Bahwa seorang gadis buta huruf kelahiran Soweto, sebuah
perkampungan kumuh di Afrika Selatan, akan tumbuh dan kelak terkurung
dalam sebuah truk pengangkut kentang bersama raja dan perdana menteri
Swedia adalah kejadian dengan probabilitas statistik 1 : 45.766.212.810.
Itu menurut perhitungan Nombeko Mayeki, si gadis buta huruf itu
sendiri.
Setelah meninggalkan Soweto yang suram tanpa masa depan, suatu
hari Nombeko justru menjadi anomali dari probabilitas statistik yang
dihitungnya sendiri. Bertemu raja dan perdana menteri Swedia bagi gadis
sepertinya saja sudah luar biasa. Tetapi, terkurung di dalam truk
pengangkut kentang bersama mereka ? Yang benar saja!
Kegilaan ini tidak akan terjadi kalau bukan karena bom atom
ketujuh, bom atom yang seharusnya tidak ada. Nombeko tahun terlalu
banyak tentangnya, dan sekarang (walau terpaksa), nasib dunia berada di
tangannya. Bersama kakak beradik kembar yang salah satu keberadaannya
tidak diakui secara resmi dan rekan lain yang tidak kompeten, Nombeko
tahu misi ini tidak akan mudah. Dan, ya…memang begitulah.
Jika tokoh utama dalam buku The 100-Year-Old Man Who Climbed Out of The Window and Disappeared
adalah kakek berusia 100 tahun, kali ini Jonas Jonasson menjadikan
gadis 14 tahun dari Afrika Selatan sebagai tokoh sentral. Tema cerita
masih seputar politik dan bom atom yang dibalut dalam komedi hitam.
Sepertinya penulis sangat menyukai tema semacam ini.
“Perbedaan antara kebodohan dan kecerdasan adalah bahwa kecerdasan ada batasnya.”
-Anonim-
Nombeko Mayeki, gadis buta huruf dari Soweto sehari-harinya bekerja
sebagai penguras jamban di kota itu. Suatu ketika ia harus meninggalkan
tanah kelahirannya setelah ditabrak mobil seorang insinyur pemabuk,
Engelbrecht van der Westhuizen. Berdasarkan hasil keputusan pengadilan
(yang sangat tidak adil dan konyol), Nombeko dinyatakan bersalah dan
harus mengganti rugi sebesar lima ribu rand serta diwajibkan mengabdi
pada Westhuizen selama 7 tahun.
Westhuizen sendiri adalah seorang insinyur yang memimpin sebuah
proyek paling rahasia; membuat Afrika Selatan menjadi negara bersenjata
nuklir. Proyek tersebut dilakukan dalam sebuah laboratorium riset di
Pelindaba, sebuah tempat di sebelah utara Johannesburg. Laboratorium itu
memiliki pengawasan ketat dan berlapis. Dikelilingi pagar setinggi tiga
meter yang dialiri listrik 12 ribu volt. Di lingkar dalamnya ada
pengawal dan anjing penjaga. Di lingkar yang lebih dalam lagi ada pagar
dengan tinggi yang sama dan aliran listrik yang sama besarnya. Dan di
antara kedua pagar tersebut ditanam ranjau darat yang mengelilingi
laboratorium. Selama bertahun-tahun Nombeko terkurung dalam
laboratorium, mengabdi pada Westhuizen sebagai cleaning service.
“Masa kini- bagian dari keabadian yang memisahkan wilayah kekecewaan dari alam harapan.”
-Ambrose Bierce-
Nombeko sebenarnya tidaklah sebuta huruf yang disebutkan. Selama di
Soweto ia belajar membaca buku. Bahkan tujuan Nombeko
meninggalkan Soweto setelah ibunya meninggal adalah untuk mengunjungi
perpustakaan besar di Swedia. Keahlian utama Nombeko adalah masalah
hitung-hitungan. Ia ahli menghitung berderet angka sampai ke titik
desimal yang bagi orang biasa harus menggunakan kalkulator. Dengan
kemampuannya itu, ditambah wawasannya yang luas karena rajin membaca
buku, Nombeko secara tidak langsung banyak membantu Westhuizen dalam
proyek pembuatan bom.
