17 August 2017

Si Nomor Dua

“Bagaimana kondisinya ?” Tanyaku lewat telepon 
“Sudah sadar. Mau bicara ?” Ibu balik bertanya 
“Boleh”
“Halo, Assalamu’alaikum” 
“Wa’alaikumsalam. Hei, bagaimana rasanya ?” Tanyaku 
“Mana bisa dirasa ? Kan, dibius total. Tapi sekarang sakit kalau gerak” 
Setelah itu telepon diserahkan kembali ke Ibu. Kami bicara agak lama sebelum akhirnya ditutup.
 
Aku sudah pernah menulis tentang adikku yang bungsu. Kupikir sore ini aku ingin menulis tentang si nomor dua. Ingatan tentang masa kecil kami sudah samar di kepalaku. Tapi ada beberapa perisitiwa yang masih kuingat dengan jelas. Sewaktu bayi, dia pernah sakit. Penyakit itu lama-kelamaan bertambah parah. Dokter sudah berupaya, tapi akhirnya mereka hanya meminta kami banyak berdoa. Saat itu, Ibu berpikir bahwa mungkin adikku tidak akan bertahan. Aku punya keping ingatan yang kabur tentang ini. Di ingatan itu, kulihat para kerabat dengan wajah sedih berkumpul di sekeliling adikku. Sementara aku hanya bisa menatap sosoknya yang kecil terbaring timbul tenggelam di antara punggung para kerabatku. Ternyata Allah berkehendak lain. Hari demi hari kondisinya perlahan membaik. Ia selamat.
 
Di masa kanak-kanaknya, sudah tidak terhitung berapa kali dia jatuh, entah jatuh dari sepeda, jatuh dari tangga, jatuh dari pohon dan berbagai jatuh lainnya. Dia punya banyak bekas luka di sekujur tubuhnya. Ada satu peristiwa yang lagi-lagi membuat jantung kami serasa mau copot. Saat itu aku masih SD dan adikku belum masuk TK. Ibu tengah mengajar di kelas, ketika salah satu muridnya berlari masuk dan mengabarkan bahwa adikku jatuh dari pohon. Ada pecahan beling menancap di kepalanya. Sekarang dia di rumah sakit Bu, kata murid tadi. Aku sedang bermain di halaman sekolah bersama teman-temanku. Begitu mendengar berita tadi, aku langsung berlari ke rumah sakit yang berdampingan dengan sekolah. Dua temanku yang diminta menjadi kurir berita berlari menuju kantor Ayah. Kulihat darah menetes di sepanjang koridor rumah sakit. Saat masuk ke ruangan, kulihat dokter dan perawat sibuk mengobati kepalanya yang berlumuran darah. Adikku menangis dan ketika melihatku, tangannya menggapai-gapai ke arahku. “Kepalaku hilang…! kepalaku hilang…!”, teriaknya. Aku memegang tangannya. Air mataku sudah hampir jebol. Tapi di saat yang sama aku tertawa mendengarnya. “Kepalamu masih ada.”, kataku. Ketika Ayah dan Ibu akhirnya muncul di balik pintu, aku berlari memeluk mereka. Mereka menepuk-nepuk punggungku. Tidak apa-apa, katanya berulang-ulang. Itu adalah peristiwa yang masih kuingat jelas sampai sekarang.
 
Ia sudah kelas 2 SMP ketika aku masuk kuliah. Jika pulang kampung saat libur semester, tiap sore ia kuajak jalan-jalan ke pelabuhan. Malamnya kami ke perpustakaan daerah atau main PS di rumah nenek. Setelah kembali ke Makassar, Ibu pernah menelpon hanya untuk mengabarkan bahwa si nomor dua tiap sore naik sepeda ke pelabuhan sendirian. Waktu ibu tanya kenapa, dia jawab begini : “Kangen kakak !” Hahaha…
 
Tapi adik laki-laki itu biasanya menyenangkan hanya sampai usia SMP. Memasuki SMA, mereka mulai menyebalkan. Masa puber memang menyebalkan. Teman-temannya mulai banyak. Ia jadi lebih sering nongkrong bersama temannya. Sementara kalau di rumah, dia lebih banyak mengunci diri di kamar. Pernah saat maghrib sudah masuk, aku mengetuk pintu mengingatkannya untuk shalat. Ia hanya menjawab ya, tanpa mengecilkan volume musik yang berisik di kamarnya. Kutegur dua kali, tidak ada perubahan. Kutegur tiga kali, masih sama. Aku kehilangan kesabaran. Kami bertengkar malam itu. Ia tidak mau mengajakku bicara sampai aku kembali ke Makassar.
 
Lalu lebaran Idul Adha tiba. Saat itu sang Khatib memberikan ceramah tentang pentingnya meminta maaf dan memberi maaf. Pesannya benar-benar menyentuh, kulihat banyak jamaah yang meneteskan air mata menyimak ceramah sang khatib. Sepulang ke rumah, kulihat adikku mencium kedua tangan ayah dan ibu, lalu dengan enggan mengulurkan tangannya kepadaku. Kugenggam tangannya sedikit lebih lama lalu kuusap kepalanya sambil tersenyum. Tiba-tiba ia langsung memelukku dan mulai terisak. Maafkan saya, kak, katanya. Ayah dan ibu heran melihatnya. Pertengkaran sore itu memang hanya kami yang tahu. Di lain waktu, dia pernah memperlihatkan foto seorang gadis. “Manis tidak ?” Tanyanya. “Pacarmu ?” aku balik bertanya. Dia mengangguk. Aku tidak berkomentar, karena sebenarnya dia sudah tahu bagaimana pandanganku soal pacaran.
 
Kami sering berbeda pendapat. Dia keras kepala, ceroboh dan susah dinasihati. Ibuku sering bilang bahwa pikirannya bisa keriting menghadapi anak laki-lakinya yang keras kepala bukan main itu. Tapi biar begitu, dia punya rasa empati yang tinggi terhadap orang lain. Saat ini dia sedang di rumah sakit. Kata Ibu, banyak teman-temannya yang datang menjenguk. Syafakallah, laaba’sa thohurun insya Allah. Lekas sembuh, bro!
 
;