Some people
come into our lives and quickly go. Some stay for a while and leave footprints
on our hearts. And we are never, ever the same.
Orang yang pertama kali kita temui saat terlahir ke muka bumi adalah ibu. Selanjutnya ayah, saudara dan kerabat dekat. Ketika umur bertambah, lingkup pertemuan melebar ke teman sebaya. Lalu semakin melebar hingga tak terhitung jumlahnya. Puluhan temu bisa terjadi dalam sehari. Kadang, dalam perjalanan dari satu tempat ke tempat lain, temu-temu berserakan di sepanjang jalan. Temu yang bisa bermakna, atau lewat begitu saja.
Pertemuan bisa berbentuk apa saja. Dalam bentuk manusia atau peristiwa, kesulitan atau kemudahan, kesempitan atau kelapangan, kesedihan atau kebahagiaan dan dalam bentuk ilmu atau buku. Berupa-rupa karakter manusia yang ditemui membuat mereka belajar cara memahami. Membuat mereka mengenal banyak rasa dan melihat lebih banyak warna. Berbagai peristiwa yang ditemui membuat manusia belajar memetik hikmah pada setiap kejadian. Terkadang, satu peristiwa dapat mengubah total kehidupan seseorang. Setiap kesulitan dan kesempitan yang ditemui membuat manusia belajar memecahkan masalah. Setiap ujian yang ditemui membuat manusia belajar memaknai kesabaran. Kebahagiaan yang ditemui membuat manusia mengenal kata syukur. Pun ilmu pengetahuan berabad-abad lalu yang sampai ke masa ini tidak dikirim lewat pos atau lorong waktu, tapi diwariskan lewat pertemuan antar generasi.
Kadang saya mereka-reka sendiri kemungkinan apa yang terjadi andai misalnya, saya tidak bertemu dengan apa yang pernah saya temui. Atau andai saya tidak melakukan apa yang sudah saya lakukan, atau sebaliknya. Akan seperti apa jika saya tidak pernah bertemu orang itu ? Akan seperti apa jika saya tidak pernah menyaksikan peristiwa itu ? Akan seperti apa jika saya tidak pernah mengenal ilmu itu ? Akan seperti apa jika saya tidak mendengar nasihat itu? Akan seperti apa jika saya tidak membaca buku itu ? Akan seperti apa jika yang pertama kali menjabat tangan saya sewaktu maba bukan kakak berwajah teduh itu ? Akan seperti apa jika tempat mencari ketenangan di tengah rutinitas kuliah, bukan di masjid kampus, tapi di tempat lain ? Apa jadinya jika saya tidak bertemu dengan mereka ?
Kita saat ini adalah hasil dari rangkaian pertemuan. Apa yang membentuk pola pikir kita, prinsip kita, cita-cita atau impian kita, apa yang kita inginkan, apa yang kita pertahankan atau yang kita lepaskan, adalah karena pertemuan. Seberapa dalam makna pertemuan tergantung pada seberapa banyak kita memetik hikmah. Waktu bisa jadi bukan variabel utama. Sebab pertemuan satu hari mungkin cukup. Satu jam mungkin juga cukup. Cukup untuk membuatmu merekonstruksi ulang hidupmu. Cukup untuk membuatmu melepaskan atau mempertahankan beberapa hal. Cukup untuk membuatmu tidak lagi sama dengan kemarin. Dan kau tidak akan pernah kembali seperti kemarin.
Kadang, ingatan akan orang-orang yang pernah saya temui muncul tiba-tiba. Mereka yang masih ada di sekitar saya, mereka yang sudah pergi mendahului atau mereka yang hilang tanpa jejak di antara arus manusia dan putaran waktu. Suatu hari seorang teman masih duduk belajar bersama saya. Esoknya dia absen untuk menghadiri pesta pernikahan kerabat di sebuah pulau kecil. Dua belas jam berikutnya berita buruk datang. Kapal motor yang dia tumpangi bersama kedua orangtuanya meledak dan tenggelam di tengah laut. Hanya beberapa yang selamat. Tidak termasuk dia.
Suatu ketika dalam perjalanan laut saya bertemu seorang gadis. Rambutnya panjang dan dikuncir kuda. Umurnya kurang lebih sama dengan saya. Dia memakai ikat rambut warna putih. Bajunya terlihat longgar di tubuhnya yang kurus. Tapi dia cekatan bekerja. Di antara penumpang kapal, hanya dia yang seusia dengan saya. Ibunya bekerja di dapur, sementara dia bertugas mengantar makanan untuk nahkoda dan awak kapal. Rupa gadis itu sudah kabur dalam ingatan saya. Tapi tertinggal kesan bahwa dia cantik. Bekerja di kapal tidak cocok untuknya. Dia lebih cocok menjadi anak manis yang diantar jemput ke sekolah dan memakai tas punggung warna pink.
Setelah mengantar teh dan kue ke ruang nahkoda, dia duduk berselonjor di anjungan kapal. Kedua tangannya bertumpu ke belakang. Saya mendekat dan duduk bersila di sampingnya. Gadis itu hanya diam saat menyadari saya di dekatnya. Saya tidak mahir memulai percakapan. Maka selama beberapa menit kami, sama-sama membisu. Lalu entah karena apa, dia memulai percakapan dengan bercerita. Mungkin itu caranya berkenalan. Atau mungkin tidak masalah baginya bercerita pada orang asing yang hanya ditemui sekali. Cerita dibuka dengan perpisahan orangtuanya. Ayahnya pergi. Dia berhenti sekolah dan tinggal berdua dengan ibunya. Mereka hidup dengan berganti pekerjaan. Terakhir mereka bekerja di kapal sehingga tempat tinggal pun tidak menetap.
