“Membaca buku yang menarik kemudian bertemu dengan pengarangnya, seperti makan paté hati angsa yang enak sekali kemudian harus bertemu angsanya.”
~Mark Twain~
Penulis dan tulisannya, atau dalam hal ini, pencorat-coret dan coretannya. Suatu ketika kau menemukan buku yang menurutmu bagus. Melihat pengarangnya, kau pun mulai memburu buku-bukunya yang lain. Atau kau pernah, secara tak sengaja, menemukan coretan ngelantur di dunia maya. Ada sesuatu dalam tulisan itu yang membekas di hatimu. Kau pun mulai rutin membaca coretannya yang lain. Sepertinya kau punya pengalaman yang sama dengan penulis, dan dengan cara tertentu kau merasa bahwa si penulis memahami dirimu. Ketahuilah, orang bisa benar-benar berbeda dalam tulisan.
Dalam sesi wawancara dengan Jonas Jonasson, penulis asal Swedia itu ditanya apakah sehari-hari ia sama lucunya dengan novel karangannya. Jonas menjawab dengan mengutip kalimat Mark Twain di atas bahwa membaca buku yang menarik kemudian bertemu dengan pengarangnya, seperti makan paté hati angsa yang enak sekali kemudian harus bertemu angsanya. Memang benar tulisan adalah cerminan pikiran dan hati seseorang, tapi benar pula bahwa orang bisa sangat berbeda dalam tulisan. Bagaimana ya mengatakannya, ini sedikit rumit. Misalnya saja Raditya Dika, yang dikenal sebagai penulis novel komedi itu katanya sehari-hari adalah orang yang serius. Atau salah satu blogger yang dulunya favorit saya, yang muatan blognya berat, dark dan serius, katanya suka bercanda dan jarang bersikap serius di dunia nyata. Dulu saya suka tulisannya. Sampai membaca habis isi blognya, menyimpan semua tulisannya, melacak buku-buku karangannya dan menghabiskan waktu berjam-jam mencari tahu tentangnya. Tapi ibarat demam, suhu pelan-pelan kembali ke titik normal.
Yang ingin kukatakan, bahwa pada dasarnya yang kita sukai adalah tulisannya. Tulisannya, bukan si penulis. Beberapa orang sulit membedakan kedua hal ini sehingga mereka terjebak dalam ilusi sesat yang sesaat. Dengan berjalannya waktu, pelan-pelan kita akan menyadarinya sendiri.