Kau takkan pernah lupa pada wajah orang yang menjadi harapan terakhirmu
~Suzanne Collins, The Hunger Games~
Sengingat saya, terakhir kali semangat membaca buku terbitan luar
adalah saat mengkhatamkan novel debut pertama Takahashi Matsuoka-sensei
yang berjudul Samurai : Kastel Awan Burung Gereja dan Samurai : Jembatan Musim Gugur.
Membaca buku sebenarnya bisa menjadi sesuatu yang dilematis karena
pengaruh yang ditimbulkannya. Mungkin ini terdengar berlebihan, tapi
tidak buat saya. Bagi saya, membaca buku adalah proses berpindah dari
alam nyata masuk ke alam buku. Yang menjadi persoalan adalah ketika
cerita telah berakhir dan ternyata kau belum juga keluar dari buku itu.
Bisa paham sampai sini ? Jika bukunya tidak terlalu berkesan maka tidak
ada masalah. Tapi jika kesannya mendalam, tak jarang saya sering butuh
waktu satu atau dua hari untuk untuk sepenuhnya ‘keluar’ dari buku.
Saya paling suka jenis novel yang berlatar sejarah, fiksi sains dan dunia fantasi. Tiga hal yang tidak pernah bertemu satu sama lain, masa lalu, masa depan dan utopia. Mungkin ini juga yang menyebabkan saya sulit ‘keluar’ dari buku di penghujung cerita. Walau begitu, pesan-pesan yang terkandung di dalamnya sering ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Dalam novel Samurai misalnya, Matsuoka-sensei memberi peringatan bahwa dalam setiap kepemimpinan, kesetiaan selalu menemui konflik, bahkan untuk orang yang paling loyal sekalipun.
The Hunger Games merupakan novel trilogi fiksi sains yang ditulis oleh Suzanne Collins. Ketertarikan membaca novel ini muncul setelah iseng menonton filmnya. Ada banyak film yang menjadikan game maut sebagai tema cerita seperti Battle Royal (yang tak sanggup saya selesaikan). Setelah menonton, saya langsung mencari ketiga bukunya. Di antara sekian banyak buku yang pernah diterbitkan, ada buku yang dibaca dan lewat begitu saja tanpa kesan berarti. Dan ada pula beberapa buku yang mampu membuat merenung dan sering mempengaruhi beberapa hal termasuk sudut pandang selama ini telah lazim saya anut. The Hunger Games adalah jenis yang kedua.
Puluhan tahun sebelum The Hunger Games pertama kali diadakan, terjadi pemberotakan terhadap Capitol yang dilakukan oleh 13 distrik di Panem, sebuah negara yang terbentuk dari sisa-sisa Amerika Utara. Pemberontakan tersebut berhasil dipadamkan dan berakhir dengan membumihanguskan distrik 13, sehingga tersisa 12 distrik. Setelah itu dibuatlah The Hunger Games sebagai peringatan sekaligus ancaman terhadap kedua belas distrik agar tidak mengulangi pemberontakan atau nasib mereka akan sama dengan distrik 13. The Hunger Games dilaksanakan setiap tahun dan dijadikan hiburan bagi penduduk Capitol, semacam reality show yang ditayangkan di TV. Semua laki-laki dan perempuan yang berusia 12-18 tahun akan dipilih secara acak di Hari Pemungutan. Hari pemungutan merupakan hari dimana peserta yang terpilih akan mengucapkan salam perpisahan karena kemungkinan yang kembali tinggal mayatnya. Setelah hari pemungutan, terkumpullah 24 peserta dari 12 distrik yang harus bertarung sampai mati sehingga hanya tersisa satu pemenang.
Katniss Everdeen adalah seorang gadis berumur 16 tahun yang tinggal di distrik 12, sebuah distrik penambang batu bara. Ayahnya meninggal karena ledakan yang terjadi di tambang saat ia belum berumur 12 tahun. Kematian ayahnya membuat ibu Katniss trauma sehingga Katniss terpaksa menjadi tulang punggung menghidupi keluarganya. Katniss mempunyai adik perempuan bernama Primrose Everdeen, yang lebih sering dipanggil Prim. Karena miskin dan harus memberi makan keluarga, Katniss terbiasa berburu di hutan. Ia ahli menggunakan panah dan memasang jerat. Katniss mempunyai sahabat sekaligus teman berburu bernama Gale. The Hunger Games ke-74 merupakan tahun pertama nama Prim masuk dalam daftar. Setelah diacak, ternyata nama Prim yang terpilih. Katniss kemudian mengajukan diri menggantikan adiknya.
