27 May 2017

Buku Yang Kubaca Tahun 2017 (3)

Animal Farm 
Penulis : George Orwell 
Penerbit : Bentang 
Halaman : 142 

Novel ini sudah lama masuk dalam daftar buku yang ingin dibeli. Tapi baru terealisasi setelah dipanas-panasi oleh Yoru. Ceritanya kami beritiga, Yoru, saya dan Aie meet up di sebuah rumah makan. Reunian alumni Pondok Istiqamah jaman kuliah. Waktu itu Yoru membawa novel ini, dan terus menerus berkicau tentang betapa bagusnya novel ini. Ah, menjengkelkan sekali. Baiklah akan kubeli juga. Ternyata kicauannya benar. Novel klasik yang tipis ini memang bagus. 

Animal Farm merupakan metafor politik yang berlatar di sebuah peternakan bernama Peternakan Manor. Para binatang di peternakan itu berencana melakukan pemberontakan terhadap manusia dan mewujudkan sebuah dunia di mana binatang dapat berkuasa atas dirinya sendiri. Setelah kekuasaan manusia digulingkan, tampil dua pemimpin baru, Snowball dan Napoleon. Dua babi yang merupakan binatang paling cerdas di antara seluruh binatang di peternakan. Tapi di mana-mana pemimpin itu hanya satu. Tidak boleh ada dualisme kepemimpinan. Jika ada dua, maka salah satunya harus disingkirkan. Tujuan yang awalnya ingin memerdekakan diri dari perbudakan manusia, pelan-pelan bergeser menjadi tujuan untuk merebut kekuasaan. Setelah satu pemimpin disingkirkan, maka penguasa berikutnya akan melakukan apa saja…apa saja untuk melanggengkan kekuasaannya. 

Novel ini mengingatkan saya pada kata-kata Jonas Jonasson dalam The 100-Year-Old Man Who ClimbedOut of The Window and Disappeared bahwa balas dendam itu seperti politik, satu hal akan diikuti hal lain sehingga yang buruk menjadi lebih buruk dan yang lebih buruk akan menjadi paling buruk. Persis seperti yang menimpa para binatang di peternakan itu. Mereka memang sudah bebas dari perbudakan oleh manusia. Tapi mereka tidak lepas dari perbudakan sesama binatang. Dan kehidupan mereka tidak jauh lebih baik dibanding sebelum revolusi. 

Ketika Malaikat Tak Bersayap 

Dipnjam dari teman. Tapi karena sudah dikembalikan, saya lupa nama pengarang dan penerbitnya. Buku ini berisi puluhan kisah manusia penuh hikmah mulai dari kisah para Nabi, Rasul maupun orang-orang saleh di masa dahulu dan masa sekarang. Di setiap akhir kisah disertakan poin-poin pelajaran yang bisa diambil. 

The Great of Two Umars 
Penulis : Fuad Abdurrahman 
Penerbit : Zaman 
Halaman : 316 

Buku ini sudah beberapa kali pindah tangan sebelum akhirnya bisa membacanya. Dibeli sewaktu pulang kampung beberapa bulan lalu. Ternyata orangtua di rumah tertarik membacanya. Bahkan kadang-kadang mereka rebutan membaca ketika ada waktu senggang di sore hari. Keduanya punya bookmark yang berbeda di buku ini, tergantung sejauh mana bacaannya. Usai membaca biasanya mereka menceritakan ulang kisah-kisah di dalamnya. Rasanya senang sekali ketika orangtua ikut membaca buku-buku kita. 

