“I
was really there. And that was enough to make me feel infinite. I feel
infinite.”
~Charlie, The Perks of Being Wallflower~
Pukul delapan malam itu, saat Oshin, sebut saja begitu
karena orang-orang pun nyaris lupa nama aslinya, mengajakku ke dermaga. Kami
berlari ke kolong rumah mengambil sepeda dan mengayuh cepat-cepat, takut
bertemu nenek di jalan. Saat melewati masjid, dari jendela kaca kulihat nenek
masih duduk bersama jamaah lain. Kebiasaan beliau selepas shalat Isya adalah
berlama-lama cerita dengan temannya. Jantungku serasa mau lompat karena takut
bercampur senang. Itu pelarian paling mendebarkan yang pernah kualami. Karena
setelahnya nenek mengerahkan para sepupu dan tetangga ke seantero kota Benteng untuk
mencari dua bocah perempuan yang keluar malam tanpa pamit. Padahal kami
mengunjungi dermaga yang letaknya hanya dua blok dari rumah.
Saat itu langit cerah, ribuan bintang memadati langit. Seperti serpihan kaca. Kami menggotong sepeda turun ke pantai. Oshin bersepeda menyusuri garis pantai. Sementara aku berguling-guling di atas pasir, mirip Enola dan Helen di film Waterworld yang begitu girang ketika akhirnya menemukan Dryland. Bunyi ombak, suara Oshin yang tertawa, semilir angin laut, pantai yang gelap dan langit malam yang kutatap. Di momen itu, untuk pertama kalinya aku merasa bebas.
Saat itu langit cerah, ribuan bintang memadati langit. Seperti serpihan kaca. Kami menggotong sepeda turun ke pantai. Oshin bersepeda menyusuri garis pantai. Sementara aku berguling-guling di atas pasir, mirip Enola dan Helen di film Waterworld yang begitu girang ketika akhirnya menemukan Dryland. Bunyi ombak, suara Oshin yang tertawa, semilir angin laut, pantai yang gelap dan langit malam yang kutatap. Di momen itu, untuk pertama kalinya aku merasa bebas.
“Walaupun tinggal serumah dengan bulan dan matahari
namun hati tidak tentram, maka itu bukan sumber kebahagiaan”
~Ibu~
Aku terkagum-kagum pada kalimat itu sampai-sampai
kucatat agar tidak lupa. Diucapkan dalam bahasa Selayar dan menurutku lebih
mengena dibanding bahasa Indonesia. Tapi kira-kira seperti itulah
terjemahannya. Siang itu aku membantu mengetikkan tugas-tugas ibu. Lalu sepupu
ibu datang berkunjung. Mereka pun terlibat diskusi serius tentang berita yang mencuat
belakangan ini. Tak disangkal jika materi dan kedudukan adalah dua dari sekian indikator
kebahagiaan. Ada orang yang memiliki berbagai materi yang hanya bisa diimpikan
orang lain. Bolak-balik plesiran ke luar negeri seperti layaknya bolak-balik ke
toilet. Serta punya kedudukan tinggi dalam pekerjaan. Karena itulah disebut “tinggal
serumah dengan bulan dan matahari”. Tetapi rumah yang punya segala materi itu
tak bisa memberi ketentraman batin. Masalah di dalamnya membuat penghuni lebih
betah berada di luar dibanding di rumah. Dan lebih nyenyak tidur di kantor
dibanding di kamar. “Mereka telah menjadi lebih kaya,
mereka bekerja jauh lebih sedikit, mereka
memiliki
hiburan lebih panjang, mereka lebih
sering mengadakan
perjalanan, mereka hidup
lebih lama, dan mereka lebih sehat.”
Kata Richard Layard, professor dari London School of Economics, “Namun,
mereka tidak lebih bahagia.” Bagaimana menurutmu ?
Oh ya, pemateri dalam seminar yang kuikuti kemarin memberi
tips bahwa bila ingin merasakan ketenangan, maka sering-seringlah memeluk ibu, sebab
pelukan ibu membawa ketenangan sebagaimana ketenangan dalam rahim.
Selamat
tidur, semoga angin memelukmu kembali dalam sejuk dan harum di awal pagi.