Saat itu matahari sore berada tepat di atas garis laut. Sinarnya yang keemasan menyapu rambut gadis itu. Beberapa helai rambut di bagian depan dipotong pendek hingga jatuh menutupi sebagian wajahnya. Hembusan angin laut membuat rambutnya berantakan. Dia menatap lurus ke arah matahari. Dahinya berkerut dan matanya menyipit karena silau. Sesekali dia menoleh dan tersenyum. Saat matahari ditelan laut, dia beranjak menuju dapur, membantu ibunya menyiapkan makan malam. Pukul sepuluh lewat, kapal merapat di dermaga kota. Saat turun dari kapal, saya sadar belum menanyakan namanya. Beberapa waktu kemudian kapal yang sama merapat di dermaga. Saya mencari gadis itu. Tapi dia sudah pindah ke kapal lain. Pertemuan dengannya hanya beberapa jam. Namanya pun saya tidak tahu. Tapi hingga kini ingatan tentangnya masih melekat. Seorang gadis manis dengan rambut berantakan ditiup angin.
Lain waktu, ingatan menuntun saya pada seorang yang lain. Saat itu rumah nenek masih jadi rental PS. Suatu hari dia datang menawarkan diri jadi asisten jaga dengan imbalan gratis main game dua jam. Tawarannya saya terima. Orangnya jujur, hobi ketawa, tapi pembangkang dan keras kepala. Tak banyak sisi kehidupannya yang saya tahu. Sebatas bahwa dia satu tingkat di atas saya, tinggal bersama tante, kedua orangtuanya bercerai, ayahnya menikah lagi dan pindah ke propinsi lain. Ibunya pergi dan menitipkannya pada pada saudara ayahnya. Sepulang sekolah dia bekerja menarik becak sampai maghrib. Malam hari dia menggantikan saya jaga. Suatu ketika dia menyatakan keinginannya pergi ke tempat yang jauh. Mungkin untuk mencari ayah atau ibunya, pikir saya. Tapi sepertinya bukan, karena dia mengatakan tempat yang jauh. Bila main game, kadang tatapannya lurus menatap layar TV tapi seperti tidak menatap apa-apa. Kosong. Kadang pula tatapan itu berisi sesuatu yang lain. Semacam amarah, kecewa, putus asa atau entah apa.
Hidupnya terlalu berat untuk anak kelas dua SMP. Bukan karena kekurangan materi, tapi kenyataan bahwa orangtuanya pun tak menginginkan dirinya. Manusia menyukai penerimaan dan benci penolakan. Mereka bertahan karena orang lain menginginkan keberadaannya. Ketika hal itu hilang, apa yang membuatmu tetap bertahan ? Suatu ketika, ia tidak pernah lagi muncul. Beberapa hari kemudian saya tahu, dia memutuskan pergi sesuai keinginannya. Membawa beberapa lembar pakaian, buku-buku pelajaran, lalu menumpang bus, menyeberang laut, dan entah kemana. Terkadang saya memikirkannya. Di belahan bumi mana dia saat ini ? Apa dia masih hidup? Apa dia baik-baik saja ? Apa dia pernah bertemu ibu atau ayahnya ? Setiap kali mengingat tatapan kosong di depan layar TV itu, ada rasa nyeri yang menghimpit. Mungkin semacam rasa bersalah.
Ada pula ingatan tentang orang yang pernah akrab dengan saya. Wajahnya mirip tokoh utama drama Oshin. Kami sekolah di tempat berbeda. Pertemanan kami mungkin berawal karena sama-sama kesepian. Orangtuanya berpisah, ia tinggal dengan nenek dari pihak ayah. Sehari-hari neneknya berdagang di pasar. Sementara orangtua saya bekerja jauh di luar pulau. Bertemu hanya sekali atau dua kali setahun. Komunikasi lewat surat hanya sekali dalam dua bulan.
Setiap pagi kami membeli donat di tempat yang sama. Sore hari menghabiskan waktu bersepeda di pesisir pantai. Malam hari belajar bersama atau nonton serial Mr. Bean. Rutinitas harian kami tetap seperti itu selama beberapa waktu. Hidup jadi lebih menyenangkan. Hingga suatu ketika dia pergi begitu saja. Tanpa pamit. Tanpa pesan. Tanpa kata-kata perpisahan. Saya kembali ke rutinitas sehari-hari. Bersekolah seperti biasa. Bergaul dengan orang lain seperti biasa. Makan donat setiap pagi, bersepeda tiap sore, mengerjakan PR setiap malam dan nonton Mr. Bean. Tapi di saat yang sama, sesuatu pelan-pelan mendingin di dalam.
Pertemuan akan selalu terjadi. Begitu juga perpisahan. Rangkai temu yang memberikan banyak hal pada kita. Dan perpisahan yang mengambil beberapa hal dari diri kita. Tapi baik pertemuan atau perpisahan bukan sesuatu yang harus disesali, sebab segala hal tidak terjadi dengan sia-sia. Disadari atau tidak, kita menjadi lebih kuat karenanya.