01 September 2016

The Wrath & The Dawn


Khalid Ibnu al-Rashid, Khalif Khorasan adalah seorang monster. Dia menikahi perempuan muda setiap malam dan menjerat pengantin barunya dengan tali sutra saat fajar tiba. Ketika sahabatnya menjadi korban kezaliman Khalid, Shahrzad al-Khayzuran bersumpah akan menuntut balas. Ia mengajukan diri menjadi pengantin Sang Khalif. Shahrzad tak hanya bertekad untuk bertahan hidup, tapi juga bersumpah akan mengakhiri rezim kejam sang raja. 

Malam demi malam, Shahrzad memperdaya Khalid, menceritakan kisah-kisah memikat yang membuatnya terus bertahan, meski tiap fajar bisa jadi merupakan saat terakhirnya melihat matahari terbit. Tetapi sesuatu yang tak terduga mulai terkuak: ternyata Khalid bukanlah sosok yang Shahrzad bayangkan. Sikapnya sama sekali tidak mencerminkan seorang pembunuh berdarah dingin. Mata emasnya memancarkan kehangatan. Monster yang ingin dilawan Shahrzad itu tak lebih daripada pemuda dengan jiwa tersiksa. Dan Shahrzad mulai jatuh hati kepadanya… 

Well…well…tentang balas dendam yang berubah jadi jatuh hati, tentang cinta yang tidak direncanakan. Tema semacam ini biasanya selalu menarik minat pembaca romance. Tertarik baca novel ini karena latarnya yang kental nuansa Timur Tengah. Apalagi ceritanya terinspirasi dari novel klasik The Arabian Nights atau yang dikenal dengan Kisah 1001 Malam. Saya sendiri belum pernah baca novel itu tapi tahu sedikit lewat buku-buku lain. Buku Titik Nol-nya Agustinus Wibowo juga meminjam gaya The Arabian Nights. 

Alkisah, ada seorang Sultan yang sangat mencintai istrinya dan melakukan apapun demi sang istri. Sayangnya istri tersebut tidak mencintai sang Sultan, bahkan menipunya. Sultan yang kecewa dan sakit hati pun akhirnya membenci wanita. Baginya semua wanita sama liciknya dengan istrinya. Oleh karena itu jumlah mereka harus dikurangi. Maka setiap malam sang Sultan menikahi seorang perempuan, kemudian saat fajar ia memerintahkan wazir (penasihat)nya untuk membunuh perempuan itu. Begitu seterusnya hingga suatu hari putri sang wazir mengajukan diri untuk diperistri oleh Sultan. Putri tersebut menguasai filsafat, sastra, sains dan seni. Di malam hari sang Putri menceritakan kisah yang menarik minat Sultan. Tapi kisah itu berakhir menggantung ketika fajar tiba. Sultan yang penasaran dengan kelanjutan cerita memutuskan menunda eksekusi sang Putri. Malam demi malam sang Putri terus menceritakan kisah yang berakhir menggantung hingga akhirnya genap 1001 malam. Lewat kisah-kisah sang Putri itulah dikenal Aladin dan lampu ajaibnya, permadani terbang, kisah raja-raja hingga Sinbad si Pelaut Ulung. 

“Seratus kehidupan untuk satu nyawa yang kau ambil. Satu kehidupan untuk satu fajar.” 

The Wrath & The Dawn karya Renee Ahdieh ini adalah re-telling The Arabian Nights. Di kerajaan bernama Khorasan, berhembus rumor bahwa raja mereka, Khalid Ibnu al-Rashid telah berubah menjadi monster. Setiap malam ia menikahi perempuan muda yang dipilih secara acak. Perempuan-perempuan ini tidak ada yang hidup lebih dari satu hari dalam istana karena menjelang fajar leher mereka dijerat tali sutra hingga tewas. Suatu hari, sahabat Shazi bernama Shiva ikut menjadi korban sang Raja. Shazi yang ingin menuntut balas mengajukan diri menjadi istri sang Raja. Ia berniat membunuh Raja dengan tangannya sendiri. Malamnya Shazi menceritakan kisah tentang Agib si pelaut miskin. Kisah itu menggantung ketika fajar tiba sehingga Khalid, sang Raja, bersedia menunda eksekusi Shazi. Begitulah selama beberapa malam Shazi menceritakan kisah bersambung sambil mencari cara untuk membunuh Khalid. 

Tetapi Khalid yang tumbuh di lingkungan istana sejak kecil telah dilatih untuk berperang. Ia ahli menggunakan pedang. Secara fisik dan kemampuan, Khalid adalah lawan yang sulit dikalahkan. Pelan-pelan Shazi menyadari bahwa Khalid tidak seperti rumor yang beredar. Ia pun mulai mencari tahu alasan mengapa Khalid membunuh istri-istrinya. Ada rahasia gelap tersembunyi di dalam istana. 

