15 April 2014

Bukan Tentang Sakinah, Mawaddah dan Warahmah

 

Jodoh itu -seperti kata orang-, memang ada di Tangan Tuhan. Tapi kalau tidak diambil-ambil, ya di Tangan Tuhan terus. 
~Sebuah kelakar dalam buku Nikmatnya Pacaran Setelah Pernikahan~ 

Hari masih pagi ketika saya hujan-hujanan menuju fakultas teknik. Tujuan saya ke sana untuk mengambil titipan undangan. Di bulan ini, setidaknya ada tiga nama serupa yang akan menyempurnakan separuh diennya. Dua nama sudah selesai beberapa hari lalu. Berikutnya insya Allah akan menyusul yang ketiga. 

Saya lupa kapan pertama kali mengenalnya. Walaupun kadang melihatnya di beberapa kesempatan, tapi pertemuan saya dengannya menjadi lebih intens ketika kami ditempatkan satu departemen dalam sebuah kepengurusan. Departemen yang khusus mengelola buletin dan mading. Kami pun rutin bertemu dalam musyawarah dan gantian menulis buletin. Setahun kemudian dia diterima bekerja di sebuah perusahaan di Bekasi. Sejak saat itu, komunikasi dilakukan hanya sesekali lewat sms atau telepon. Itu pun karena dia yang lebih sering menelpon. Kadang kepikiran juga kenapa saya bisa seapatis itu. Maksudnya kenapa saya tidak memulai duluan, mengirim sms atau menelponnya. Ketika jarak berjauhan, maka yang dapat diandalkan untuk menyambung komunikasi hanya hp dan dunia maya. Susahnya, saya tidak doyan atau bisa disebut terlalu malas menanyakan kabar dengan ngobrol panjang lebar lewat telepon. Untunglah dia punya blog, jadi tanpa perlu menanyakan kabar, saya bisa tahu sedikit lewat tulisannya. 

Sewaktu dapat kabar gembira itu lewat sms, saya berniat menuliskan sesuatu. Mungkin semacam nasihat pernikahan blablabla. Tapi kupikir lagi, nasihat semacam itu haruslah datang dari orang yang sudah melewatinya. Bukan orang awam lagi tak berpengalaman kayak saya. Lagipula saya yakin dia mungkin sudah kenyang diberi nasihat sana-sini tentang pernikahan. Ingin menulis tentang jodoh juga sudah ditulis duluan sama yang lain. Tiba-tiba saya teringat ceramah ustadz Armen Halim Naro tentang Wasiat Untuk Wanita. 

Kata orang, kehidupan rumah tangga jauh berbeda dibanding kehidupan ketika masih sendiri. Saya belum tahu seberapa jauh perbandingannya. Tapi cukuplah ucapan seseorang bahwa hidup bersama orang lain lebih sulit dari yang kau kira, menjadi sedikit gambaran tentang perbedaan itu.

Dalam ceramahnya, ustadz Armen Halim Naro menyebutkan bahwa setiap orang bisa berhasil dalam hal pekerjaan, bisnis atau karir di luar rumah, tapi belum tentu ia berhasil dalam rumah tangga. Perlu diketahui bahwa setengah kebahagiaan ada di dalam rumah. Ketika seseorang tak bisa merasakan kebahagiaan di rumah, berarti ia telah kehilangan separuh kebahagiaannya. Olehnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam mengingatkan kepada semua wanita agar bisa memberikan pelayanan lebih di dalam rumah, sebab rumah dapat menjadi surga ataupun neraka bagi seseorang. 

“Kepada seorang istri”, kata Rasulullah, “Lihatlah di mana kedudukan engkau di mata suamimu. Sesungguhnya suamimu itu adalah surgamu atau nerakamu.” Ucapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam tersebut seakan-akan meminta kepada semua istri agar bisa menciptakan surga bagi suami atau rumah tangganya. Tetapi sebelum istri dituntut, seorang suami lebih berhak dituntut oleh syariat untuk bisa menciptakan surga dalam rumah tangganya. Sebab ia adalah qawwamah, pemimpin. 

Banyaknya permasalahan rumah tangga yang dikeluhkan kepada murabbi atau para da’i kebanyakan disebabkan oleh jauhnya masyarakat dari ajaran islam tentang bagaimana rumah tangga yang bahagia. Atau yang orang-orang sebut dengan dengan sakinah, mawaddah dan warahmah. 