Sementara peserta laki-laki yang terpilih adalah Peeta Mellark, ia seusia dengan Katniss dan mempunyai kemampuan dalam hal kamuflase. Sehari-harinya, Peeta bekerja menghias kue di toko roti milik ayahnya. Katniss dan Peeta kemudian dibawa ke Capitol. Setiap pasangan memiliki mentor yang diambil dari pemenang Hunger Games sebelumnya dari distrik masing-masing. Mentor mereka bernama Haymitch, pemenang Hunger Games ke-50 saat ia masih berusia 16 tahun. Di Capitol mereka melakukan serangkaian persiapan dan latihan serta berbagai wawancara untuk menarik dukungan para sponsor. Bantuan dari para sponsor sangat menentukan nasib para peserta di arena nanti.
Buku pertama menceritakan perjuangan Katniss dan Peeta bertahan hidup di arena dan akhirnya membuat sejarah baru, yaitu untuk pertama kali, ada dua pemenang dalam Hunger Games. Buku kedua yang berjudul Catching Fire menceritakan beberapa bulan setelah Katniss dan Peeta memenangkan The Hunger Games ke 74. Kemenangan mereka berdua dan lambang burung Mockingjay milik Katniss telah memicu munculnya pemberontakan di beberapa distrik. Untuk meredamnya, dengan licik Presiden Snow (Pemimpin Capitol) mengubah peraturan The Hunger Games. Peserta The Hunger Games yang ke-75 atau yang lebih dikenal dengan Quarter Quell diambil dari pemenang-pemenang Hunger Games sebelumnya. Dengan kata lain, Katniss dan Peeta harus kembali lagi ke arena. Banyak tokoh-tokoh baru yang muncul dalam seri kedua ini seperti Joanna, Finnick, Beete, Mags, Annie, dll. Buku terakhir yang berjudul Mockingjay menceritakan kemunculan distrik 13, yang awalnya dianggap telah hancur ternyata masih bertahan dan bertahun-tahun membangun kekuatan bawah tanah untuk melawan Capitol. Gerakan pemberontakan semakin bergaung di setiap distrik diikuti jatuhnya kekuasaan Presiden Snow dan menjadi pertanda berakhirnya The Hunger Games. Banyak kejutan yang ditemukan di sini, salah satunya adalah hubungan antara Capitol dengan distrik 13.
Lewat buku ini, Suzanne Collins sepertinya menumpahkan kemarahannya akan tayangan reality show serta sorotan terhadap perang, kediktatoran dan penggulingan rezim dengan revolusi. Saya ngeri membayangkan jika saja game tersebut benar-benar ada suatu saat nanti. Saat dimana kau menjadi pion yang diharuskan membunuh jika tidak ingin terbunuh. Sementara di luar arena, orang-orang menontonmu bertahan hidup dan menganggapnya sebagai hiburan. Menurutku, inilah bagian yang menarik dari trilogi The Hunger Games. Seperti selalu, di antara ketiga serinya, saya paling suka buku terakhir. Untuk para tokoh, saya paling suka Peeta. Andai saja Katniss tidak diceritakan melalui sudut pandang orang pertama, saya mungkin lebih menyukainya. Tindakannya menggantikan Prim sebenarnya sudah cukup untuk membuat siapapun yakin bahwa dia adalah kakak yang baik. Meski sekuat apapun ia berusaha, pada akhirnya ia tetap tidak bisa menyelamatkan adiknya.
Tetapi karena menggunakan sudut pandang orang pertama, saya jadi terlalu sering melihat pergulatan batin dan sisi gelap yang muncul saat Katniss berjuang bertahan hidup. Sehingga benarlah kata-kata Haymitch pada Katniss bahwa ribuan kali pun ia berusaha, ia takkan pernah pantas untuk Peeta. Peeta yang tak pernah ragu melindungi Katniss, Peeta yang rela menggantikan Haymitch di Quartel Quell untuk menjaga Katniss bahkan ia sampai disiksa di Capitol yang kemudian mempengaruhi mentalnya. Dalam hal apapun, meski hanya sebagai pion, keselamatan Katniss selalu diutamakan karena ia adalah Mockingjay, lambang pemberontakan. Ending-nya juga tak bisa sebut happily ever after karena baik Katniss maupun Peeta bahkan Haymitch dan pemenang lainnya tak ada yang benar-benar pulih setelah Hunger Games. Game itu telah menjadi semacam jalan bagi siapapun untuk kehilangan dirinya demi bertahan hidup.
