Yang Aku Tahu
dengan Pasti
Penulis : Oprah Winfrey
Penerbit : Gramedia
Halaman : 189
“Beri aku sebuah novel atau memoir, secangkir teh, dan
tempat yang nyaman untuk meringkuk, maka aku akan berada di surga. Aku senang
hidup di alam pikir orang lain; aku takjub pada ikatan-ikatan yang aku rasakan
dengan orang-orang yang menjadi hidup di halaman-halaman buku, terlepas dari betapapun berbedanya
situasi mereka dari situasiku. Aku bukan hanya merasa mengenal orang-orang ini,
tapi aku juga lebih mengenali diriku.” (hal. 19-20)
Tertarik dengan buku ini sejak pertama kali melihatnya di toko online
tahun lalu. Ada firasat kalau buku ini akan mirip dengan Letter to My Daughter-nya Maya Angelou. Ternyata memang Maya
Angelou adalah salah satu mentornya Oprah Winfrey. Ini adalah jenis buku yang
lebih baik jika dibaca berulang-ulang. Pengalaman-pengalaman Oprah, kemandiriannya,
integritasnya, cara pandangnya dan keberaniannya membuat saya terkesan. Tipe
pembelajar yang selalu berusaha menjadi lebih baik dengan menantang dirinya
sendiri. Kata-katanya sederhana tapi menggugah dan membangkitkan semangat. Banyak kutipan dari
buku ini yang mengena di hati saya. Salah satunya Oprah mengutip kata-kata W.H.
Murray, seorang pendaki gunung bahwa : Sampai
seseorang berkomitmen, akan selau ada keraguan, peluang untuk mundur dan selalu
tidak efektif. Segala macam hal akan
muncul untuk membantu, dan ini tidak akan muncul jika dia belum berkomitmen.
Dilan 1 dan
Dilan 2
Penulis : Pidi Baiq
Penerbit : DAR! Mizan
Sebenarnya tidak pernah tertarik membaca buku ini walaupun sering lihat
di toko buku. Walaupun banyak teman bilang bagus. Walaupun sudah diangkat ke
layar lebar. Dan walaupun-walaupun yang lain. Tapi karena dikasih versi
e-booknya dari teman jadi akhirnya dibaca juga (bilang aja kere >_<).
Daya tarik utama novel Pidi Baiq ini ada pada karakter Dilan yang anti
mainstream. Suka ngawur, anak geng motor, berandalan tapi bukan pengecut,
sering berantem tapi punya sopan santun sama yang lebih tua, kritis, jago
berdebat, jago fisika dan jago nulis. Benar-benar kombinasi yang langka. Mungkin
itulah kenapa banyak yang bilang bagus. Saya sendiri cukup terhibur dengan gaya
Dilan yang tidak biasa. Tapi itu hanya berlaku di Dilan 1. Memasuki Dilan 2
saya mulai bosan. Ada yang bilang bahwa bagian terbaik dari suatu hubungan
adalah sebelum hubungan itu dimulai. Sepertinya ada benarnya. Karena setiap
kali membaca novel atau menonton film bergenre romantis, saya akan dihinggapi
rasa bosan manakala hubungan tokoh-tokohnya sudah berganti status. Karena
kelebayan akan dimulai di tahap ini. Dilan 1 bercerita tentang gerilya Dilan
mendekati Milea. Buku ini saya selesaikan dalam dua kali duduk. Sementara Dilan
2 menceritakan hari-hari mereka setelah Milea akhirnya menerima Dilan, walaupun
tanpa pernyataan resmi. Buku ini saya selesaikan setelah berkali-kali duduk.
Seminggu mungkin. Dan tak henti-hentinya jengkel dengan sikap Milea. Marahan,
baikan, marahan, baikan, marahan, baikan lagi. Begitu saja terus sampai
Detective Conan tamat. Ujuang-ujunganya mereka pisah dan Milea menikah dengan
orang lain. Jika Dilan 1 dan Dilan 2 diambil dari sudut pandang Milea, maka
Dilan 3 diambil dari sudut pandang Dilan dengan isi cerita yang sama. Sayangnya
buku yang ketiga ini belum sempat saya selesaikan.
Dangerous
Girls
Penulis : Abigail Haas
Penerbit : Kosa Media Utama
Halaman : 372
Jangan menilai buku dari rating-nya di Goodreads. Ini pelajaran yang
diambil setelah menamatkan novel ini. Waktu itu saya sedang mencari bacaan
bertema suspense, misteri atau sejenis itu. Novel-novel semacam Alex atau In The Dark, Dark Wood. Ketika melihat novel ini di toko buku, saya
pun mencari informasinya lewat Bro Google. Rating-nya tinggi di Goodreads. Jadi
tanpa pikir dua kali saya pun mengeksekusinya. Ternyata novel ini tidaklah
se-wah itu. Pertama, saya tidak bisa menyukai tokoh utamanya. Walaupun
digambarkan sebagai orang yang kuper, suka baca buku dan sering dibully, saya
tidak merasakan simpati. Semacam firasat bahwa ada sesuatu yang salah dari
tokoh ini. Dan ternyata benar. Karena itu saya tidak terkejut ketika akhirnya
kebenaran terungkap. Jika sebuah novel bisa ditebak jalan cerita atau
ending-nya, maka itu bukanlah novel yang bagus.
