29 January 2015

5 Centimeters Per Second


“Suatu hari kelak, aku pasti akan kalah oleh waktu dan jarak yang tak terlampaui.” 
~Takaki~ 

“Aku sudah benar-benar berhasil menjadikanmu kenangan, kan ?” 
~Akari~ 

“Walaupun dia tersenyum lembut padaku, hatinya seakan menghadap sesuatu di kejauhan.” 
~Kanae~ 

Sebenarnya berat menulis tentang anime ini (halah). Walaupun sudah dinonton sejak tahun lalu, jauh sebelum lulus. Waktu itu hanya setengah-setengah karena fokus pada persiapan sidang. Selesai ujian, Yoru yang sudah duluan nonton mendesak saya untuk nonton juga. Katanya wajib, supaya saya ikut-ikutan sesak (apa maksud ?). Akhirnya memang dinonton juga, yang membuat saya menyesal. Kenapa ? Karena anime ini benar-benar bikin sesak napas. Selepas nonton buru-buru saya buka jendela dan menarik napas dalam-dalam (sambil merapal mantra “hidup ini indah, anginnya sepoi-sepoi”). Karena masih tak nyaman juga, anime itu langsung di-shift+delete dari laptop. 

Pepatah bilang, seekor tupai tak akan jatuh di lubang yang sama. Beberapa hari yang lalu, saya mengunjungi Snoppy, mencari seri terakhir The Hunger Games, Mockingjay, yang minta dipinjamkan sama sepupu. Sejak filmnya sukses di pasaran, novelnya jadi susah didapat karena banyak yang antri. Si sepupu yang belum baca sampai tuntas penasaran dengan seri terakhir, tapi juga tak niat beli. Maunya cumi, cuma minjam. Seperti yang diperkirakan, si Mockingjay masih di tangan orang lain. Saya sudah memutuskan untuk pulang ketika secara tak sengaja (ah, lagi-lagi tak disengaja) mata saya menabrak dua jilid manga yang duduk manis di atas meja pengembalian. Manga yang judulnya membuat saya tiba-tiba diserang sesak napas, 5 cm Per Second. 

Pinjam. Tidak. Pinjam. Tidak. Berdiri tiga menit dengan jari mengetuk-ngetuk meja hanya untuk masalah sepele antara pinjam atau tidak. Adakalanya bersikap ringan itu penting. Dipikir-pikir, yah, hanya manga. It’s not a a big deal. Berharap ada sesuatu di dalamnya yang menjawab hal yang tidak terjawab di anime. Walau hanya sedikit tidak masalah. Saya butuh itu. Dan si tupai pun jatuh di lubang yang sama. 

5 cm per second dipercaya sebagai kecepatan jatuhnya bunga sakura. Cerita versi anime terbagi tiga segmen dengan tiga tokoh penting : Takaki, Akari dan Kanae. Sementara cerita versi manga lebih panjang yang dipecah ke dalam sebelas segmen dengan tambahan tokoh Risa Mizuno, yang dalam anime hanya muncul sebentar. Tempo yang dipakai di kedua versi sama-sama lambat. Tempo yang lambat dengan nuansa sendu memang paling bisa menimbulkan sesak, asal didukung oleh cerita yang menarik. Keunggulan anime ini ada pada ceritanya yang berat, rumit dan realistis serta artwork yang keren. Kalau artwork yang super keren masih dipegang oleh Kotonoha no Niwa (Garden of Words). Keduanya sama-sama digarap oleh Makoto Shinkai, tapi dilihat dari kedua sisi, cerita dan grafis, 5 cm Per Second  lebih unggul. 

Masuk pada cerita dan tokoh-tokohnya. Sejujurnya, yang bikin sesak bukan kisah antara Takaki dan Akari. Yah, sesak juga, sih. Tapi bukan itu yang utama. Bagaimana pun, aneh rasanya murid kelas empat SD sudah mengalami apa yang disebut perasaan-yang-sulit-diungkapkan, apalagi terbawa hingga dewasa. Masa itu adalah masa bermain. Mereka belum terganggu oleh perasaan semacam itu. Tapi entahlah ya, kalau di Jepang sana. Jika hal itu harus muncul, paling minimal saat kelas dua atau tiga SMP. Karenanya saya lebih memahami perasaan Kanae pada Takaki dibanding Takaki-Akari. 




Membaca manga-nya memang sudah sesak sedari awal. Memasuki bagian Kanae kemudian bagian Risa Mizuno, sesaknya jadi menumpuk. Menjelang akhir, Kanae bertutur tentang Takaki setelah sepuluh tahun berlalu, Dia seperti bintang bersinar yang selalu ada di sana, namun tak terjangkau. Saat itu aku sadar aku takkan bisa meraihnya. Saat membaca bagian ini, mata yang sudah berkaca-kaca pun pecah. Ah, tolong, di antara segala pilihan kata, kenapa harus kata-kata ini yang muncul ? Tapi ada hal penting yang saya temukan dalam manga, ketika Takaki dewasa melintasi rel kereta dan di seberang jalan, di balik punggungnya, Akari kecil berdiri melambaikan tangan. Mungkin, itu jawaban yang saya cari. Endingnya memang terbuka bagi penonton untuk menyimpulkan sendiri. Ini hebatnya Makoto Shinkai mengeksekusi akhir yang indah sekaligus menyakitkan. 

Dalam novel Kafka on The Shore karya Murakami, ada kalimat berbunyi seperti ini, “Kafka, dalam kehidupan setiap manusia, ada suatu titik di mana kau tidak dapat kembali lagi. Dan pada beberapa kasus, itu berarti titik di mana kau juga tidak dapat maju. Ketika kita tiba pada titik itu, yang dapat kita lakukan hanyalah menerima kenyataan. Dengan cara itulah kita bertahan.”  Baik Takaki, Akari, Kanae bahkan Risa adalah tokoh-tokoh yang berada pada titik itu. Dan juga sedang bertahan dengan cara seperti itu. Masing-masing dari mereka berusaha, agar jam kembali berputar. Takaki yang mulai menerima dirinya apa adanya, Akari yang akan selalu menyukai Takaki dan Kanae yang mengunjungi Tokyo mencari jawaban dari pernyataannya sepuluh tahun yang lalu. 

Buat yang sudah nonton animenya, saya sarankan baca juga manganya. Mungkin ada hal lain yang bisa kau temukan di sana.
 
;