Buku yang ditulis oleh Akmal Sjafril ini tipisnya cuma 73 halaman.
Tapi isinya nendaaang. Pas...pas... kena hatiku-lah istilahnya. Hihihi... Buku ini sebenarnya sudah dibaca sejak sebelum Ramadhan
tahun lalu. Tapi waktu itu belum sempat nulis di blog. Buku kecil ini tidak dirancang
untuk membahas fiqih Ramadhan, meski tetap ada kaitannya. Fokus utama
pembahasannya adalah mengembalikan Ramadhan kepada perspektif yang paling
sederhana. Sebab kebanyakan orang gagal memaknai Ramadhan, bukan karena kurang paham,
tapi justru karena terlalu banyak hal yang menyibukkan dirinya di luar
ibadah-ibadah Ramadhan.
Bab pertama menguraikan pokok masalah secara umum. Kesalahan utama dalam
memahami shaum adalah kehilangan
fokus pada tujuan. Misalnya saja, orang yang sudah belasan bahkan puluhan tahun
melaksanakan ibadah shaum, tapi
pikirannya masih saja berkisar seputar lapar dan haus, sehingga bekerjanya
tanpa gairah, tidurnya lebih banyak, menuntut pulang cepat dan kegembiraan
terbesarnya hanyalah mendapat THR di akhir bulan. Jika seharian di rumah, maka
kerjanya hanya mencari hiburan lewat TV. Mulai dari bangun sahur nonton lawak,
setelah matahari terbit lanjut nonton konser live yang diisi oleh host dan
artis yang tetiba pakai baju koko dan hijab. Setelah itu lanjut nonton sinetron
yang lain dari biasanya karena disesuaikan dengan bulan Ramadhan. Adapun
program taushiyah yang agak serius hanya muncul sekitar 15-30 menit menjelang
berbuka. Setelah itu, siklus hiburan berjalan seperti biasa sampai larut malam.
Nah, kalau acara hiburannya live,
kapan tarawihnya ?
Bab dua mengajak pembaca untuk meninggalkan segala ‘masalah klasik’ yang
membuat shaum menjadi kelihatan lebih
rumit dari semestinya. “Don’t sweat it!”, kata orang. Agar bisa fokus pada hal
penting, kita harus abaikan hal-hal yang tidak penting. Menjaga shalat dan
ibadah lainnya itu penting, sementara nonton sinetron tidaklah penting. Berbuka
bersama keluarga itu penting, sedangkan kebiasaan para artis ketika berbuka
adalah berita yang tidak penting. Sahur itu penting, nonton acara lawak saat
sahur sama sekali tidak penting. Sederhana, kan ? Banyak hal dalam ibadah kita
yang justru menjadi runyam karena kita sendiri yang bikin runyam. Kita tidak
akan punya cukup waktu untuk menyelesaikan tilawah dan target harian jika waktu
kita habis untuk hal-hal yang tidak penting.
Bab tiga dan empat berusaha mendudukkan Ramadhan pada tempatnya. Bahwa
ibadah shaum sejatinya tidak pernah
dibatasi hanya dengan tidak makan dan tidak minum. Walaupun memang makan, minum
dan berhubungan suami istrii adalah tiga hal yang membatalkan shaum. Ketiga hal ini adalah perbuatan
halal. Artinya jika tidak sedang shaum, ketiganya halal dilakukan bahkan bisa
bernilai ibadah. Tetapi ketiganya dilarang utnuk dilakukan saat shaum dan baru
boleh setelah berbuka. Pertanyaan kritisnya : jika yang halal saja ada yang
dilarang saat shaum, apalagi yang
haram ? Lisan yang berdusta, mata yang tidak ditundukkan, atau telinga yang
terus mendengar gosip tetap menuai dosa. Jadi kalau hanya sekedar tidak makan
dan tidak minum, anak-anak SD pun bisa. Oleh karena itu, tentu yang sudah lama
jam terbangnya bisa lebih dari sekedar menahan lapar dan haus.
Hal penting lain yang disoroti buku ini adalah interaksi kita dengan Al
Qur’an. Sebab salah satu keistimewaan Ramadhan adalah bulan diturunkannya Al
Qur’an, maka cara terbaik menghayati Ramadhan adalah dengan mengakrabi Al
Qur’an. Banyak orang bersemangat mengkhatamkan Al Qur’an di bulan Ramadhan. Ada
yang hingga dua atau tiga kali, bahkan lebih. Itu semua baik. Target satu juz
per hari jelas merupakan cita-cita mulia. Akan tetapi, satu juz per hari itu
tidak wajib, sedangkan membaca Al Qur’an dengan tajwid yang benar itulah
kewajiban asasi dalam tilawah. Ada yang karena kejar target tilawah, bacaannya
pun balap-balapan dan akhirnya belepotan. Padahal Allah memerintahkan kita
untuk membaca Al Qur’an secara perlahan-lahan (tartil). Oleh karena itu penting
untuk belajar tahsin mulai sekarang, bahkan jauh hari sebelum Ramadhan.
Bab
kelima diberi judul “Playoff”. Bagaikan
Playoff dalam sebuah musim kompetisi, umat muslim menjadikan Ramadhan sebagai
titik klimaks dalam ibadah setahun. Bab keenam mengajak pembaca untuk bercermin
kepada generasi sahabat dan bagaimana Allah men-tarbiyah mereka dengan
Ramadhan. Bab ketujuh mengupas hal lain yang mengganggu fokus para pecinta
Ramadhan seperti banyaknya riwayat palsu yang menjanjikan hal-hal bombastis
kepada mereka yang melakukan amalan-amalan tertentu. Riwayat semacam ini banyak
beredar di Indonesia dan tidak sedikit yang percaya. Bab tujuh membahas “Arti
Kemenangan”, mengajak pembaca untuk bertanya pada diri sendiri : apakah selama
ini kita sudah menang ? Dua bab terakhir menjelaskan bagaimana memilih teman
yang baik sebagai rekan seperjuangan di bulan Ramadhan akan sangat menentukan
hasil akhirnya. Juga menguraikan cara menjaga diri agar kebaikan-kebaikan yang
kita peroleh di bulan Ramadhan tidak menguap begitu saja, sembari menunggu
kedatangan Ramadhan berikutnya.
Yup, demikian rangkuman buku ini. Semoga bisa jadi rekomendasi bacaan terkait bulan Ramadhan. Selamat mempersiapkan diri menyambutnya. Semoga umur kita sampai ke bulan suci tersebut. Aamiinn...