Sesuai judulnya, buku ini becerita tentang kehidupan dua orang khalifah, yaitu Umar bin Khattab dan Umar bin Abdul Aziz. Keduanya masih satu garis keturunan. Pada suatu malam, seperti biasa Umar bin Khattab berkeliling memeriksa rakyatnya. Ketika sampai di salah satu rumah, ia mendengar percakapan antara seorang ibu dan putrinya. Ibu tersebut memerintahkan putrinya untuk mencampurkan susu dengan air agar mereka mendapatkan keuntungan berlipat. Apalagi tidak ada seorang pun yang melihat. Namun gadis tersebut menolak karena takut kepada Allah, bukan kepada khalifah. Keesokan harinya Umar bin Khattab mengajak anak laki-lakinya yang belum menikah bernama ‘Ashim untuk menemui Ibu gadis tersebut dan melamarnya untuk anaknya. Dari mereka berdua lahir anak perempuan. Anak perempuan itulah yang kelak melahirkan Umar bin Abdul Aziz. 

Buku ini dipecah menjadi dua bagian. Bagian pertama memuat kisah-kisah Umar bin Khattab baik sebelum maupun setelah menjadi khalifah, sedangkan bagian kedua memuat kisah-kisah Umar bin Abdul Aziz. Di tulisan ini saya akan lebih fokus pada kisah Umar bin Abdul Aziz, sebab insya Allah kebanyakan dari kita sudah mengenal mengenal sosok Umar bin Khattab, Sang Pembeda yang terkenal dengan ketegasannya, dan bahwa wilayah Islam berkembang pesat di bawah kepemimpinan beliau. Kalau tidak salah beliau juga masuk dalam salah satu dari 100 tokoh paling berpengaruh menurut Michael H. Hart. 

Umar bin Abdul Aziz tumbuh di Madinah. Sejak kecil ia gemar menuntut ilmu dari para syekh Madinah. Kebiasaannya yang menonjol adalah ia sering duduk bersama para sesepuh Quraisy dan jarang sekali duduk bersama para pemuda. Ia diasuh oleh pamannya, Abdul Malik bin Marwan, yang kala itu menjabat sebagai khalifah. Kemudian Umar dinikahkan dengan putri khalifah sendiri, Fatimah binti Abdul Malik. 

Umar adalah satu-satunya keturunan Bani Umayyah yang tidak mencerca Ali bin Abi Thalib. Cercaan itu berlatar dari perseisihan antara Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awiyah bin Abu Sufyan. Sehingga pada masa kekhalifahan Bani Umayah, para gubernur gemar mengutuk Ali dalam berbagai kesempatan termasuk saat khotbah Jumat. Tapi sejak Umar bin Abdul Aziz diangkat menjadi gubernur, kemudian menjadi khalifah, beliau menyurati semua gubernur agar tidak lagi mengutuk Ali bin Abi Thalib di setiap khotbah Jumat. 

Sebelum masa kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz, ada beberapa keturunan Abdul Malik yang menjabat sebagai khalifah yaitu Al-Walid bin Abdul Malik dan Sulaiman bin Abdul Malik. Sejak pemerintahan Mu’awiyah bin Abu Sufyan, kekhalifahan memang tidak lagi dipilih berdasarkan ketaqwaan seseorang, tapi berubah menjadi kekuasaan yang diwariskan. Sementara itu, Umar bin Abdul Aziz bukanlah keturunan Abdul Malik. Meski demikian, khalifah yang menjabat saat itu, yaitu Sulaiman bin Abdul Malik sangat dekat dengan Umar bin Abdul Aziz. Beliau diangkat sebagai menteri dan penasihat Khalifah. Berbeda dengan pendahulunya, Al-Walid bin Abdul Malik, khalifah Sulaiman bukanlah orang yang sombong dan egois. Ia juga tidak mudah dipengaruhi oleh para bawahannya. 

