditinggalkan. Dalam beberapa kasus, ada yang kehilangan
akal sehat karena rasa sakit yang sangat. Akhirnya, bila dipikirkan kembali, menerima
tawaran untuk ikut motor orang lain adalah keputusan yang berbahaya. Tak heran
bila ada yang lebih memilih berkendara sendirian dengan segala risikonya.