Selayar
panas seperti biasa. Sudah hampir dua pekan saya berada di sini. Seorang teman
kampus yang baru pertama kali menginjak Selayar dalam rangka penelitian pernah
memperlihatkan tiga kipas yang patah. Ternyata kipas itu patah karena
keseringan dipakai. Cuaca di sini benar-benar panas, katanya. Teman sekampung
lain lagi komentarnya. Katanya, perawatan kulit setahun di Makassar bisa hancur
dalam sehari di Selayar :D. Kalau ingin menggelapkan kulit, katanya lagi, tidak
perlu bayar mahal ke salon. Cukup berjemur seminggu penuh sudah bisa menyaingi
Farah Quinn.
Ada
pula teman yang pernah ditugaskan mewawancarai salah seorang penambang yang
sudah bertahun-tahun bekerja di Selayar. Setelah bicara beberapa menit, si
penambang yang diwawancarai terlihat tidak paham bahasa teman saya. Padahal dia
sudah menggunakan bahasa Indonesia yang baku. Berdasarkan data pribadi, si
penambang berasal dari Jakarta. Mandor yang melihat ketidaknyambungan itu mendekat
dan berbicara menggunakan bahasa Mandarin kepada si penambang. Teman saya akirnya
paham kalau si penambang adalah warga China. Mungkin karena kelamaan di Selayar,
kulitnya jadi gelap, jadi tidak bisa lagi dibedakan dengan penduduk asli.
Di
cuaca yang panas, tidak ada yang lebih menyenangkan dibanding laut, pasir putih
dan es kelapa muda. Malam kamis kemarin, saya dapat ajakan berlibur dari senior.
Oleh keponakannya, dia sering dipanggil Mie Titi. Di hari libur yang bertepatan dengan Hari Buruh, Mie Titi dan
beberapa teman seangkatannya berencana pergi berenang ke Liang Tarrusu. Liang
Tarrusu terletak beberapa kilo dari Liang Kareta. Nama-nama yang disematkan oleh
penduduk untuk pantai itu terkesan asal-asalan. Disebut Liang Kareta karena katanya
mirip kereta. Yang saya lihat hanya ceruk besar sepert gua, tak mirip kereta
sama sekali. Liang Tarrusu artinya liang terusan. Saya juga tidak mengerti itu terusan
apa atau terusan kemana. Karena semua liang di sana terlihat sama saja. Tapi
tak perlulah mempersoalkan nama, sebab yang terpenting adalah pasir putih dan
lautnya yang hijau torquise. Mau dikasih nama apapun, tempatnya tetap sama.
Kami
berangkat bertiga belas mengendarai motor. Saya membonceng sama Mie Titi. Kami menuju
desa Padang, lalu menyewa perahu motor ke Liang Tarrusu. Sebenarnya bisa
langsung dari kota Benteng menuju Liang Tarrusu, tapi perjalanan lewat laut
jadi lebih lama. Liang Tarrusu tidak bisa disebut bersih. Pasir putih dan
lautnya memang bersih. Tapi di sekitar liang tidak. Sampah pembungkus makanan,
botol plastik dan puluhan sandal bertumpuk di sana. Kami tiba pukul 11 lewat.
Karena shalat dhuhur kurang dari satu jam lagi, jadi saya menunggu waktu shalat
dulu baru berenang.
Beberapa
di antara senior itu adalah pengurus OSIS yang mengospek saya sewaktu SMA.
Seingatku mereka dulu kerjanya hanya ngumpul-ngumpul di pinggir pantai, minum
sara’ba’ dan makan gorengan sambil main gitar. Tapi biar begitu mereka tetap
berprestasi di kelas. Anak-anak IPA kesayangan guru. Bila para guru berkumpul,
mereka sering bertukar cerita tentang kondisi siswa. Ada jenis siswa yang malas
ke sekolah, sering bolos, tapi nilai ujiannya selalu paling tinggi. Mereka
bolos bukan karena malas belajar, tapi mereka sudah paham apa yang akan
disampaikan oleh guru. Guru sendiri kadang mengakui bahwa beberapa siswa
sebenarnya lebih cerdas dibanding dirinya. Tapi guru tetaplah guru. Dan murid
tetaplah murid.
Saya
sulit memulai percakapan dengan orang asing. Tapi bersama para senior itu, tak
ada basa-basi kaku atau perkenalan membosankan. Semua berjalan natural. Dan
saya suka awal pertemanan yang seperti itu. Mereka lucu tanpa bermaksud melucu.
Mereka saling meledek satu sama lain. Ledekan-ledekan itu yang membuat saya
tertawa lepas. Konyol pokoknya. Tapi hanya yang paham bahasa Selayar yang bisa
menangkap humor percakapan mereka. Melihat tingkah teman-temannya, salah
seorang dari senior itu menoleh ke saya,
“Bagaimana
? Kami gila, kan ?”
Di
hari libur berikutnya, mereka berencana berlibur ke pulau Tinabo. Hanya saja,
biaya yang dibutuhkan lebih mahal. Untuk menyewa speedboat bisa menghabiskan
dua juta, belum lagi biaya penginapan, sewa alat snorkeling dan sewa guide.
Bila rencana itu jadi, saya tidak yakin apa bisa ikut atau tidak. Sebab, tujuan
utama saya di sini bukan untuk liburan.