Para lelaki telah diwasiatkan oleh Rasulullah untuk berbuat baik kepada wanita dengan terlebih dahulu mengingatkan mereka bahwa wanita diciptakan dari tulang rusuk. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam menggambarkan bahwa tulang rusuk tersebut bengkok, dan yang paling bengkok adalah atasnya. Sebagaimana yang paling bengkok dari wanita adalah kepalanya. Uniknya, yang bengkok ini dapat menghilangkan akal sehat laki-laki yang pada dasarnya tegas. Rasulullah pernah bersabda sambil menunjuk satu per satu para shahabiyah serta istri-istrinya, Saya tidak melihat orang yang kurang akalnya dan kurang diennya yang dapat menghilangkan akal orang yang tegas (laki-laki) di antara kami sebagaimana kalian. 

Contoh kebengkokan wanita dapat dilihat dari kisah yang terjadi pada pada masa pemerintahan Umar bin Khattab. Saat itu seorang Arab Badui dimarahi oleh istrinya di depan anak-anak mereka. Lelaki badui itu pun berniat mengadukan sang istri pada Amirul Mukminin, Umar bin Khattab. Sesampainya di depan rumah Umar, Arab Badui itu menyaksikan bahwa apa yang terjadi di rumahnya, terjadi pula di rumah Umar, bahkan lebih hebat lagi. Uniknya dia tidak mendengar sedikit pun suara bantahan dari Umar. Yang terdengar hanya gerutu sang istri. Khalifah tersebut dimarah-marahi, bahkan dicaci maki oleh istrinya dan beliau diam saja. 

Ketika pintu dibuka, Umar menemukan seseorang sedang berdiri di depan rumahnya. Lalu ditanyakan maksud kedatangan orang tersebut. Lelaki badui itu pun mengaku hendak mengeluhkan apa yang terjadi di rumahnya. Namun ketika melihat apa yang terjadi di rumahnya juga terjadi di rumah Umar, dia pun berniat membatalkan keluhannya. Mendengar itu Umar tersenyum dan berkata, “Wahai saudara islam, begitulah wanita. Akan tetapi saya berpikir bahwa wanita yang mencela saya tadi, bukankah dia yang memasakkan untuk saya, mencucikan untuk saya, memandikan anak-anak saya dan membesarkannya ? Maka saya berharap Allah memberikan ganjaran yang lebih besar dari kesabaran saya kepadanya.” Inilah sosok Umar, hati yang lembut di jiwa yang keras. Oleh karenanya, setiap suami dan istri harus bisa memahami kekurangan masing-masing sehingga mereka dapat ridha dengan keadaan tersebut. 

Dalam kisah lain disebutkan bahwa suatu hari ‘Aisyah bertengkar dengan Rasulullah. Lalu datanglah Abu Bakar. Ketika Abu Bakar melihat wajah anaknya -‘Aisyah- memerah sambil berteriak kepada Rasulullah, hendak dipukulnya anaknya itu. Tapi Rasulullah menghalanginya. Sepulang Abu Bakar, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam berkata, Wahai Aisyah, lihatlah bagaimana pembelaanku terhadapmu. Beberapa hari setelah itu mereka kembali bercengkrama seperti biasa, tertawa bersama. Abu Bakar yang melihat keadaan itu pun cemburu dan berkata, Ya Rasulullah tolong ikutsertakan saya di dalam perdamaian kalian sebagaimana saya telah ikut serta dalam peperangan kalian. 

Bercermin pada kisah-kisah tersebut, maka rumah tangga yang bahagia, kata para ulama, bukanlah rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan warahmah, bukan rumah tangga yang lepas dari masalah. Akan tetapi rumah tangga yang bahagia adalah rumah tangga yang bisa menyelesaikan permasalahan sesuai dengan anjuran syariat. Rumah tangga yang bahagia adalah rumah tangga yang suaminya bisa menyelesaikan problema rumah tangganya sesuai dengan tuntunan syariat Allah. Sebab rumah tangga Rasulullah yang merupakan rumah tangga paling bahagia pun tidak lepas dari masalah. Akan tetapi mereka bisa keluar dari setiap permasalahan dengan berpedoman pada kitab Allah dan sunnah Rasulullah. 

Teruntuk Kak Rahma yang sudah ‘mengambil’ jodohnya,  

Baarakallaahu laka, wa baaraka 'alaika, wa jama'a baynakumaa fii khair 
“Semoga Allah memberikan berkah kepadamu, semoga Allah mencurahkan keberkahan kepadamu. Dan semoga Allah mempersatukan kalian berdua dalam kebaikan” 


Nb : Mungkin saya tidak bisa memberikan kado virtual seperti mbak Haps, tapi insya Allah akan ada kado visual (halah). Rencananya besok mau berburu kado. Ada permintaan khusus, kak ? ^_^
 
;