Canggung rasanya memainkan tombol-tombol di keyboard laptop. Sudah
empat bulan saya tidak menulis apapun. Padahal setiap hari mengutak-atik
laptop, tapi bukan untuk menulis. Kalau pun ada niat buat menulis, itu
tidak cukup besar untuk ditindaklanjuti. Beberapa bulan ini dorongan
menulis seperti samar-samar. Seperti embun yang menempel di kaca.
Ada yang bilang menulis itu ibarat minum obat, yang kau butuhkan saat
sakit dan berhenti setelah sembuh. Ada pula yang menganggapnya
kebutuhan primer. Bagi saya, menulis bukan semacam obat, walau saat
“sakit” saya bisa menulis lebih sering dari biasanya. Juga bukan
kebutuhan yang setiap hari harus dilakukan layaknya makan dan minum.
Jika memang ingin, saya akan menulis. Dan keinginan itu harus cukup kuat
untuk menggerakkan. Jika memaksa menulis, biasanya saya tidak suka
hasil tulisan yang saya buat.
Terkadang saya membaca ulang semua tulisan di laptop. Beberapa di
antaranya betul-betul saya suka, tapi banyak juga yang tidak. Jika
diingat-ingat, tulisan yang saya suka itu adalah tulisan yang saya buat
sepenuh hati. Sementara yang tidak mengesankan, sampai kapan pun tidak
akan mengesankan.
Saat membuat blog, saya memasang target untuk diri sendiri : minimal
satu tulisan satu bulan. Target itu membuat saya seperti dikejar
deadline. Padahal saya bukan penulis. Siapa pula yang menunggu tulisan
saya ? Tapi saya tetap berusaha memenuhi target itu. Sayangnya, ada saat
saya benar-benar tidak bisa memaksa menulis. Sesuatu yang dipaksakan
biasanya tidak berakhir baik. Sama seperti berteman. Memaksa mendapat
teman biasanya berakhir kekecewaan. Jika ada titik temu, kau akan
berteman. Jika tidak, cukup jadi kenalan. Bukan berarti membatasi diri
atau pilih-pilih. Setiap orang boleh berteman dengan siapa saja. Tapi
bukankah setiap orang juga selalu membagi pertemanannya dalam lingkaran
tertentu ? Di lingkaran pertama, atau yang paling dekat, tentu
orang-orang yang ia percaya atau dengannya ia bisa membuka diri.
Sementara di lingkaran berikutnya adalah yang di luar dari itu.
Apa yang membuat kita berteman dengan orang lain ? Maksudku selain
sebagai kebutuhan. Terhubung dengan orang-orang memang keniscayaan, tapi
berteman adalah pilihan. Jawaban yang paling sering adalah karena
cocok. Karena nge-klik secara alami. Kenapa bisa cocok ? Jawabannya bisa
mudah atau bahkan tidak memiliki jawaban. Kita jarang bertanya lebih
lanjut. Dan nampaknya memang tidak perlu. Kalau sudah cocok, selesai.
Tapi kadang pertanyaan ini muncul di kepala saya. Apa yang membuat
orang mau berteman dengan saya ? Mudah menjawabnya andaikan saya
memiliki hal-hal yang bisa dijadikan jawaban. Karena cerdas, misalnya.
Seperti salah satu teman seangkatan : cerdas dan keahliannya dibutuhkan
banyak orang. Sering dimintai bantuan, dia pun senang membantu orang
lain. Ramah dan tidak suka pamer. Orang-orang tentu senang berteman
dengannya. Beberapa lagi yang kukenal memiliki wajah rupawan. Beberapa
lagi pandai menarik perhatian. Membuat orang betah bersamanya karena
selalu ada topik menarik dibicarakan. Mereka mampu membuat orang-orang
di dekatnya masuk dalam topik itu. Atau sebaliknya, mampu mencari topik
yang orang-orang mudah masuk ke dalamnya. Mereka juga berimbang membagi
percakapan denganmu dan dengan orang lain. Saya selalu kagum pada
orang-orang dengan kemampuan semacam ini. Beberapa lagi adalah orang
berkelebihan. Membuatnya seperti cahaya lampu yang dikelilingi banyak
laron.
Tapi saya tidak memiliki satu pun dari semua itu.
Saya adalah orang kebanyakan. Sangat biasa, bisa kau temui di mana
saja. Untuk hal tertentu, beberapa orang memang terlihat lebih dibanding
yang lain. Tapi dalam banyak sisi, kebanyakan adalah orang kebanyakan.
Yang bila diteropong dalam skala besar semuanya tampak mirip. Jadi
kadang saya ingin tahu : apa yang membuat orang mau berteman dengan saya
? Apa yang mereka cari ? Saya tidak memiliki sesuatu yang dibutuhkan
orang lain. Tapi mereka tetap mau berteman.
Jika demikian adanya, itu benar-benar sesuatu yang patut disyukuri.