28 August 2015

The Idiots


Hari : Kalau Alok sanggup melewati semua ini. aku akan menulis buku tentang hari-hari sinting kita. Aku bersumpah 
Alok : Karena bergaul dengan Hari dan Ryan, nilai-nilaiku hancur
Ryan : Aku mengacaukan segalanya

Hari, Ryan dan Alok adalah setali tiga uang. Bahu-membahu mereka melewati hari-hari penuh tekanan di jurusan teknik IIT, berusaha menyeimbangkan antara belajar dan bersenang-senang. Sering juga mereka berselisih paham kemudian bertengkar. Bersama, tiga mahasiswa pas-pasan ini melakukan berbagai hal gila, dan puncaknya adalah mencuri soal ujian dari kantor kepala jurusan, lalu ketahuan. Dengan segudang masalah yang mereka hadapi, bisa tidak ya, mereka lulus dari kampus yang katanya terpopuler se-India ini ?

Membaca novel The Idiots, yang berjudul asli Five Point Someone karya Chetan Bhagat ini, membuat saya selalu membandingkannya dengan versi film. Kalau dihitung-hitung sekitar 60% cerita dalam novel yang dimasukkan dalam film dengan beberapa perubahan di sana-sini. Farhan yang di akhir film putar haluan menjadi fotografer, berbeda dengan Alok yang dalam novel tetap bekerja di bidang teknik walau ia sebenarnya lebih suka melukis. Versi novel lebih menekankan cerita yang realistis. Atau Rancho yang dalam film dipasangkan dengan Phia, anak Prof. “Virus”, maka dalam novel karakter aku/Hari yang menyukai Neha, anak Prof. Cherian. Rancho dalam film adalah tukang kebun yang menggantikan majikannya kuliah, sementara Ryan dalam novel berasal dari keluarga berada, kedua orangtuanya berbisnis di Eropa. Sudut pandang dalam novel berganti-ganti, mulai dari Hari lalu pindah ke kacamata Alok, Ryan bahkan Neha.

“Sebelum kalian begitu antusias soal bekerja untuk masa depan, bereskan dulu masa lalu dan masa kinimu.” (hal. 194)

Jika Ryan adalah Rancho, Hari adalah Farhan, Alok adalah Raju, Prof. Cherian adalah Virus, Neha adalah Pia dan Venkat adalah Chatur, maka terus terang versi film lebih unggul. Mungkin karena saya nonton filmnya duluan baru baca novelnya. Selain itu karakter Ryan yang kontras dengan Rancho. Rancho dalam film adalah gabungan antara jenaka dan jenius. Rancho memahami apa yang dibutuhkan dan diinginkan sahabatnya. Dia tahu bagaimana membantu mereka dengan cara yang elegan. Dia suka membuat ulah tapi menyelesaikan masalah dengan cerdas. Lebih dari itu, nilai-nilainya selalu tertinggi, mengalahkan Chatur. Karakter sempurna yang hanya eksis di dunia fiksi.

“Dan saat itulah, aku menyadari bahwa IPK mencetak mahasiswa yang baik, tapi bukan pribadi yang baik.” (hal. 363)

Karakter Ryan Oberoi berbeda. Ryan memang menyelamatkan Hari dan Alok di hari pertama ospek kampus. Ryan kreatif dan kepercayaan dirinya kuat. Tapi emosional, arogan dan suka mendebat siapa saja. Suka menabrak aturan. Suka membuat ulah dan melibatkan kedua sahabatnya yang berujung kekacauan. Dia tak pernah menyelesaikan masalah dan tidak pernah merasa bersalah. Sekadar mengucap maaf saja susahnya minta ampun. Egois dan kekanak-kanakan. Itulah Ryan. Nilainya juga paling rendah di antara yang lain dan dia tidak ambil pusing. Bagaimana pun, ada bagian yang membuat pembaca simpati pada tokoh ini.

“Salah satu bagian terbaik dalam kehidupan kampus adalah teman-teman yang kalian peroleh. Dan pastikan kalian bersahabat untuk selamanya.” (hal. 364)

Konflik dalam novel tidak sekompleks versi film. Tidak ada pendaratan darurat karena penumpang pesawat pura-pura kena serangan jantung. Tidak ada aksi nekat membawa lari mempelai perempuan dari acara pernikahan. Atau kejar-kejaran memperebutkan abu jenazah yang nyaris ditaburkan ke dalam kloset. Masalah yang muncul adalah masalah khas mahasiswa; tumpukan tugas, kuis dadakan, profesor yang kaku, asrama yang monoton dan persaingan mahasiswa yang melelahkan. Latar tempat berputar di beberapa area saja; kampus, asrama, rumah Alok dan kedai sekitar kampus. Ending novel juga tidak sedramatis film. Tapi sedihnya dapat, ketika ketiganya berpisah karena masing-masing bekerja di wilayah berbeda.

“Kau tahu, rasanya aneh, aku mungkin sudah lulus dari IIT, tapi jiwaku masih tertinggal di sana. Mungkin di koridor-koridor asrama, atau di kedai Sasi, atau di atap kampus.” (hal. 372)
 
;