01 September 2016

Random (10)

Canggung rasanya memainkan tombol-tombol di keyboard laptop. Sudah empat bulan saya tidak menulis apapun. Padahal setiap hari mengutak-atik laptop, tapi bukan untuk menulis. Kalau pun ada niat buat menulis, itu tidak cukup besar untuk ditindaklanjuti. Beberapa bulan ini dorongan menulis seperti samar-samar. Seperti embun yang menempel di kaca. 

Ada yang bilang menulis itu ibarat minum obat, yang kau butuhkan saat sakit dan berhenti setelah sembuh. Ada pula yang menganggapnya kebutuhan primer. Bagi saya, menulis bukan semacam obat, walau saat “sakit” saya bisa menulis lebih sering dari biasanya. Juga bukan kebutuhan yang setiap hari harus dilakukan layaknya makan dan minum. Jika memang ingin, saya akan menulis. Dan keinginan itu harus cukup kuat untuk menggerakkan. Jika memaksa menulis, biasanya saya tidak suka hasil tulisan yang saya buat. 

Terkadang saya membaca ulang semua tulisan di laptop. Beberapa di antaranya betul-betul saya suka, tapi banyak juga yang tidak. Jika diingat-ingat, tulisan yang saya suka itu adalah tulisan yang saya buat sepenuh hati. Sementara yang tidak mengesankan, sampai kapan pun tidak akan mengesankan. 

Saat membuat blog, saya memasang target untuk diri sendiri : minimal satu tulisan satu bulan. Target itu membuat saya seperti dikejar deadline. Padahal saya bukan penulis. Siapa pula yang menunggu tulisan saya ? Tapi saya tetap berusaha memenuhi target itu. Sayangnya, ada saat saya benar-benar tidak bisa memaksa menulis. Sesuatu yang dipaksakan biasanya tidak berakhir baik. Sama seperti berteman. Memaksa mendapat teman biasanya berakhir kekecewaan. Jika ada titik temu, kau akan berteman. Jika tidak, cukup jadi kenalan. Bukan berarti membatasi diri atau pilih-pilih. Setiap orang boleh berteman dengan siapa saja. Tapi bukankah setiap orang juga selalu membagi pertemanannya dalam lingkaran tertentu ? Di lingkaran pertama, atau yang paling dekat, tentu orang-orang yang ia percaya atau dengannya ia bisa membuka diri. Sementara di lingkaran berikutnya adalah yang di luar dari itu. 

Apa yang membuat kita berteman dengan orang lain ? Maksudku selain sebagai kebutuhan. Terhubung dengan orang-orang memang keniscayaan, tapi berteman adalah pilihan. Jawaban yang paling sering adalah karena cocok. Karena nge-klik secara alami. Kenapa bisa cocok ? Jawabannya bisa mudah atau bahkan tidak memiliki jawaban. Kita jarang bertanya lebih lanjut. Dan nampaknya memang tidak perlu. Kalau sudah cocok, selesai. 

Tapi kadang pertanyaan ini muncul di kepala saya. Apa yang membuat orang mau berteman dengan saya ? Mudah menjawabnya andaikan saya memiliki hal-hal yang bisa dijadikan jawaban. Karena cerdas, misalnya. Seperti salah satu teman seangkatan : cerdas dan keahliannya dibutuhkan banyak orang. Sering dimintai bantuan, dia pun senang membantu orang lain. Ramah dan tidak suka pamer. Orang-orang tentu senang berteman dengannya. Beberapa lagi yang kukenal memiliki wajah rupawan. Beberapa lagi pandai menarik perhatian. Membuat orang betah bersamanya karena selalu ada topik menarik dibicarakan. Mereka mampu membuat orang-orang di dekatnya masuk dalam topik itu. Atau sebaliknya, mampu mencari topik yang orang-orang mudah masuk ke dalamnya. Mereka juga berimbang membagi percakapan denganmu dan dengan orang lain. Saya selalu kagum pada orang-orang dengan kemampuan semacam ini. Beberapa lagi adalah orang berkelebihan. Membuatnya seperti cahaya lampu yang dikelilingi banyak laron. 

Tapi saya tidak memiliki satu pun dari semua itu. 

Saya adalah orang kebanyakan. Sangat biasa, bisa kau temui di mana saja. Untuk hal tertentu, beberapa orang memang terlihat lebih dibanding yang lain. Tapi dalam banyak sisi, kebanyakan adalah orang kebanyakan. Yang bila diteropong dalam skala besar semuanya tampak mirip. Jadi kadang saya ingin tahu : apa yang membuat orang mau berteman dengan saya ? Apa yang mereka cari ? Saya tidak memiliki sesuatu yang dibutuhkan orang lain. Tapi mereka tetap mau berteman.

Jika demikian adanya, itu benar-benar sesuatu yang patut disyukuri.
 
;