07 April 2014

Inti Beku

Beberapa malam lalu, saya dan sepupu datang ke rumah sakit. Ada sepupu yang akan melahirkan. Sepupu satu kali saya jumlahnya banyak. Cukup untuk membentuk dua tim sepak bola. Jadi penggunaan kata sepupu dalam satu tulisan dengan sepupu dalam tulisan lain boleh jadi dua orang yang berbeda. Sepupu yang datang bersama saya ada dua orang, sebut saja Heiji dan kak Wana. Mereka bersaudara. Di rumah sakit sudah ada sepupu lain yang menunggu. Karena hanya satu pengunjung yang diperbolehkan masuk, jadi saya masuk terlebih dahulu. Yang lain menunggu di luar. Kak Wana agak takut pada hal-hal yang berhubungan dengan persalinan. Heiji sendiri pernah pingsan di rumah sakit ketika melewati seorang ibu yang menjerit kesakitan menjelang persalinan. Padahal dia datang untuk menjenguk paman yang akan menjalani operasi.

Kalau dipikir aneh juga, sebab pada dasarnya mereka berdua bukan penakut. Pernah terjadi kecelakaan di dekat rumah Heiji. Pengendara yang satu tidak terluka parah, tapi yang satu lagi terkapar tak bergerak di perempatan jalan. Wajahnya tak bisa dikenali karena hancur dan berlumuran darah. Tak ada yang berani mendekat untuk memeriksa tanda kehidupan selain Heiji. Padahal dia perempuan sementara di antara kerumunan itu banyak laki-laki. Tapi lain cerita bila berhubungan dengan ibu hamil. Bagi mereka, melihat perempuan kesakitan menjelang persalinan jauh lebih mengerikan dibanding melihat mayat berlumuran darah di tengah jalan.

Di ruang bersalin, kondisi sepupu saya sangat lemah. Kulitnya pucat, seolah-olah darah baru saja disedot keluar dari tubuhnya. Suami sepupu berdiri di sisi kanan, tangannya terus menggenggam tangan istrinya. Saya mengeluarkan sebotol air zam-zam yang dipesan sewaktu umrah beberapa waktu lalu. Tapi sebelum bersalin tidak boleh ada makanan dan minuman yang masuk. Tak lama kemudian, dokter datang mengabarkan bahwa sepupu saya harus menjalani operasi karena kondisinya tidak memungkinkan bersalin normal. Saya pun diusir keluar ruangan.

Sebelum keluar, saya sempat berbalik dan melihat dokter berbincang serius dengan suami sepupu. Beberapa menit kemudian, dokter dan perawat membawa sepupu ke ruang operasi. Salah seorang dari mereka menyembulkan kepalanya di pintu masuk, meminta suami sepupu menyiapkan beberapa perlengkapan. Suami sepupu yang ikut keluar terlihat seperti tak punya tenaga. Bahunya terkulai. Senyum hilang dari wajahnya. Pembawaannya yang biasa ceria tak tampak lagi. Berganti dengan tatapan kosong. Entah apa yang sudah dikatakan oleh dokter. Tapi sepertinya bukan berita baik. Saat kutanya perlengkapan apa yang harus disiapkan, suami sepupu hanya tercenung. Pikirannya seperti terpisah dari jasadnya. Kuulangi pertanyaanku dan dijawab patah-patah. Rasanya seperti menanyai orang yang baru siuman. Saya melirik kak Wana. Kami memutuskan menyiapkan sendiri walau tak tahu barang apa saja yang dibutuhkan. Saya membongkar tas pakaian, mengeluarkan sarung, selimut, popok, dua pasang pakaian bayi dan sepasang pakaian bersih untuk sepupu lalu menyerahkannya pada dokter. Dokter kembali masuk ke ruang operasi setelah sebelumnya memastikan darah yang dipesan di PMI sudah tiba di rumah sakit.

Penyakit penyertanya berat, kata suami sepupu akhirnya angkat bicara. Dokter menyuruh kita banyak berdoa, lanjutnya. Kami terdiam cukup lama mendengarnya. Cukup lama hingga membuat ruang tunggu menjadi lengang. Saya memain-mainkan ponsel, tak tahu harus berkata apa. Dan kupikir memang tak ada yang perlu diucapkan di saat seperti itu. Yang bisa kami lakukan hanya menunggu. Dan berdoa.