Untuk filmnya, bagian yang paling menyentuh sisi kemanusiaan adalah ketika semua peserta berlari menuju Carnucopia setelah gong dibunyikan. Saat itu ada seorang anak laki-laki berumur 12 tahun tewas disabet pedang Cato. Bagian ini benar-benar membuat saya shock. Manusia macam apa yang membuat permainan dengan melepas anak 12 tahun ke arena untuk dibunuh dengan keji, sementara ayah ibunya hanya menyaksikan kematian anaknya lewat TV tanpa bisa berbuat apa-apa. Semoga hanya Presiden Snow yang bisa segila itu. Terakhir, jika orang-orang kota di masa depan seperti yang digambarkan dalam The Hunger Games, maka fashion-nya benar-benar sesuatu. Operasi plastik, tatto di wajah dan tabrakan warna akan menjadi sangat lumrah. Jadi tidak sabar menanti live action lanjutannya.
Saya paling suka jenis novel yang berlatar sejarah, fiksi sains dan dunia fantasi. Tiga hal yang tidak pernah bertemu satu sama lain, masa lalu, masa depan dan utopia. Mungkin ini juga yang menyebabkan saya sulit ‘keluar’ dari buku di penghujung cerita. Walau begitu, pesan-pesan yang terkandung di dalamnya sering ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Dalam novel Samurai misalnya, Matsuoka-sensei memberi peringatan bahwa dalam setiap kepemimpinan, kesetiaan selalu menemui konflik, bahkan untuk orang yang paling loyal sekalipun.
The Hunger Games merupakan novel trilogi fiksi sains yang ditulis oleh Suzanne Collins. Ketertarikan membaca novel ini muncul setelah iseng menonton filmnya. Ada banyak film yang menjadikan game maut sebagai tema cerita seperti Battle Royal (yang tak sanggup saya selesaikan). Setelah menonton, saya langsung mencari ketiga bukunya. Di antara sekian banyak buku yang pernah diterbitkan, ada buku yang dibaca dan lewat begitu saja tanpa kesan berarti. Dan ada pula beberapa buku yang mampu membuat merenung dan sering mempengaruhi beberapa hal termasuk sudut pandang selama ini telah lazim saya anut. The Hunger Games adalah jenis yang kedua.
Puluhan tahun sebelum The Hunger Games pertama kali diadakan, terjadi pemberotakan terhadap Capitol yang dilakukan oleh 13 distrik di Panem, sebuah negara yang terbentuk dari sisa-sisa Amerika Utara. Pemberontakan tersebut berhasil dipadamkan dan berakhir dengan membumihanguskan distrik 13, sehingga tersisa 12 distrik. Setelah itu dibuatlah The Hunger Games sebagai peringatan sekaligus ancaman terhadap kedua belas distrik agar tidak mengulangi pemberontakan atau nasib mereka akan sama dengan distrik 13. The Hunger Games dilaksanakan setiap tahun dan dijadikan hiburan bagi penduduk Capitol, semacam reality show yang ditayangkan di TV. Semua laki-laki dan perempuan yang berusia 12-18 tahun akan dipilih secara acak di Hari Pemungutan. Hari pemungutan merupakan hari dimana peserta yang terpilih akan mengucapkan salam perpisahan karena kemungkinan yang kembali tinggal mayatnya. Setelah hari pemungutan, terkumpullah 24 peserta dari 12 distrik yang harus bertarung sampai mati sehingga hanya tersisa satu pemenang.
Katniss Everdeen adalah seorang gadis berumur 16 tahun yang tinggal di distrik 12, sebuah distrik penambang batu bara. Ayahnya meninggal karena ledakan yang terjadi di tambang saat ia belum berumur 12 tahun. Kematian ayahnya membuat ibu Katniss trauma sehingga Katniss terpaksa menjadi tulang punggung menghidupi keluarganya. Katniss mempunyai adik perempuan bernama Primrose Everdeen, yang lebih sering dipanggil Prim. Karena miskin dan harus memberi makan keluarga, Katniss terbiasa berburu di hutan. Ia ahli menggunakan panah dan memasang jerat. Katniss mempunyai sahabat sekaligus teman berburu bernama Gale. The Hunger Games ke-74 merupakan tahun pertama nama Prim masuk dalam daftar. Setelah diacak, ternyata nama Prim yang terpilih. Katniss kemudian mengajukan diri menggantikan adiknya.
