Ezra Faulkner, cowok paling populer di sekolah, percaya bahwa
semua orang pasti akan mengalami tragedi. Begitu pun dirinya. Pada suatu
malam, pengemudi ceroboh menabrak Ezra sehingga menghancurkan lutut,
karier atletik dan kehidupan sosialnya. Saat tersingkir dari kalangan
anak keren, ia berkenalan dengan Cassidy Thorpe. Gadis itu melibatkan
Ezra dalam petualangan tak berkesudahan. Namun, ketika asyik dengan
cinta dan persahabatan baru, Ezra jadi tahu bahwa ternyata ada
orang-orang yang ia salah artikan. Akibatnya, ia sekarang berpikir kalau
kecelakaan kemarin sudah menghantam dan mengubah seluruh hidupnya, apa
yang akan terjadi jika tragedi lain menyusul ?
Setelah dijejali kisah penuh petualangan dan sarat politik karya Jonas Jonasson,
ada baiknya mengambil jeda dengan membaca novel remaja. Biasanya
romansa remaja ringan kayak popcorn dan manis kayak es krim. Pilihan
jatuh pada The Beginning of Everything. Dari sinopsis sudah kelihatan ide ceritanya bukan lagi sesuatu yang baru : Cowok keren, tampan dan populer di sekolah jatuh cinta pada cewek pindahan yang kuper, pemurung dan kutu buku. Di dunia nyata, berdasarkan pengamatan pribadi, orang populer hanya
tertarik dengan sesama orang populer. Begitu pun manusia-manusia kuper
yang menghabiskan waktunya membaca biasanya lebih senang dengan
sesama golongan mereka.
“Dunia ini mematahkan semua orang, lalu setelahnya, beberapa orang menjadi kuat di tempat-tempat yang patah itu.” (Ernest Hemingway)
Awalnya saya kira penulisnya laki-laki (namanya kan Robyn). Tokoh
utamanya pun laki-laki yang diambil dari sudut pandang orang pertama.
Tapi setelah puluhan halaman kok ada yang aneh. Ezra, kau
ini tokoh laki-laki, kenapa cara bertuturmu kayak perempuan, pikir saya. Kutengok halaman biografi penulis untuk memastikan. Benar saja, penulisnya perempuan. Apa kubilang. Ini mirip dengan waktu baca Tokyo Tower-nya
Lily Franky. Hanya saja yang itu kebalik, awalnya saya kira penulisnya
perempuan, tapi setelah baca, kok cara berpikir dan gaya bertuturnya
kayak laki-laki. Maksudku, kadang kau bisa mendeteksi mana tulisan
laki-laki dan mana tulisan perempuan. Tulisan perempuan, terlebih genre
romance, cenderung emosional dan melankolis walaupun tokoh utamanya
laki-laki. Lihat saja ketika Adam jadi narator dalam Where She Went.
“Dalam konteks pembuktian matematika, apabila sesuatu dianggap
invalid, berarti menurut logika yang tidak terbantahkan, sesuatu itu
tidak ada.” (Hal. 21)
Andai ketemu novel ini dalam situasi berbeda, sebelum baca novel John
Green misalnya, mungkin saya akan menyukainya. Tapi konflik cerita dalam
The Beginning of Everything terasa datar-datar saja. Walaupun
di akhir memang ada sedikit kejutan. Tapi secara keseluruhan, mulai dari tokoh dan hubungan antar tokoh yang kurang kuat, sampai komedi dan
petualangannya yang nanggung. Padahal di sinopsis disebutkan “petualangan tak berkesudahan”. Nyatanya, petualangan dalam novel ini tidaklah se-wah itu. Masih lebih seru petualangan Quentin ketika mencari Margo dalam Paper Towns. Komedinya pun biasa saja, seingatku selama membaca saya hanya satu kali tersenyum.
“Kau tahu cara mereka mengelompokkan drama-drama Shakespeare, kan
? Yang berakhir pernikahan masuk kategori komedi. Yang berakhir
pemakaman masuk kategori tragedi. Jadi, kita semua tragedi
berjalan, karena kita semua akan berakhir dengan cara yang sama, yang
jelas bukan dengan pernikahan sialan.” (Hal. 282)
Mungkin dialognya yang sulit dimengerti karena banyak mengutip sastra
klasik barat yang tidak pernah saya baca. Atau mungkin karena
tokoh-tokohnya yang digambarkan begitu cerdas sehingga tidak bisa
dipahami oleh pembaca macam saya. Atau barangkali lebih tepatnya, karena
tidak ada satu pun karakter dalam novel ini yang benar-benar saya suka.
Tidak Ezra, tidak Cassidy, tidak Toby dan tidak pula lainnya. Tapi saya
cukup simpati pada Cassidy. Awal kemunculannya biasa saja, lalu mulai
menyebalkan di pertengahan, mirip Alaska yang mood-nya naik turun dan
menjengkelkan. Tapi di akhir, penjelasan Cassidy mampu melunturkan
kejengkelan saya. Membuat saya setuju dengan pemikiran dan keputusannya.
Lagipula, saya sudah pengen cepat-cepat pindah ke novel lain.
“Kita melintasi kehidupan orang lain bagai hantu, meninggalkan
kenangan-kenangan mendalam tentang orang-orang yang tidak pernah nyata.
Padahal akhirnya kita sendiri yang memilih sosok yang ingin kita
tampilkan di depan orang lain.” (Hal. 314)