Ketika khalifah Sulaiman merasa bahwa ajalnya semakin dekat, ia berunding dengan penasihatnya, Raja bin Haiwah, tentang siapa yang akan menjadi penggantinya. Akhirnya diputuskan bahwa Umar bin Abdul Aziz yang akan menjadi khalifah berikutnya. Namun mengingat bahwa akan terjadi kekacauan jika ia tidak mengangkat salah seorang anak-anak Abdul Malik, maka dalam surat keputusan tersebut ditambahkan bahwa Yazid bin Abdul Malik akan menjadi khalifah setelah Umar bin Abdul Aziz. Di tempat yang berbeda, Umar mulai gelisah, ia khawatir jika dirinya ditunjuk sebagai khalifah. Anak-anak Sulaiman pun harap-harap cemas siapa di antara mereka yang akan ditunjuk sebagai khalifah. Sesaat setelah Sulaiman wafat, Raja bin Haiwah mengumpulkan Umar bin Abul Aziz dan seluruh keluarga Sulaiman. Ia kemudian mengumumkan bahwa khalifah berikutnya adalah Umar bin Abdul Aziz. Tentu saja keluarga Sulaiman tidak terima keputusan tersebut. Tapi Raja bin Haiwah membentak dan mengancam akan mengeksekusi jika mereka tidak taat pada keputusan tersebut. Ini pentingnya peran penasihat yang tegas dan amanah. Akhirnya, mereka pun membaiat Umar. Ketika dibaiat, Umar mengucapkan “Innalillahi wa innaa ilaihi raaji’un” sebab ia diberi perkara yang tidak disukainya. Baru kali ini saya membaca ada pemimpin yang ketika diberi kekuasaan justru menanggapnya sebagai ujian. Nah, bagaimana kerja-kerja beliau selama menjabat sebagai khalifah ? 

“Kalian merugikan diri sendiri! Kalian menikah dengan anak cucu Umar bin Khattab, tetapi hanya Umar bin Abdul Aziz yang meneladaninya.” (Bibi Umar bin Abdul Aziz) 

Kerja pertama Umar bin Abdul Aziz sebagai khalifah adalah menjual semua fasilitas khalifah yang diberikan kepadanya dan uangnya dimasukkan ke dalam Baitu Mal. Ia juga menolak tradisi khalifah sebelumnya yang semua pakaian dan wewangian diwariskan kepada khalifah sesudahnya. Umar memasukkan semua warisan itu ke Baitul Mal. Kemudian ia mengembalikan satu per satu harta orang-orang yang dirampas secara zalim di masa pemerintahan sebelumnya. Ia memutus pemberian hadiah kepada Bani Umayah, mengambil harta mereka dan mengembalikannya ke Baitul Mal serta membatalkan kaveling-kaveling tanah yang dibagikan untuk mereka. Ia menolak segala bentuk hadiah yang diberikan kepadanya. Baginya perbedaan besar hadiah pada zaman Nabi dengan zamannya adalah bahwa hadiah pada zaman itu tetap disebut hadiah, namun di masanya hadiah itu bisa jadi bentuk suap. Ia memecat gubernur dan pejabat yang zalim dan menggantinya dengan orang yang paling taat beragama. Seringkali ia melakukan tes terhadap calon pejabat yang akan diangkatnya. Umar juga menolak permintaan kenaikan tunjangan para Amir dan mempermudah urusan birokrasi. Suatu hari ia mengirim surat kepada salah satu gubernurnya : 

“Aku tahu jika aku menyuruhmu menyembelih kambing dan membagikan dagingnya kepada fakir miskin, kau pasti akan mengirim surat padaku menanyakan kambing betina atau jantan. Dan jika kujawab, kau akan bertanya lagi, ‘Besar atau kecil ?’ Jika kujawab lagi, kau akan kembali bertanya, ‘Apa warnanya ?’ Jika aku mengirimimu surat berisi perintah, kerjakan saja, asal tidak menyalahi prinsip kebenaran. Tak perlu banyak tanya.” 

Bandingkan dengan ribetnya birokrasi saat ini. 

