04 March 2016

Attention Please!

Terkadang, kita tidak ingin berteman dengan orang lain bukan karena perkara cocok atau tidak cocok, tapi lebih karena caranya yang tidak santun. Melanggar privasi kita misalnya. Lewat pesan-pesan tidak penting yang entah dari mana nomor ponsel kita ditemukan. Atau mencari akun kita di berbagai media sosial. Mau berteman, katanya. Alasan yang menggelikan. Apa menurutnya “pertemanan” bisa dijalin dengan cara seganjil itu ? Biasanya, ketika membangun hubungan sosial, kita jarang menargetkan orang tertentu. Namun seiring berjalannya waktu, dengan sendirinya kita akan menemukan orang-orang yang bisa kita anggap sebagai teman. Begitu cara alamiah berteman. Berbeda dengan orang yang meracau macam-macam lewat sms, seakan kita mengenalnya padahal bertegur sapa sekalipun tidak pernah. Itu bukan sikap yang bisa disebut santun. Percayalah, tidak ada yang terkesan dengan cara semacam itu. Dan kalau mau jujur, tak pernah ada “teman” antara laki-laki dan perempuan. Karenanya agama kita begitu ketat mengatur interaksi antara keduanya.

Kata Kurniawan Gunadi, cara terbaik menjaga perempuan adalah dengan tidak menyebut namanya sembarangan. Kalau boleh ditambahkan, tidak mengganggunya dengan cara norak seperti yang disebutkan tadi. Seseorang tidak perlu memaksakan diri menjadi teman orang lain. Tidak perlu memaksa masuk dalam hidup orang lain. Tidakkah mereka berpikir bahwa tindakan semacam itu mengganggu ketenangan yang bersangkutan? Tidak ada yang suka wilayah privasinya diusik orang asing. Di era teknologi ini, ketika orang begitu mudah menyatakan perasaan mereka, diam memang adalah pilihan yang berat. Ketika seseorang dibutakan perasaan (sesaatnya), mereka menjadi terburu-buru dalam segala hal. Yang pada akhirnya melanggar batas.

Perasaan itu selalu berubah. Hari ini suka, besok tidak lagi. Hari ini kecewa, besok mungkin bahagia lagi. Hari ini sedih, besok mungkin ceria lagi. Karenanya tidak semua perasaan harus dikatakan, tidak semua perasaan harus ditindaklanjuti. Dan tidak semua perasaan mendapat balasan yang sama. Maka beruntunglah mereka yang tetap dalam diamnya. Beruntunglah mereka yang paham bahwa ada hal-hal yang lebih baik disimpan untuk diri sendiri. Mungkin akan terasa menyakitkan, atau paling tidak menyesakkan. Tapi itu jauh lebih baik. Kita ini dibekali hati, suatu tempat yang dapat menampung segalanya. Suatu tempat yang orang lain tak bisa ukur kedalamannya. Atau rahasia apa saja yang ada di sana. Sebuah gudang penyimpanan, tempat kita memilah mana yang layak diperlihatkan dan mana yang sebaiknya tetap disimpan. Sebab nanti yang akan kita sesali bukan hanya apa yang tidak kita lakukan, tapi apa yang terburu-buru kita lakukan.
 
;