Suami sepupu beranjak dari kursi menuju anak tangga. Letaknya agak tersembunyi di sudut ruangan. Cahaya di sekitar tangga lebih redup dibanding area pintu masuk. Dia duduk di anak tangga ke tiga. Sikunya bertumpu di lutut. Jemari kiri dan kanan ditautkan erat-erat. Kepalanya menunduk seperti orang kelelahan. Beberapa menit kemudian dia mengangkat wajah. Dari jarak beberapa meter, walau agak gelap, saya melihat butir-butir air jatuh dari pelupuk matanya. Tak ada suara. Tak ada isak. Orang yang berlalu lalang di sekitar pintu masuk tidak akan menyadari. Kak Wana yang larut membaca buku di sampingku pun tidak. Perhatian saya alihkan keluar, memandangi barisan motor terparkir di halaman. Bukan pemandangan bagus untuk menenangkan pikiran, tapi sedikit lebih baik dibanding menyaksikan laki-laki dewasa menangis di sudut tangga. Laki-laki menangis bukanlah aib. Juga bukan tanda kelemahan. Itu pertanda bahwa kelenjar air matanya berfungsi dengan baik.

Air mata. Dua kata ini mengingatkan saya pada seorang yang lain. Dia yatim piatu sejak kecil. Lelaki paruh baya yang tak dikaruniai keturunan membawa bocah itu pulang ke rumahnya. Mengangkatnya sebagai anak. Sebelumnya dia juga mengangkat seorang anak perempuan dan seorang lagi laki-laki. Kasih sayangnya terhadap anak-anak angkatnya mengagumkan. Orang-orang kadang kasihan mengapa lelaki penyayang itu tidak punya anak kandung. Sementara di tempat lain, ada yang dikaruniai anak kandung tapi justru membuang darah dagingnya sendiri. Hidup memang penuh kontradiksi. 

Tahun-tahun berlalu. Bocah laki-laki itu tumbuh dewasa. Pembawaannya ceria, santun dan bersahabat. Orang-orang menyukainya. Suatu ketika saya bertemu ayah angkatnya. Beliau bercerita bahwa puluhan tahun ia hidup serumah dengannya sejak masih kecil hingga lelaki itu berkeluarga dan punya anak, dan selama itu pula ia tak pernah melihat setitik air jatuh dari matanya. Tak ada yang mampu membuatnya menangis. Orang yang bergaul dengannya pun lambat laun menyadari bahwa lelaki itu tak pernah menangis oleh sebab apapun, tidak juga oleh kematian.

Orang itu mengingatkan saya pada balok-balok es dalam gelas. Setiap manusia punya inti beku dengan ukuran berbeda-beda dalam hati mereka. Ia tergeletak jauh di kedalaman. Lalu tembok tinggi dibangun di atasnya. Di luar tembok, kehidupan berjalan seperti biasa. Seperti musim yang berganti dari musim semi, musim hujan, panas, teduh, gugur dan dingin. Orang-orang yang berinteraksi dengan kita hanya mampu menjangkau kehidupan di luar tembok. Sementara inti beku tetap tersimpan jauh di kedalaman. Tapi kasus orang itu sedikit berbeda. Tak ada musim hujan di sana. Inti beku miliknya seperti punya fungsi lebih. Semacam freezer. Segala hal yang mengarah pada air mata akan dibekukan menjadi balok-balok kecil lalu disimpan atau mungkin dibuang entah kemana dan lewat apa. 

Satu setengah jam berlalu. Operasi selesai. Dokter keluar mengabarkan telah lahir anak perempuan dengan bobot 2,5 kg. Kondisi sang ibu juga stabil. Mendengar kabar itu, raut cerah yang hilang selama hampir empat jam, kembali terpasang di wajah suami sepupu. Pikirannya yang melayang entah kemana akhirnya kembali menyatu dengan jasadnya. Terlihat dari sikapnya yang cekatan mengurus beberapa keperluan yang diminta dokter. Kami membiarkannya melakukan sendiri. Tak ada lagi yang perlu dikhawatirkan. Tepat ketika hari baru beberapa menit berganti nama, kami pun pamit pulang.
 
;