Bagaimana, cukup menjanjikan bukan ? Hihihi… 

Buat penyuka romance, novel yang satu ini tidak boleh dilewatkan. Tokoh laki-lakinya sedingin es (dingin-dingin minta ditabok) sementara tokoh perempuannya kepala batu. Setelah lebih jauh, ternyata si tokoh laki-laki tidak seperti yang terlihat. Sebenarnya ia hangat dan penuh perhatian (eaaa…). Maka si tokoh perempuan pun jatuh kecebur, eh jatuh hati maksudnya. Karakter semacam Khalid sering dijumpai dalam novel atau film (atau anime), dan biasanya menjadi karakter yang memiliki baaaaanyak sekali fans. Itulah kenapa orang-orang lebih suka Rangga dibanding Mamet, atau Sasuke dibanding Naruto, atau Levi dibanding Eren. Tapi aku tetap padamuuu, Sanji-kun… *mulai gagal fokus* 

“Senyumnya merobek sesuatu yang mengaku sebagai jiwaku”  *ulalaa… 

Ceritanya lebih dititikberatkan pada tokoh Khalid, Shazi, serta konflik perebutan kekuasaan. Adapun kisah-kisah yang diceritakan Shazi hanya muncul di awal perkenalan mereka. Novel ini juga bisa disebut fantasi karena memuat unsur sihir dan semacamnya. 

“Ada perbedaan besar antara bermaksud melakukan sesuatu dan benar-benar melakukannya.” 

Ada banyak tokoh protagonis dalam novel tapi karena ceritanya berlanjut ke jilid dua jadi belum bisa dipastikan siapa yang benar-benar baik. Dibanding dua tokoh utama, saya lebih suka tokoh Jalal, sang Jenderal Al-Khoury, penasihat sekaligus sepupu Khalid. Tapi dalam novel ini karakternya belum banyak dikembangkan. Selain itu saya masih penasaran dengan tokoh Ava. Menurutku dialah yang paling layak dikasihani. Apa yang terjadi pada Ava membuat saya semakin jengkel sama Khalid.

Hal lain yang menarik adalah nuansa timur tengah yang kental (mungkin gabungan budaya India, Arab dan Persia) mulai dari menu makanan, pakaian, arsitektur bangunan, interior istana, model senjata, budaya hingga bahasa. Misalnya saja cara salam ketika bertemu atau berpisah. Kalau dalam budaya lain, salam bisa dilakukan dengan jabat tangan, cipika-cipiki, atau menangkupkan kedua telapak tangan di dada, atau membungkukkan badan. Dalam novel ini, salam dilakukan dengan membungkuk dan tangan menyentuh alis kemudian pindah ke dada, sedikit di atas jantung. Salam ini bermakna penghormatan dan kasih sayang. 

Dari segi bahasa juga banyak menggunakan kosa kata asing seperti effendi dan jan, akhiran yang melekat pada nama. Akhiran “effendi”  menunjukkan rasa hormat sementara akhiran “jan” berarti “sayangku”. Misalnya memanggil Jalal dengan Jalal-effendi  atau Khalid dengan Khalid-jan. Ada juga kata delam (jantung hatiku) dan joonam (segalaku) *mantap ^^. Meski arti kedua kata ini terdengar lebay, tapi ketika masuk dalam dialog dan dibaca dalam bahasa asli, ternyata dapat memicu efek doki-doki bagi pembaca *Hahaha… Kebayang Luffy atau Zoro memanggil dengan sebutan delam atau joonam, aiihh…bisa berbusa mulut penonton. 

“Kalaupun harus ada pilihan di antara kita, kau tidak perlu memilihnya, joonam. Tidak untukku.” 

Novel ini tampaknya lebih cocok untuk pembaca perempuan. Biasalah, perempuan suka cerita yang manis-manis menyakitkan. Kalo laki-laki mungkin akan bosan karena tidak banyak action berdarah-darah dan tidak ada super hero dalam cerita. 

“Ketika memikirkanmu, aku tidak dapat menemukan udara untuk bernapas. Dan sekarang, meskipun kau sudah pergi, tidak ada rasa sakit atau rasa takut. Yang tertinggal hanyalah rasa syukur."

Dongeng-dongeng yang pernah kita dengar semasa kecil, jika dipikirkan, memang merupakan kisah yang menakjubkan. Salah satu pelajaran yang dipetik adalah betapa sulitnya menjadi orang-orang dalam dongeng itu. Yang perempuan harus pandai bercerita agar selamat dari eksekusi. Sementara yang laki-laki harus membangun seribu candi demi mendapatkan seorang istri.
 
;