05 November 2012

Ngelantur Lagi

Lagi-lagi harus kuakui, aku memang tidak pandai memilih judul tulisan. Selalu tak lebih dari dua kata dan hanya berputar dengan yang itu-itu saja. Begitulah jika sudah malas mencari, akan kuberi judul sembarangan. Terserah kalau mau dibilang tidak kreatif. Lagipula ceritanya kan sedang ngelantur lagi. Jadi wajarlah.

Oh ya, hampir lupa. Jika dalam tulisan kata yang digunakan adalah “aku” dan bukan “saya” maka itu pertanda bahwa tulisan ini mungkin akan sedikit...sentimentil. Ehm, well, entah kata apa yang tepat, tapi yeah, kurang lebih semacam itulah. Dan apapun yang kau temui dalam tulisan ini, ingatlah satu hal : aku sedang ngelantur.

Hujan adalah berkah, semua orang tahu itu. Kita bahkan disunnahkan untuk berdoa saat hujan karena merupakan waktu yang mustajab. Banyak orang yang selalu menanti kedatangan hujan. Banyak orang yang membuat puisi dan cerita tentang hujan. Dan, banyak doa-doa yang terlantun ke langit saat hujan. Aku juga suka hujan. Suka melihat tetesan air yang jatuh seperti benang-benang perak dari langit. Suka melihat efek embun di kaca yang dingin. Suka minum kopi dan membaca buku saat hujan. Suka berlari menembus hujan (andai saja tidak menjadi tontonan dan disebut konyol). Intinya, aku suka hal-hal kecil yang berhubungan dengan hujan, hingga beberapa waku belakangan ini.

Seingatku, saat itu siang menjelang sore. Masih belum jelas apakah dosen masuk mengajar atau tidak. Di luar kelas, mendung mulai mengepung. Aku menoleh ke temanku yang kegirangan menanti kedatangan hujan. Ia memintaku menemaninya keluar jika hujan turun. Ia ingin melihat hujan dari tempat yang terbuka. Kelasku yang saat itu berada di lantai dua adalah tempat yang tepat. Aku mengiyakan. Ternyata kuliah batal, dosen berhalangan hadir dan hujan pun turun. Aku mengikutinya keluar dan berdiri di pinggiran koridor yang tersembunyi di samping kelas. Kulirik dia dan menemukan raut senang ketika beberapa tetes air hujan menerpa wajahnya. Yang pertama kulihat dari tempat itu adalah area parkir. Memandangi jejeran motor yang menggigil kedinginan. Lalu kualihkan mata ke arah langit. Yang kulihat hanya kelabu. Tak ada yang lain. Lama kupandang langit dan tak juga dihinggapi rasa senang, seperti seharusnya. Padahal setidaknya, aku bisa lebih baik ketika menyambut hujan seperti temanku. Namun, entah dari mana ada perasaan lain yang pelan-pelan menyelusup. Perasaan yang menggantikan tempat di mana rasa senang itu seharusnya berada. Awalnya aku tidak menyadari hingga beberapa kepingan ingatan melintas begitu saja bersama dengan jatuhnya tetesan hujan. Kepingan yang harusnya hanya muncul jika aku berada di sebuah tempat yang dipenuhi warna jingga, buku, siluet beberapa orang dan sepasang bola mata yang jauh.

Aku memikirkannya beberapa saat dan kemudian tersadar, ada sesuatu yang mengambang di dalam. Dari mengambang kemudian naik kelas menjadi kosong dan berakhir dengan hampa. Aku membenci efek ini sejak dulu karena ia kadang muncul begitu saja di saat yang tidak tepat. Ia bisa melemparku melangkahi waktu dan meninggalkanku di sana. Sementara aku bersusah payah melepaskannya, berharap secepatnya pergi dari situ. Ketenanganku pun jadi terusik karena ini. Jika terjadi di kelas, aku akan mondar mandir mencari teman untuk diajak cerita apa saja. Apa saja untuk menghilangkannya. Jika tidak bisa, akan kutinggalkan kelas dan melarikan motor ke Snoppy, mengambil buku apa pun. Buku selalu menjadi pelarian terbaik, selalu berhasil memindahkanku ke tempat lain. Setidaknya sampai aku terlelap dengan buku yang menutup wajah. Karena itulah belakangan ini, setiap subuh aku selalu berdoa agar langit cerah sepanjang hari.

Ada beberapa hal yang ingin kulepaskan dan aku selalu tak siap melakukannya. Beberapa hal yang seharusnya sejak dulu kubiarkan pergi dari ingatan. Dari kenangan. Pada akhirnya, aku hanya melarikan diri dan masih saja membawanya.

Dibandingkan perasaan manusia, matematika lebih mudah dipahami
~Detective Conan~
 
;