Sehari setelah
idul fitri, kami sekeluarga berlayar ke pulau seberang. Rekreasi ke tempat baru
sudah menjadi tradisi dalam keluarga besar ketika semua anggota keluarga terkumpul
lengkap. Dan hanya di momen idul fitri saja, semua anggota yang tercecer di
berbagai wilayah bisa kembali ke kampung halaman. Berdasarkan berbagai
pertimbangan, Liang Kareta dipilih sebagai tujuan rekreasi. Letaknya jauh di balik
pulau Gusung. Pulau Gusung adalah salah satu pulau yang terpisah dari pulau
utama Kabupaten Selayar. Pulau ini terletak tepat di depan kota Benteng. Butuh
waktu sekitar satu jam untuk sampai ke sana. Kami menyewa lima perahu. Satu
perahu bisa menampung 20 penumpang. Cukup banyak memang mengingat jumlah
anggota yang juga banyak. Khusus keponakan saja bila dikumpulkan bisa muat satu
perahu, belum lagi ditambah para sepupu, tante dan om.
Kami berangkat
sekitar pukul 8 pagi. Air laut masih surut. Berhubung perahu tidak bisa merapat
jadi kami ramai-ramai turun ke laut yang airnya setinggi lutut. Berbekal ransel
di punggung dan sandal jepit di tangan, saya dan sepupu berlari menuju perahu.
Kaos kaki yang awalnya berwarna putih berubah jadi coklat tanah. Surutnya air
laut membuat perahu harus berlayar jauh ke luar. Di tengah laut airnya jernih, membuat
batu-batu di bawahnya terlihat dari permukaan. Perjalanan baru 15 menit tapi
penumpang sudah basah kuyup karena saling siram satu sama lain. Pemilik perahu
sampai geleng-geleng kepala melihat penumpangnya yang seperti baru ketemu air
asin.
Di tengah Laut |
Yang pakai baju oranye itu anak pemilik perahu |
Perjalanan
sempat terhenti beberapa kali karena baling-baling perahu terbentur batu dan terlilit
rumput laut. Bapak pemilik perahu yang membawa kami dibantu anak laki-lakinya.
Bocah itu yang terjun ke laut dan melepaskan lilitan rumput laut dari baling-baling.
Setelah satu jam lebih, akhirnya Liang Kareta terlihat dari kejauhan. Ternyata
sudah ada beberapa rombongan lain yang lebih dulu tiba di sana. Beberapa ceruk
sudah terisi oleh mereka. Salah satu rombongan itu adalah senior-senior saya di
SMA.
Kami akhirnya
menemukan ceruk yang masih kosong. Segera perahu di arahkan ke sana. Pasir
putih dan karang hitam yang tajam adalah ciri khas tempat itu. Airnya berwarna
hijau turquoise. Banyak bintang laut di sana. Saya tidak punya banyak koleksi
foto-foto tempat itu. Karena yang kebagian tugas dokumentasi adalah sepupu
saya. Setelah menaruh ransel di atas batu, saya berlari turun ke laut sambil
merebut pelampung yang sedang dipegang ponakan.
Liang Kareta, gambar ini diambil google |
Dari arah laut, terlihat
seluruh keluarga saya berkumpul di tepi pantai. Yang laki-laki, mulai dari
ponakan, sepupu, om sampai ayah sibuk bermain bola. Ayah tertawa-tawa ketika
salah satu cucunya (anak sepupu saya) berhasil merebut bola dari kakinya,
membuatnya jatuh terguling-guling di atas pasir. Ibu yang tak jauh darinya
geleng-geleng kepala melihat tingkah ayah yang tak beda dengan cucunya sendiri.
Tapi tak lama kemudian, ibu sendiri mengambil cucu yang lain, meletakkannya di
punggung lalu membawanya berenang. Saya dilanda déjà vu, seperti itulah cara
ibu mengajak saya berenang sewaktu kecil. Tapi sampai sekarang saya tidak juga
mahir berenang. Ini benar-benar aib buat saya. Anak pulau kok tidak bisa
berenang ? Apa kata dunia ? Tanpa bantuan pelampung, cara saya berenang lebih
tepat disebut berendam.
Setelah puas
berendam, saya memutuskan ikut mendaki tebing. Karangnya tajam-tajam. Sesampainya
di atas tebing, satu per satu kami melompat. Saya belum siap melompat ketika
diam-diam adik saya mendorong dari belakang. Saya pun sukses terjun ke laut
dengan gaya yang tidak keren sama sekali. Kalau yang lain melompat sambil
bersalto atau berputar-putar dulu sebelum masuk ke air, saya lebih mirip pohon kelapa
yang tumbang. Sungguh terlalu.
Setelah
dua jam berenang, semua perut mulai kelaparan. Dalam hitungan menit, ikan yang
baru selesai dibakar sudah berubah jadi tulang belulang. Makanan tandas,
berenang dilanjutkan kembali sambil bermain lempar bola hingga dua jam
kemudian. Selepas dhuhur kami pulang dengan wajah kemerahan seperti kepiting
rebus. Senang rasanya berkumpul dengan keluarga dalam momen seperti itu. Hanya
di momen yang langka itu saja setiap orang dewasa kembali menjadi bocah.
Bermain sesuka hatinya. Jadi orang dewasa memang menyenangkan, walau susah
dijalani. *Halah..iklaaannn*