03 May 2014

Berlibur Ke Liang Tarrusu

Selayar panas seperti biasa. Sudah hampir dua pekan saya berada di sini. Seorang teman kampus yang baru pertama kali menginjak Selayar dalam rangka penelitian pernah memperlihatkan tiga kipas yang patah. Ternyata kipas itu patah karena keseringan dipakai. Cuaca di sini benar-benar panas, katanya. Teman sekampung lain lagi komentarnya. Katanya, perawatan kulit setahun di Makassar bisa hancur dalam sehari di Selayar :D. Kalau ingin menggelapkan kulit, katanya lagi, tidak perlu bayar mahal ke salon. Cukup berjemur seminggu penuh sudah bisa menyaingi Farah Quinn. 

Ada pula teman yang pernah ditugaskan mewawancarai salah seorang penambang yang sudah bertahun-tahun bekerja di Selayar. Setelah bicara beberapa menit, si penambang yang diwawancarai terlihat tidak paham bahasa teman saya. Padahal dia sudah menggunakan bahasa Indonesia yang baku. Berdasarkan data pribadi, si penambang berasal dari Jakarta. Mandor yang melihat ketidaknyambungan itu mendekat dan berbicara menggunakan bahasa Mandarin kepada si penambang. Teman saya akirnya paham kalau si penambang adalah warga China. Mungkin karena kelamaan di Selayar, kulitnya jadi gelap, jadi tidak bisa lagi dibedakan dengan penduduk asli. 

Di cuaca yang panas, tidak ada yang lebih menyenangkan dibanding laut, pasir putih dan es kelapa muda. Malam kamis kemarin, saya dapat ajakan berlibur dari senior. Oleh keponakannya, dia sering dipanggil Mie Titi. Di hari libur yang  bertepatan dengan Hari Buruh, Mie Titi dan beberapa teman seangkatannya berencana pergi berenang ke Liang Tarrusu. Liang Tarrusu terletak beberapa kilo dari Liang Kareta. Nama-nama yang disematkan oleh penduduk untuk pantai itu terkesan asal-asalan. Disebut Liang Kareta karena katanya mirip kereta. Yang saya lihat hanya ceruk besar sepert gua, tak mirip kereta sama sekali. Liang Tarrusu artinya liang terusan. Saya juga tidak mengerti itu terusan apa atau terusan kemana. Karena semua liang di sana terlihat sama saja. Tapi tak perlulah mempersoalkan nama, sebab yang terpenting adalah pasir putih dan lautnya yang hijau torquise. Mau dikasih nama apapun, tempatnya tetap sama. 
Kami berangkat bertiga belas mengendarai motor. Saya membonceng sama Mie Titi. Kami menuju desa Padang, lalu menyewa perahu motor ke Liang Tarrusu. Sebenarnya bisa langsung dari kota Benteng menuju Liang Tarrusu, tapi perjalanan lewat laut jadi lebih lama. Liang Tarrusu tidak bisa disebut bersih. Pasir putih dan lautnya memang bersih. Tapi di sekitar liang tidak. Sampah pembungkus makanan, botol plastik dan puluhan sandal bertumpuk di sana. Kami tiba pukul 11 lewat. Karena shalat dhuhur kurang dari satu jam lagi, jadi saya menunggu waktu shalat dulu baru berenang. 

Beberapa di antara senior itu adalah pengurus OSIS yang mengospek saya sewaktu SMA. Seingatku mereka dulu kerjanya hanya ngumpul-ngumpul di pinggir pantai, minum sara’ba’ dan makan gorengan sambil main gitar. Tapi biar begitu mereka tetap berprestasi di kelas. Anak-anak IPA kesayangan guru. Bila para guru berkumpul, mereka sering bertukar cerita tentang kondisi siswa. Ada jenis siswa yang malas ke sekolah, sering bolos, tapi nilai ujiannya selalu paling tinggi. Mereka bolos bukan karena malas belajar, tapi mereka sudah paham apa yang akan disampaikan oleh guru. Guru sendiri kadang mengakui bahwa beberapa siswa sebenarnya lebih cerdas dibanding dirinya. Tapi guru tetaplah guru. Dan murid tetaplah murid. 

Saya sulit memulai percakapan dengan orang asing. Tapi bersama para senior itu, tak ada basa-basi kaku atau perkenalan membosankan. Semua berjalan natural. Dan saya suka awal pertemanan yang seperti itu. Mereka lucu tanpa bermaksud melucu. Mereka saling meledek satu sama lain. Ledekan-ledekan itu yang membuat saya tertawa lepas. Konyol pokoknya. Tapi hanya yang paham bahasa Selayar yang bisa menangkap humor percakapan mereka. Melihat tingkah teman-temannya, salah seorang dari senior itu menoleh ke saya, 

“Bagaimana ? Kami gila, kan ?” 

Di hari libur berikutnya, mereka berencana berlibur ke pulau Tinabo. Hanya saja, biaya yang dibutuhkan lebih mahal. Untuk menyewa speedboat bisa menghabiskan dua juta, belum lagi biaya penginapan, sewa alat snorkeling dan sewa guide. Bila rencana itu jadi, saya tidak yakin apa bisa ikut atau tidak. Sebab, tujuan utama saya di sini bukan untuk liburan.
 
;