“Hidup tidak harus mudah, apapun asal bukan kehidupan yang kosong.”
-Lisa Meitner-
Masalah dimulai justru setelah proyek tersebut selesai. Tugas
Westhuizen adalah membuat enam bom. Tapi kebodohan insinyur pemabuk ini
membuatnya salah perhitungan sehingga tercipta tujuh buah bom. Setelah
bebas dari laboratorium, dan setelah Westhuizen mati dibunuh agen
Mossad, Nombeko merasa bertanggung jawab terhadap bom atom ketujuh.
Selama perlariannya dari dua agen Mossad yang menginginkan bom itu,
Nombeko bertemu banyak orang mulai dari si kembar Holger, seorang gadis
pemarah yang sulit diatur bernama Celestine, nenek Celestine, perdana
menteri Tiongkok sampai Raja Swedia.
“Tak pernah sekali pun dalam hidupku kulihat seorang fanatik yang memiliki selera humor.”
-Amos Oz-
Petualangan yang diciptakan Jonas Jonasson masih fantastis seperti
biasa. Ceritanya penuh dengan anomali. Sementara tokoh-tokohnya kaya
akan karakter unik (dan absurd) yang membuat pembaca geleng-geleng
kepala. Tapi ada sedikit perbedaan dengan buku pertama. Jika dalam The 100-Year-Old Man Who Climbed Out of The Window and Disappeared
Jonas Jonasson mengambil jarak dengan menjadi orang luar yang
mengkritik dan mengomentari berbagai fenomena politik, maka dalam buku
ini ia berpindah-pindah pada setiap karakter untuk menuangkan
kritikannya. Jadi boleh dibilang ia menjadikan setiap tokohnya sebagai
sindiran terhadap berbagai hal. Setiap kebodohan, kefanatikan atau
kekonyolan tokoh-tokohnya adalah sindiran penulis.
Yang fanatik benar-benar dibuat fanatik sampai mati. Seperti karakter
Ingmar, ayah Holger bersaudara yang awalnya begitu memuja sistem
monarki tiba-tiba berubah 180 derajat setelah dikecewakan oleh raja. Ia
pun “mendedikasikan” hidupnya untuk menumbangkan monarki dan
menggulingkan raja. Ia menghabiskan uang istrinya dan mendidik
anak-anaknya untuk memenuhi ambisinya. Doktrin Ingmar kemudian menurun
pada Holger Satu yang tidak pernah punya ide dan hanya membebek pada
ajaran ayahnya.
Yang polos dan bodoh tapi selalu beruntung juga dibuat seperti itu
sampai akhir cerita seperti tiga gadis Tiongkok yang ditemui Nombeko
dalam laboratorium. Atau sindiran Jonas Jonasson terhadap sistem suap
yang lumrah terjadi di negara-negara secara umum dan secara tidak
langsung ia memuji Swedia yang terkenal sebagai salah satu negara paling
tidak korup di dunia. Sindiran sekaligus pujian itu dituangkan lewat
alotnya prosedur yang dilalui Nombeko dan Holger Dua untuk bertemu Raja
serta bertahun-tahun usaha mereka untuk sekadar berbicara dengan perdana
menteri. Tidak satu pun staf pemerintahan yang bisa disuap untuk
mempertemukan mereka. Para staf itu sangat patuh menjalankan protokol.
Di antara dua buku Jonas Jonasson, terus terang terang
petualangan Allan lebih mengasyikkan dibanding Nombeko. Keabsurdan dalam
novel kedua ini agak berlebihan (mungkin seperti itulah ciri khas
penulis). Selain itu saya sempat bosan di pertengahan, yang membuat buku
ini butuh waktu lama untuk diselesaikan.