22 October 2017

Buku Yang Kubaca Tahun 2017 (5)

Yang Aku Tahu dengan Pasti 
Penulis : Oprah Winfrey 
Penerbit : Gramedia 
Halaman : 189 

“Beri aku sebuah novel atau memoir, secangkir teh, dan tempat yang nyaman untuk meringkuk, maka aku akan berada di surga. Aku senang hidup di alam pikir orang lain; aku takjub pada ikatan-ikatan yang aku rasakan dengan orang-orang yang menjadi hidup di halaman-halaman buku, terlepas dari betapapun berbedanya situasi mereka dari situasiku. Aku bukan hanya merasa mengenal orang-orang ini, tapi aku juga lebih mengenali diriku.” (hal. 19-20) 

Tertarik dengan buku ini sejak pertama kali melihatnya di toko online tahun lalu. Ada firasat kalau buku ini akan mirip dengan Letter to My Daughter-nya Maya Angelou. Ternyata memang Maya Angelou adalah salah satu mentornya Oprah Winfrey. Ini adalah jenis buku yang lebih baik jika dibaca berulang-ulang. Pengalaman-pengalaman Oprah, kemandiriannya, integritasnya, cara pandangnya dan keberaniannya membuat saya terkesan. Tipe pembelajar yang selalu berusaha menjadi lebih baik dengan menantang dirinya sendiri. Kata-katanya sederhana tapi menggugah dan membangkitkan semangat. Banyak kutipan dari buku ini yang mengena di hati saya. Salah satunya Oprah mengutip kata-kata W.H. Murray, seorang pendaki gunung bahwa : Sampai seseorang berkomitmen, akan selau ada keraguan, peluang untuk mundur dan selalu tidak efektif.  Segala macam hal akan muncul untuk membantu, dan ini tidak akan muncul jika dia belum berkomitmen.



Dilan 1 dan Dilan 2 
Penulis : Pidi Baiq 
Penerbit : DAR! Mizan 

Sebenarnya tidak pernah tertarik membaca buku ini walaupun sering lihat di toko buku. Walaupun banyak teman bilang bagus. Walaupun sudah diangkat ke layar lebar. Dan walaupun-walaupun yang lain. Tapi karena dikasih versi e-booknya dari teman jadi akhirnya dibaca juga (bilang aja kere >_<). Daya tarik utama novel Pidi Baiq ini ada pada karakter Dilan yang anti mainstream. Suka ngawur, anak geng motor, berandalan tapi bukan pengecut, sering berantem tapi punya sopan santun sama yang lebih tua, kritis, jago berdebat, jago fisika dan jago nulis. Benar-benar kombinasi yang langka. Mungkin itulah kenapa banyak yang bilang bagus. Saya sendiri cukup terhibur dengan gaya Dilan yang tidak biasa. Tapi itu hanya berlaku di Dilan 1. Memasuki Dilan 2 saya mulai bosan. Ada yang bilang bahwa bagian terbaik dari suatu hubungan adalah sebelum hubungan itu dimulai. Sepertinya ada benarnya. Karena setiap kali membaca novel atau menonton film bergenre romantis, saya akan dihinggapi rasa bosan manakala hubungan tokoh-tokohnya sudah berganti status. Karena kelebayan akan dimulai di tahap ini. Dilan 1 bercerita tentang gerilya Dilan mendekati Milea. Buku ini saya selesaikan dalam dua kali duduk. Sementara Dilan 2 menceritakan hari-hari mereka setelah Milea akhirnya menerima Dilan, walaupun tanpa pernyataan resmi. Buku ini saya selesaikan setelah berkali-kali duduk. Seminggu mungkin. Dan tak henti-hentinya jengkel dengan sikap Milea. Marahan, baikan, marahan, baikan, marahan, baikan lagi. Begitu saja terus sampai Detective Conan tamat. Ujuang-ujunganya mereka pisah dan Milea menikah dengan orang lain. Jika Dilan 1 dan Dilan 2 diambil dari sudut pandang Milea, maka Dilan 3 diambil dari sudut pandang Dilan dengan isi cerita yang sama. Sayangnya buku yang ketiga ini belum sempat saya selesaikan.       


Dangerous Girls 
Penulis : Abigail Haas 
Penerbit : Kosa Media Utama 
Halaman : 372 

Jangan menilai buku dari rating-nya di Goodreads. Ini pelajaran yang diambil setelah menamatkan novel ini. Waktu itu saya sedang mencari bacaan bertema suspense, misteri atau sejenis itu. Novel-novel semacam Alex atau In The Dark, Dark Wood. Ketika melihat novel ini di toko buku, saya pun mencari informasinya lewat Bro Google. Rating-nya tinggi di Goodreads. Jadi tanpa pikir dua kali saya pun mengeksekusinya. Ternyata novel ini tidaklah se-wah itu. Pertama, saya tidak bisa menyukai tokoh utamanya. Walaupun digambarkan sebagai orang yang kuper, suka baca buku dan sering dibully, saya tidak merasakan simpati. Semacam firasat bahwa ada sesuatu yang salah dari tokoh ini. Dan ternyata benar. Karena itu saya tidak terkejut ketika akhirnya kebenaran terungkap. Jika sebuah novel bisa ditebak jalan cerita atau ending-nya, maka itu bukanlah novel yang bagus. 


