22 August 2013

Rekreasi Ke Liang Kareta

Sehari setelah idul fitri, kami sekeluarga berlayar ke pulau seberang. Rekreasi ke tempat baru sudah menjadi tradisi dalam keluarga besar ketika semua anggota keluarga terkumpul lengkap. Dan hanya di momen idul fitri saja, semua anggota yang tercecer di berbagai wilayah bisa kembali ke kampung halaman. Berdasarkan berbagai pertimbangan, Liang Kareta dipilih sebagai tujuan rekreasi. Letaknya jauh di balik pulau Gusung. Pulau Gusung adalah salah satu pulau yang terpisah dari pulau utama Kabupaten Selayar. Pulau ini terletak tepat di depan kota Benteng. Butuh waktu sekitar satu jam untuk sampai ke sana. Kami menyewa lima perahu. Satu perahu bisa menampung 20 penumpang. Cukup banyak memang mengingat jumlah anggota yang juga banyak. Khusus keponakan saja bila dikumpulkan bisa muat satu perahu, belum lagi ditambah para sepupu, tante dan om.

Pulau Gusung dari Kejauhan
Kami berangkat sekitar pukul 8 pagi. Air laut masih surut. Berhubung perahu tidak bisa merapat jadi kami ramai-ramai turun ke laut yang airnya setinggi lutut. Berbekal ransel di punggung dan sandal jepit di tangan, saya dan sepupu berlari menuju perahu. Kaos kaki yang awalnya berwarna putih berubah jadi coklat tanah. Surutnya air laut membuat perahu harus berlayar jauh ke luar. Di tengah laut airnya jernih, membuat batu-batu di bawahnya terlihat dari permukaan. Perjalanan baru 15 menit tapi penumpang sudah basah kuyup karena saling siram satu sama lain. Pemilik perahu sampai geleng-geleng kepala melihat penumpangnya yang seperti baru ketemu air asin. 

Di tengah Laut
Yang pakai baju oranye itu anak pemilik perahu
Perjalanan sempat terhenti beberapa kali karena baling-baling perahu terbentur batu dan terlilit rumput laut. Bapak pemilik perahu yang membawa kami dibantu anak laki-lakinya. Bocah itu yang terjun ke laut dan melepaskan lilitan rumput laut dari baling-baling. Setelah satu jam lebih, akhirnya Liang Kareta terlihat dari kejauhan. Ternyata sudah ada beberapa rombongan lain yang lebih dulu tiba di sana. Beberapa ceruk sudah terisi oleh mereka. Salah satu rombongan itu adalah senior-senior saya di SMA.

Kami akhirnya menemukan ceruk yang masih kosong. Segera perahu di arahkan ke sana. Pasir putih dan karang hitam yang tajam adalah ciri khas tempat itu. Airnya berwarna hijau turquoise. Banyak bintang laut di sana. Saya tidak punya banyak koleksi foto-foto tempat itu. Karena yang kebagian tugas dokumentasi adalah sepupu saya. Setelah menaruh ransel di atas batu, saya berlari turun ke laut sambil merebut pelampung yang sedang dipegang ponakan.

Liang Kareta, gambar ini diambil google
Dari arah laut, terlihat seluruh keluarga saya berkumpul di tepi pantai. Yang laki-laki, mulai dari ponakan, sepupu, om sampai ayah sibuk bermain bola. Ayah tertawa-tawa ketika salah satu cucunya (anak sepupu saya) berhasil merebut bola dari kakinya, membuatnya jatuh terguling-guling di atas pasir. Ibu yang tak jauh darinya geleng-geleng kepala melihat tingkah ayah yang tak beda dengan cucunya sendiri. Tapi tak lama kemudian, ibu sendiri mengambil cucu yang lain, meletakkannya di punggung lalu membawanya berenang. Saya dilanda déjà vu, seperti itulah cara ibu mengajak saya berenang sewaktu kecil. Tapi sampai sekarang saya tidak juga mahir berenang. Ini benar-benar aib buat saya. Anak pulau kok tidak bisa berenang ? Apa kata dunia ? Tanpa bantuan pelampung, cara saya berenang lebih tepat disebut berendam.

Setelah puas berendam, saya memutuskan ikut mendaki tebing. Karangnya tajam-tajam. Sesampainya di atas tebing, satu per satu kami melompat. Saya belum siap melompat ketika diam-diam adik saya mendorong dari belakang. Saya pun sukses terjun ke laut dengan gaya yang tidak keren sama sekali. Kalau yang lain melompat sambil bersalto atau berputar-putar dulu sebelum masuk ke air, saya lebih mirip pohon kelapa yang tumbang. Sungguh terlalu. 

Setelah dua jam berenang, semua perut mulai kelaparan. Dalam hitungan menit, ikan yang baru selesai dibakar sudah berubah jadi tulang belulang. Makanan tandas, berenang dilanjutkan kembali sambil bermain lempar bola hingga dua jam kemudian. Selepas dhuhur kami pulang dengan wajah kemerahan seperti kepiting rebus. Senang rasanya berkumpul dengan keluarga dalam momen seperti itu. Hanya di momen yang langka itu saja setiap orang dewasa kembali menjadi bocah. Bermain sesuka hatinya. Jadi orang dewasa memang menyenangkan, walau susah dijalani. *Halah..iklaaannn*
 
;