“Pergilah ke rumah yang bernama al-makas (retribusi), robohkan rumah itu, dan buang rerntuhannya ke laut.” (Surat Umar bin Abdul Aziz kepada Abdullah bin Auf) 

Umar bin Abdul Aziz juga mengembalikan hak-hak para mawali. Mawali adalah orang-orang Nashrani, Yahudi dan Majusi yang memeluk Islam. Sebelum masa Umar, mereka dizalimi dengan kewajiban bayar pajak. Begitupun terhadap ahli dzimmah (warga non muslim yang ada dalam perlindungan pemerintahan islam). Sebelum masa Umar, mereka diperlakukan tak semestinya. Nilai pajak mereka dua kali lipat dari seharusnya. Khalifah Umar kemudian menghapus kebijakan itu. Umar juga menghapus retribusi. Baginya, zakat dan jizyah sudah cukup. Umar juga memerintahkan salah satu gubernurnya untuk memperbaiki bagunan gereja yang dirobohkan demi perluasan Masjid Umayyah. Ia tidak ingin membangun masjid yang dilandaskan rasa benci. Namun akhirnya minoritas Nashrani merelakan gereja mereka setelah mendapat ganti gereja yang bernilai lebih dan megah. 

Yang menarik, selama masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, penggembala kambing pun merasakan kesalehan sang pemimpin, meski tidak pernah bertemu dengannya. Diceritakan bahwa suatu ketika, Hasan al-Qashshar melewati seorang penggembala dengan kambing-kambingnya. Dan di antara gerombolan kambing itu ada sekitar tiga puluh serigala. Tetapi tidak ada seekor kambing pun yang diganggu. Pengembala tersebut berkata bahwa bila pemerintahan dipegang oleh seorang khalifah yang saleh, serigala tidak akan mengganggu kambing-kambing mereka lagi. Lalu pada suatu malam, serigala menyerang seekor kambing. Gembala tersebut berkata bahwa mungkin khalifah saleh itu telah meninggal dunia. Ternyata benar, keesokan harinya Umar bin Abdul Aziz telah wafat.

Salah satu sisi yang menyentuh dari kisah Umar bin Abdul Aziz yaitu kehidupannya bersama sang istri, Fatimah binti Abdul Malik. Jika membaca kisahnya, kita akan melihat bahwa mereka berdua romantis dengan cara yang berbeda dari definisi romantis yang kita pahami. Pada hari pertama menjabat khalifah, Umar memberi kebebasan istrinya untuk memilih, apakah tetap menjadi istri khalifah dengan risiko menanggung pekerjaan berat namun penghasilan pas-pasan, ditambah berkurangnya perhatian kepada anak dan istri. Atau, memilih masa berpisah. Dan Fatimah memilih mendampingi suaminya. Sebelum Umar menjadi khalifah, Fatimah memiliki bayak emas dan batu mulia warisan pemerintahan ayahnya. Namun setelah suaminya menjadi khalifah, ia disuruh memilih : mengembalikan semua harta itu ke Baitul Mal atau ia berpisah dengan Umar. Lagi-lagi Fatimah memilih suaminya. Bahkan kelak, setelah suaminya wafat dan ia ditawari untuk mengambil kembali semua perhiasan itu, Fatimah tetap menolaknya. Justru Yazid bin Abdul Malik, khalifah pengganti Umar yang mengambil dan membagi-bagikan harta itu untuk keluarganya sendiri. Menjelang wafat, ketika Umar meminta semua orang keluar kerena ia tidak ingin didampingi siapapun, Fatimah tetap tak keluar, ia hanya diam di ruangan yang berbeda yang dipisahkan oleh sebuah pintu. Sampai berkaca-kaca saya membaca kisah ini. Sosok Fatimah bin Abdul Malik sebagai seorang istri benar-benar luar biasa. Semoga kita bisa meneladani pribadi beliau. 