Sirkus Pohon 
Penulis : Andrea Hirata 
Penerbit : Bentang 
Halaman : 410 

Saya selalu suka novel-novel Andrea Hirata. Salah satu alasannya adalah karena novel-novelnya bercerita dari sudut pandang dirinya. Saya sudah terbiasa dengan Andrea Hirata yang sebagai tokoh aku. Tapi sejak novel Ayah, pak cik tidak lagi bercerita dari sudut pandang dirinya. Di novel Sirkus Pohon ini pun, tokoh aku adalah orang lain yang diceritakan oleh penulis. Ceritanya bagus dan mengundang tawa seperti biasa. Ciri khas dari karya-karya pak cik. Tapi sensasinya tidak lagi sama dengan tetralogi Laskar Pelangi atau dwilogi Padang Bulan. Selain itu ada yang sedikit mengganggu bagi saya. Kita semua tahu kalau Laskar Pelangi adalah novel mega best seller di Indonesia. Novel ini memenangkan penghargaan internasional, telah diterjemahkan dalam beberapa bahasa dan mendapat banyak pujian baik di dalam maupun luar negeri. Tapi pujian itu untuk Laskar Pelangi. Di novel Ayah dan Sirkus Pohon, semua pujian untuk Laskar Pelangi ikut disertakan juga. Mungkin ini salah satu trik marketing tapi menurutku sebaiknya tidak perlu. Sebab hanya akan membuat novel-novel selanjutnya terus berada di bawah bayang kesuksesan Laskar Pelangi. Katanya setelah novel ini pak cik akan rehat sejenak dari menulis novel. Yah, tak apalah. Aku setia menunggu karyamu pak cik.

Qadha dan Qadar 
Penulis : Dr. Sulaiman Al Asyqar 
Penerbit : Pustaka Imam Asy Syafii 

Qadha dan Qadar adalah buku terakhir dari seri arkanul iman karya Dr. Sulaiman Al Asyqar. Buku yang tertipis dibanding enam jilid lainnya. Dibaca sewaktu transit di rumah sepupu sebelum balik ke Baubau. Mempelajari rukun iman, atau ilmu agama secara umum, tidak bisa dicukupkan hanya dengan membaca buku. Kita membutuhkan guru untuk belajar agar pemahaman tidak parsial. Membaca memang sumber ilmu yang utama, tapi agama bukan sekadar bahan bacaan. Ia membutuhkan pendidikan dan pembelajaran yang bertahap, sehingga dianjurkan belajar agama kepada para ahli secara langsung. Di sini pentingnya majelis ilmu, pentingnya tarbiyah. Banyak hal yang didapatkan dari majelis ilmu yang tidak didapatkan dari hanya sekadar membaca buku. Belajar bersikap sopan kepada ahli ilmu, menghargai ilmu, berakhlak kepada kawan, silaturahim, bertoleransi, menghargai waktu dan bersabar melewati tahapan ilmu adalah sekian hal yang didapatkan ketika bermajelis. Oleh karena itu jika ada yang sudah menamatkan ketujuh seri arkanul iman ini, akan lebih baik jika dibarengi dengan penjelasan langsung dari para ahli atau para ‘alim yang lebih paham persoalan ini. 

 The Seven Good Years 
Penulis : Etgar Keret 
Penerbit : Bentang 

Yang membuat saya penasaran ingin membaca buku ini adalah pertama, tulisan di bawah judulnya : “Memoar penulis Israel tentang keberpihakannya pada perdamaian di negara berpenduduk Muslim dan dunia.” Tapi setelah membaca buku ini, saya jadi jengkel dengan tulisan di bawah judul tadi. Memoar ini berisi potongan keseharian penulis selama tujuh tahun sejak kelahiran putranya sampai tahun ketujuh. Tulisan itu berisi kisah perjalanannya ke berbagai belahan dunia untuk mengikuti festival buku, atau tentang kehidupannya sebagai generasi kedua (anak dari korban yang selamat dari holocaust), atau tentang kakak laki-lakinya yang ia idolakan, atau tentang kakak perempuannya yang berubah menjadi konservatif, menutup tubuhnya dari kepala sampai kaki, mempunyai banyak anak dan memilih tinggal di lingkungan paling ortodoks di Jerussalem, atau tentang kegalauannya dengan sang istri mengenai masa depan anaknya di negara yang kehidupan masyarakatnya bergantung dari kekuatan militer, atau tentang perdebatannya dengan seorang penumpang pesawat demi mempertahankan kursi yang sama, atau tentang ayahnya yang menderita kanker, atau tentang pertemuannya dengan orang yang pernah menolong ibunya di masa holocaust. Tapi saya tak menemukan kisah sesuai janji tulisan di bawah judul buku tadi. Memang disebutkan di profil penulis bahwa Etgar Keret rutin menulis opini yang mengkritisi pendudukan Israel di Palestina, tapi di buku ini yang diceritakan adalah potongan keseharian penulis. Apa ini lagi-lagi trik marketing ? Kedua, pujian dari The New York Times dan Chicago Tribune bahwa buku ini adalah memoar yang menggugah dan sangat lucu. Saya selalu suka buku yang menggugah sekaligus lucu. Buku ini memang menggugah, saya terkesan dengan tema keluarga yang diangkat di dalamnya. Walaupun gagal menemukan letak kelucuannya.
 
;