22 August 2013

Motor Dan Topik Tanpa Ujung Pangkal


Masa depan itu gas, masa lalu itu rem, masa kini itu persneling. Hidup sungguh tidak matic. 
~Prie GS~ 

Tubuhnya penuh debu karena jarang mandi. Mesinnya mendingin, rodanya berlumpur, kaca spionnya buram dan bensinnya sekarat . Demikianlah kondisi si Kapten setelah ditinggal sebulan lebih. Dia agak ngambek karena jarang diprovokatori (baca : dipanas-panasi). 

“Hai bro, kamu tetap cakep ya, walau ditinggal sebulan,” sapa saya, basa-basi. Merasa sedikit bersalah karena sudah menelantarkannya. Tapi saya juga tidak kuat mengendarai motor pulang kampung saat sedang berpuasa. Memang konyol bicara dengan benda mati seperti motor. Sebenarnya ini juga belajar dari seorang teman. Pernah suatu malam dia kecelakaan di jalan. Kecelakaan tunggal. Motornya tergelincir karena jalanan licin oleh hujan. Dia hanya menderita luka gores di tangan dan kaki, tapi mesin motornya mati. Sambil menahan sakit, dia mengusap-usap si motor dan berkata, “Bertahanlah bro, rumah sudah dekat”. Setelah berusaha berkali-kali, diutak-atik sana-sini, akhirnya si motor mau diajak kompromi. 

Mengingat kejadian itu membuat saya senyum sendiri. Kadang, saya ikut meniru kebiasaan konyolnya. Seperti saat menyusun tugas akhir. Setiap kali selesai konsultasi dengan pembimbing, sepulang dari kampus saya langsung toss sama si laptop, “Kerja bagus, bos”. Dan sebagai wujud rasa terima kasih, namanya dimasukkan dalam daftar ucapan terima kasih di bagian kata pengantar. Hehehe 

Tahun-tahun sebelumnya, topik yang paling sering dibahas ketika silaturahim dengan teman sekolah masih berputar sekitar pekerjaan dan kuliah. Tapi tahun ini sepertinya menjadi permulaan dari satu topik yang tidak pernah habis dibahas. Yang tak punya ujung pangkal dengan berbagai lika-likunya. Topik yang selalu meninggalkan pertanyaan “Kapan ?” di akhir pertemuan.

Sebenarnya agak kaget juga mengetahui ada beberapa teman seangkatan yang sudah dan akan menikah ketika tiba di kampung halaman. Sampai geleng-geleng kepala sendiri karena lambatnya informasi sampai ke telinga. Si A ternyata menikah dengan si C setelah bertahun-tahun dengan si D. Si F akan menikah dengan si R padahal dua bulan sebelumnya masih dengan si G. Takdir memang tak bisa ditebak.

Membahas topik Tanpa Ujung Pangkal itu sering mengingatkan saya pada motor dan jalan raya. Sendiri mengendarai motor itu menyenangkan. Bebas. Ke mana pun ingin pergi, kau bebas. Bebas mengunjungi tempat yang ingin kau tuju. Bebas memilih rute mana yang akan kau tempuh. Bebas mengontrol kecepatan motor. Bahkan, kau bebas mengubah arah tujuan di tengah perjalanan. Tak ada yang akan protes. Kendali ada di tanganmu. Bila terjatuh, kau tidak begitu terbebani rasa bersalah karena yang terluka hanya kau sendiri. Risikonya kau juga harus bangun sendiri. Orang yang berlalu lalang di sekitarmu tidak selalu berbaik hati mengulurkan tangan. 

Berbeda ketika kau sedang membawa seseorang di belakangmu. Kau memang akan punya teman berbagi selama perjalanan, tidak melulu bicara dengan motor sendiri. Tetapi, kau harus sering-sering menjaga keseimbangan karena berat beban yang ditanggung menjadi bertambah. Kau tidak boleh egois melarikan motor karena keselamatan orang yang kau bawa menjadi tanggung jawabmu. Kau juga harus sepakat dengan orang di balik punggungmu dalam menentukan tujuan dan rute perjalanan. Selama perjalanan, beban mungkin akan bertambah lagi dengan kehadiran dua atau tiga anggota baru. Selain anggota baru, masalah juga akan muncul satu demi satu. Ban motormu bisa kempes atau malah bocor ketika tidak ada bengkel di sekitar situ. Bensinmu pun bisa sekarat ketika tak ada pom bensin terdekat. Karenanya, kau tidak boleh sesukamu mengubah tujuan yang telah disepakati. Hal itu bisa menyulut perselisihan. Berselisih di jalan raya dengan kecepatan lari yang tinggi akan memancing malapetaka. Berbagai kemungkinan bisa terjadi. Motor hancur, kau dan orang-orang yang kau bawa terluka. Atau, karena tidak tahan dengan beban yang kau bawa, akhirnya memilih meninggalkan mereka di tepi jalan. 

Seringkali, saya hanya bisa menunduk dalam-dalam melihat para pengendara di sisi kiri dan kanan satu per satu menurunkan orang-orang di balik punggungnya, yang telah mereka bawa bertahun-tahun. Meninggalkannya beserta dua, tiga bahkan kadang lima anggota kecil. Di antara pengendara itu ada yang berbaik hati membawa mereka pulang ke asal. Ada juga yang menyerahkan motornya agar dapat dipakai oleh orang yang ia tinggalkan. Namun, ada pula pengendara yang membiarkan mereka kebingungan di tepi jalan. Di saat yang sama, pengendara itu menggandeng orang baru dan berlalu begitu saja. Tersisa air mata, kebencian dan amarah yang terpantul dari mata orang-orang yang ditinggalkan. Dalam beberapa kasus, ada yang kehilangan akal sehat karena rasa sakit yang sangat. Akhirnya, bila dipikirkan kembali, menerima tawaran untuk ikut motor orang lain adalah keputusan yang berbahaya. Tak heran bila ada yang lebih memilih berkendara sendirian dengan segala risikonya.
 
;