Khalid Ibnu al-Rashid, Khalif Khorasan adalah seorang monster.
Dia menikahi perempuan muda setiap malam dan menjerat pengantin barunya
dengan tali sutra saat fajar tiba. Ketika sahabatnya menjadi korban
kezaliman Khalid, Shahrzad al-Khayzuran bersumpah akan menuntut balas.
Ia mengajukan diri menjadi pengantin Sang Khalif. Shahrzad tak hanya
bertekad untuk bertahan hidup, tapi juga bersumpah akan mengakhiri rezim
kejam sang raja.
Malam demi malam, Shahrzad memperdaya Khalid, menceritakan
kisah-kisah memikat yang membuatnya terus bertahan, meski tiap fajar
bisa jadi merupakan saat terakhirnya melihat matahari terbit. Tetapi
sesuatu yang tak terduga mulai terkuak: ternyata Khalid bukanlah sosok
yang Shahrzad bayangkan. Sikapnya sama sekali tidak mencerminkan seorang
pembunuh berdarah dingin. Mata emasnya memancarkan kehangatan. Monster
yang ingin dilawan Shahrzad itu tak lebih daripada pemuda dengan jiwa
tersiksa. Dan Shahrzad mulai jatuh hati kepadanya…
Well…well…tentang balas dendam yang berubah jadi jatuh hati, tentang
cinta yang tidak direncanakan. Tema semacam ini biasanya selalu menarik
minat pembaca romance. Tertarik baca novel ini karena latarnya yang
kental nuansa Timur Tengah. Apalagi ceritanya terinspirasi dari novel
klasik The Arabian Nights atau yang dikenal dengan Kisah 1001 Malam. Saya sendiri belum pernah baca novel itu tapi tahu sedikit lewat buku-buku lain. Buku Titik Nol-nya Agustinus Wibowo juga meminjam gaya The Arabian Nights.
Alkisah, ada seorang Sultan yang sangat mencintai istrinya dan
melakukan apapun demi sang istri. Sayangnya istri tersebut tidak
mencintai sang Sultan, bahkan menipunya. Sultan yang kecewa dan sakit
hati pun akhirnya membenci wanita. Baginya semua wanita sama liciknya
dengan istrinya. Oleh karena itu jumlah mereka harus dikurangi. Maka
setiap malam sang Sultan menikahi seorang perempuan, kemudian saat fajar
ia memerintahkan wazir (penasihat)nya untuk membunuh perempuan itu.
Begitu seterusnya hingga suatu hari putri sang wazir mengajukan diri
untuk diperistri oleh Sultan. Putri tersebut menguasai filsafat, sastra,
sains dan seni. Di malam hari sang Putri menceritakan kisah yang
menarik minat Sultan. Tapi kisah itu berakhir menggantung ketika fajar
tiba. Sultan yang penasaran dengan kelanjutan cerita memutuskan menunda
eksekusi sang Putri. Malam demi malam sang Putri terus menceritakan
kisah yang berakhir menggantung hingga akhirnya genap 1001 malam. Lewat
kisah-kisah sang Putri itulah dikenal Aladin dan lampu ajaibnya,
permadani terbang, kisah raja-raja hingga Sinbad si Pelaut Ulung.
“Seratus kehidupan untuk satu nyawa yang kau ambil. Satu kehidupan untuk satu fajar.”
The Wrath & The Dawn karya Renee Ahdieh ini adalah re-telling The Arabian Nights.
Di kerajaan bernama Khorasan, berhembus rumor bahwa raja mereka, Khalid
Ibnu al-Rashid telah berubah menjadi monster. Setiap malam ia menikahi
perempuan muda yang dipilih secara acak. Perempuan-perempuan ini tidak
ada yang hidup lebih dari satu hari dalam istana karena menjelang fajar
leher mereka dijerat tali sutra hingga tewas. Suatu hari, sahabat Shazi
bernama Shiva ikut menjadi korban sang Raja. Shazi yang ingin menuntut
balas mengajukan diri menjadi istri sang Raja. Ia berniat membunuh Raja
dengan tangannya sendiri. Malamnya Shazi menceritakan kisah tentang Agib
si pelaut miskin. Kisah itu menggantung ketika fajar tiba sehingga
Khalid, sang Raja, bersedia menunda eksekusi Shazi. Begitulah selama
beberapa malam Shazi menceritakan kisah bersambung sambil mencari cara
untuk membunuh Khalid.
Tetapi Khalid yang tumbuh di lingkungan istana sejak kecil telah
dilatih untuk berperang. Ia ahli menggunakan pedang. Secara fisik dan
kemampuan, Khalid adalah lawan yang sulit dikalahkan. Pelan-pelan Shazi
menyadari bahwa Khalid tidak seperti rumor yang beredar. Ia pun mulai
mencari tahu alasan mengapa Khalid membunuh istri-istrinya. Ada rahasia
gelap tersembunyi di dalam istana.