Sejak menjadi khalifah, Umar hanya punya satu baju. Ia kerap menangis jika berbicara tentang mati dan akhirat. Ia tak pernah lagi terlihat tersenyum. Tubuhnya semakin kurus dan kulitnya menjadi kusam. Seorang budak bahkan sempat mengira ia tukang batu karena penampilannya yang serba kekurangan. Keluarga Umar juga sering kelaparan. Anak-anak perempuannya pernah hanya makan bawang untuk menghilangkan lapar. Atau kadang mereka hanya makan kacang adas. Padahal kekayaan umat Islam berlimpah ruah pada masa itu. Tapi Umar sangat menjaga keluarganya dari harta zalim dan menjaga perut keluarganya dari makanan yang bukan hak mereka. Saat wafat pun Umar tidak meninggalkan harta untuk anak istrinya. Tapi ia meninggalkan banyak kebaikan yang kelak akan terlihat manfaatnya. 

“Wahai Mughirah, sesungguhnya ada orang-orang yang shalat dan puasanya lebih banyak daripada Umar, tetapi aku sama sekali tidak pernah melihat orang yang lebih banyak mengingat Allah daripada Umar.” (Fatimah binti Abdul Malik) 

Semua kebijakan Umar jelas membuat geram Bani Umayah. Mereka sakit hati dan merasa disingkirkan. Berbagai jalan ditempuh untuk menjatuhkan Umar. Puncaknya ketika mereka menjadi otak di balik pembunuhan sang khalifah. Mereka mengintimidasi pelayan Umar untuk mencampur racun dalam minuman beliau. Tanpa curiga Umar meminumnya. Racun tersebut membuatnya jatuh sakit. Umar tahu bahwa ia diracun. Ia juga tahu siapa pelakunya dan juga tahu siapa dalang dibalik kejahatan itu. Tapi ia memilih memaafkan pelayannya dan memerintahkannya untuk pergi ke tempat yang tak seorangpun bisa menemukannya. Umar bin Abdul Aziz kemudian wafat pada Jumat, 20 Rajab 101 Hijriah setelah bergelut dengan penyakit akibat racun selama dua puluh hari. 

Masa kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz sangat singkat, yaitu hanya 2 tahun 5 bulan dan 4 hari, namun ia berhasil menghidupkan kejayaan Islam sebagaimana pendahulunya. Ia membuat prestasi dan kebijakan yang menguntungkan rakyat, mengembalikan fungsi Baitul Mal, memperbaiki birokrasi, meningkatkan pertumbuhan ekonomi, menghapus pajak-pajak tambahan dan retribusi, mengadakan uji kelayakan bagi calon gubernur atau pejabat negara dan masih banyak lagi. Kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz adalah bukti sejarah yang membantah anggapan bahwa negara yang menerapkan hukum dan syariat Islam rentan terhadap problem dan krisis. 

Selain sebagai pemimpin, beliau juga adalah ahli fikih, hafidz dan mujtahid. Sejarawan menyebut beliau sebagai pembaharu. Diriwayatkan dalam sebuah hadits bahwa pada setiap seratus tahun Allah mengutus orang yang akan memperbaiki persoalan agama ini. Dan Imam Ahmad melihat bahwa pembaharu pada masa seratus tahun pertama adalah Umar bin Abdul Aziz. 

Perbedaan utama pemerintahan Umar bin Khattab dan Umar bin Abdul Aziz adalah bahwa ketika Umar bin Khattab menjadi khalifah, masih banyak sahabat Rasul yang siap membantu menegakkan kebenaran. Sementara Umar bin Abdul Aziz hidup pada masa yang jauh dari masa sahabat, sehingga sedikit sekali yang akan menolongnya dalam menegakkan kebaikan. Maka di sinilah pentingnya mentarbiyah masyarakat. Sebab bahkan para Nabi dan Rasul pun membutuhkan pengikut bukan hanya dari segi jumlah tapi juga kualitas keimanan, sehingga akan lahir orang-orang yang siap membantu perjuangan.
 
;