Sirkus Pohon
Penulis : Andrea Hirata
Penerbit : Bentang
Halaman : 410
Saya selalu suka novel-novel Andrea Hirata. Salah satu alasannya adalah
karena novel-novelnya bercerita dari sudut pandang dirinya. Saya sudah terbiasa
dengan Andrea Hirata yang sebagai tokoh aku. Tapi sejak novel Ayah, pak cik tidak lagi bercerita dari
sudut pandang dirinya. Di novel Sirkus Pohon ini pun, tokoh aku adalah orang
lain yang diceritakan oleh penulis. Ceritanya bagus dan mengundang tawa seperti
biasa. Ciri khas dari karya-karya pak cik. Tapi sensasinya tidak lagi sama
dengan tetralogi Laskar Pelangi atau dwilogi
Padang Bulan. Selain itu ada yang
sedikit mengganggu bagi saya. Kita semua tahu kalau Laskar Pelangi adalah novel mega best seller di Indonesia. Novel
ini memenangkan penghargaan internasional, telah diterjemahkan dalam beberapa
bahasa dan mendapat banyak pujian baik di dalam maupun luar negeri. Tapi pujian
itu untuk Laskar Pelangi. Di novel Ayah dan Sirkus Pohon, semua pujian untuk Laskar
Pelangi ikut disertakan juga. Mungkin ini salah satu trik marketing tapi
menurutku sebaiknya tidak perlu. Sebab hanya akan membuat novel-novel
selanjutnya terus berada di bawah bayang kesuksesan Laskar Pelangi. Katanya
setelah novel ini pak cik akan rehat sejenak dari menulis novel. Yah, tak
apalah. Aku setia menunggu karyamu pak cik.
Qadha dan
Qadar
Penulis : Dr. Sulaiman Al Asyqar
Penerbit : Pustaka Imam Asy Syafii
Qadha dan Qadar adalah buku terakhir dari seri arkanul iman karya Dr.
Sulaiman Al Asyqar. Buku yang tertipis dibanding enam jilid lainnya. Dibaca
sewaktu transit di rumah sepupu sebelum balik ke Baubau. Mempelajari rukun
iman, atau ilmu agama secara umum, tidak bisa dicukupkan hanya dengan membaca
buku. Kita membutuhkan guru untuk belajar agar pemahaman tidak parsial. Membaca
memang sumber ilmu yang utama, tapi agama bukan sekadar bahan bacaan. Ia
membutuhkan pendidikan dan pembelajaran yang bertahap, sehingga dianjurkan
belajar agama kepada para ahli secara langsung. Di sini pentingnya majelis
ilmu, pentingnya tarbiyah. Banyak hal yang didapatkan dari majelis ilmu yang
tidak didapatkan dari hanya sekadar membaca buku. Belajar bersikap sopan kepada
ahli ilmu, menghargai ilmu, berakhlak kepada kawan, silaturahim, bertoleransi,
menghargai waktu dan bersabar melewati tahapan ilmu adalah sekian hal yang didapatkan
ketika bermajelis. Oleh karena itu jika ada yang sudah menamatkan ketujuh seri
arkanul iman ini, akan lebih baik jika dibarengi dengan penjelasan langsung
dari para ahli atau para ‘alim yang lebih paham persoalan ini.
The Seven
Good Years
Penulis : Etgar Keret
Penerbit : Bentang
Yang
membuat saya penasaran ingin membaca buku ini adalah pertama, tulisan di bawah
judulnya : “Memoar penulis Israel tentang
keberpihakannya pada perdamaian di negara berpenduduk Muslim dan dunia.” Tapi
setelah membaca buku ini, saya jadi jengkel dengan tulisan di bawah judul tadi.
Memoar ini berisi potongan keseharian penulis selama tujuh tahun sejak
kelahiran putranya sampai tahun ketujuh. Tulisan itu berisi kisah perjalanannya
ke berbagai belahan dunia untuk mengikuti festival buku, atau tentang
kehidupannya sebagai generasi kedua (anak dari korban yang selamat dari
holocaust), atau tentang kakak laki-lakinya yang ia idolakan, atau tentang kakak
perempuannya yang berubah menjadi konservatif, menutup tubuhnya dari kepala
sampai kaki, mempunyai banyak anak dan memilih tinggal di lingkungan paling
ortodoks di Jerussalem, atau tentang kegalauannya dengan sang istri mengenai
masa depan anaknya di negara yang kehidupan masyarakatnya bergantung dari
kekuatan militer, atau tentang perdebatannya dengan seorang penumpang pesawat demi
mempertahankan kursi yang sama, atau tentang ayahnya yang menderita kanker,
atau tentang pertemuannya dengan orang yang pernah menolong ibunya di masa
holocaust. Tapi saya tak menemukan kisah sesuai janji tulisan di bawah judul
buku tadi. Memang disebutkan di profil penulis bahwa Etgar Keret rutin menulis
opini yang mengkritisi pendudukan Israel di Palestina, tapi di buku ini yang
diceritakan adalah potongan keseharian penulis. Apa ini lagi-lagi trik
marketing ? Kedua, pujian dari The New
York Times dan Chicago Tribune
bahwa buku ini adalah memoar yang menggugah dan sangat lucu. Saya selalu suka
buku yang menggugah sekaligus lucu. Buku ini memang menggugah, saya terkesan
dengan tema keluarga yang diangkat di dalamnya. Walaupun gagal menemukan letak
kelucuannya.