Bagaimana, cukup menjanjikan bukan ? Hihihi…
Buat penyuka romance, novel yang satu ini tidak boleh dilewatkan. Tokoh
laki-lakinya sedingin es (dingin-dingin minta ditabok) sementara tokoh
perempuannya kepala batu. Setelah lebih jauh, ternyata si tokoh
laki-laki tidak seperti yang terlihat. Sebenarnya ia hangat dan penuh
perhatian (eaaa…). Maka si tokoh perempuan pun jatuh kecebur, eh jatuh
hati maksudnya. Karakter semacam Khalid sering dijumpai dalam novel atau
film (atau anime), dan biasanya menjadi karakter yang memiliki
baaaaanyak sekali fans. Itulah kenapa orang-orang lebih suka Rangga
dibanding Mamet, atau Sasuke dibanding Naruto, atau Levi dibanding
Eren. Tapi aku tetap padamuuu, Sanji-kun… *mulai gagal fokus*
“Senyumnya merobek sesuatu yang mengaku sebagai jiwaku” *ulalaa…
Ceritanya lebih dititikberatkan pada tokoh Khalid, Shazi, serta
konflik perebutan kekuasaan. Adapun kisah-kisah yang diceritakan Shazi
hanya muncul di awal perkenalan mereka. Novel ini juga bisa disebut
fantasi karena memuat unsur sihir dan semacamnya.
“Ada perbedaan besar antara bermaksud melakukan sesuatu dan benar-benar melakukannya.”
Ada banyak tokoh protagonis dalam novel tapi karena ceritanya
berlanjut ke jilid dua jadi belum bisa dipastikan siapa yang benar-benar
baik. Dibanding dua tokoh utama, saya lebih suka tokoh Jalal, sang Jenderal
Al-Khoury, penasihat sekaligus sepupu Khalid. Tapi dalam novel ini
karakternya belum banyak dikembangkan. Selain itu saya masih penasaran dengan tokoh Ava. Menurutku dialah yang paling layak dikasihani. Apa yang terjadi pada Ava membuat saya semakin jengkel sama Khalid.
Hal lain yang menarik adalah nuansa timur tengah yang kental (mungkin
gabungan budaya India, Arab dan Persia) mulai dari menu makanan,
pakaian, arsitektur bangunan, interior istana, model senjata, budaya
hingga bahasa. Misalnya saja cara salam ketika bertemu atau berpisah.
Kalau dalam budaya lain, salam bisa dilakukan dengan jabat tangan,
cipika-cipiki, atau menangkupkan kedua telapak tangan di dada, atau
membungkukkan badan. Dalam novel ini, salam dilakukan dengan membungkuk
dan tangan menyentuh alis kemudian pindah ke dada, sedikit di atas
jantung. Salam ini bermakna penghormatan dan kasih sayang.
Dari
segi bahasa juga banyak menggunakan kosa kata asing seperti effendi dan jan, akhiran yang melekat pada nama. Akhiran “effendi” menunjukkan rasa hormat sementara akhiran “jan” berarti “sayangku”. Misalnya memanggil Jalal dengan Jalal-effendi atau Khalid dengan Khalid-jan. Ada juga kata delam (jantung hatiku) dan joonam
(segalaku) *mantap ^^. Meski arti kedua kata ini terdengar lebay, tapi
ketika masuk dalam dialog dan dibaca dalam bahasa asli, ternyata dapat
memicu efek doki-doki bagi pembaca *Hahaha… Kebayang Luffy atau Zoro
memanggil dengan sebutan delam atau joonam, aiihh…bisa berbusa mulut penonton.
“Kalaupun harus ada pilihan di antara kita, kau tidak perlu memilihnya, joonam. Tidak untukku.”
Novel ini tampaknya lebih cocok untuk pembaca perempuan. Biasalah,
perempuan suka cerita yang manis-manis menyakitkan. Kalo laki-laki mungkin akan
bosan karena tidak banyak action berdarah-darah dan tidak ada super hero
dalam cerita.
“Ketika memikirkanmu, aku tidak dapat menemukan udara untuk
bernapas. Dan sekarang, meskipun kau sudah pergi, tidak ada rasa sakit
atau rasa takut. Yang tertinggal hanyalah rasa syukur."
Dongeng-dongeng yang pernah kita dengar semasa kecil, jika dipikirkan,
memang merupakan kisah yang menakjubkan. Salah satu pelajaran yang
dipetik adalah betapa sulitnya menjadi orang-orang dalam dongeng itu.
Yang perempuan harus pandai bercerita agar selamat dari eksekusi.
Sementara yang laki-laki harus membangun seribu candi demi mendapatkan
seorang istri.