Sementara peserta laki-laki yang terpilih adalah Peeta Mellark, ia seusia dengan Katniss dan mempunyai kemampuan dalam hal kamuflase. Sehari-harinya, Peeta bekerja menghias kue di toko roti milik ayahnya. Katniss dan Peeta kemudian dibawa ke Capitol. Setiap pasangan memiliki mentor yang diambil dari pemenang Hunger Games sebelumnya dari distrik masing-masing. Mentor mereka bernama Haymitch, pemenang Hunger Games ke-50 saat ia masih berusia 16 tahun. Di Capitol mereka melakukan serangkaian persiapan dan latihan serta berbagai wawancara untuk menarik dukungan para sponsor. Bantuan dari para sponsor sangat menentukan nasib para peserta di arena nanti.
Buku pertama menceritakan perjuangan Katniss dan Peeta bertahan hidup di arena dan akhirnya membuat sejarah baru, yaitu untuk pertama kali, ada dua pemenang dalam Hunger Games. Buku kedua yang berjudul Catching Fire menceritakan beberapa bulan setelah Katniss dan Peeta memenangkan The Hunger Games ke 74. Kemenangan mereka berdua dan lambang burung Mockingjay milik Katniss telah memicu munculnya pemberontakan di beberapa distrik. Untuk meredamnya, dengan licik Presiden Snow (Pemimpin Capitol) mengubah peraturan The Hunger Games. Peserta The Hunger Games yang ke-75 atau yang lebih dikenal dengan Quarter Quell diambil dari pemenang-pemenang Hunger Games sebelumnya. Dengan kata lain, Katniss dan Peeta harus kembali lagi ke arena. Banyak tokoh-tokoh baru yang muncul dalam seri kedua ini seperti Joanna, Finnick, Beete, Mags, Annie, dll. Buku terakhir yang berjudul Mockingjay menceritakan kemunculan distrik 13, yang awalnya dianggap telah hancur ternyata masih bertahan dan bertahun-tahun membangun kekuatan bawah tanah untuk melawan Capitol. Gerakan pemberontakan semakin bergaung di setiap distrik diikuti jatuhnya kekuasaan Presiden Snow dan menjadi pertanda berakhirnya The Hunger Games. Banyak kejutan yang ditemukan di sini, salah satunya adalah hubungan antara Capitol dengan distrik 13.
Lewat buku ini, Suzanne Collins sepertinya menumpahkan kemarahannya akan tayangan reality show serta sorotan terhadap perang, kediktatoran dan penggulingan rezim dengan revolusi. Saya ngeri membayangkan jika saja game tersebut benar-benar ada suatu saat nanti. Saat dimana kau menjadi pion yang diharuskan membunuh jika tidak ingin terbunuh. Sementara di luar arena, orang-orang menontonmu bertahan hidup dan menganggapnya sebagai hiburan. Menurutku, inilah bagian yang menarik dari trilogi The Hunger Games. Seperti selalu, di antara ketiga serinya, saya paling suka buku terakhir. Untuk para tokoh, saya paling suka Peeta. Andai saja Katniss tidak diceritakan melalui sudut pandang orang pertama, saya mungkin lebih menyukainya. Tindakannya menggantikan Prim sebenarnya sudah cukup untuk membuat siapapun yakin bahwa dia adalah kakak yang baik. Meski sekuat apapun ia berusaha, pada akhirnya ia tetap tidak bisa menyelamatkan adiknya.
Tetapi karena menggunakan sudut pandang orang pertama, saya jadi terlalu sering melihat pergulatan batin dan sisi gelap yang muncul saat Katniss berjuang bertahan hidup. Sehingga benarlah kata-kata Haymitch pada Katniss bahwa ribuan kali pun ia berusaha, ia takkan pernah pantas untuk Peeta. Peeta yang tak pernah ragu melindungi Katniss, Peeta yang rela menggantikan Haymitch di Quartel Quell untuk menjaga Katniss bahkan ia sampai disiksa di Capitol yang kemudian mempengaruhi mentalnya. Dalam hal apapun, meski hanya sebagai pion, keselamatan Katniss selalu diutamakan karena ia adalah Mockingjay, lambang pemberontakan. Ending-nya juga tak bisa sebut happily ever after karena baik Katniss maupun Peeta bahkan Haymitch dan pemenang lainnya tak ada yang benar-benar pulih setelah Hunger Games. Game itu telah menjadi semacam jalan bagi siapapun untuk kehilangan dirinya demi bertahan hidup.
Untuk filmnya, bagian yang paling menyentuh sisi kemanusiaan adalah ketika semua peserta berlari menuju Carnucopia setelah gong dibunyikan. Saat itu ada seorang anak laki-laki berumur 12 tahun tewas disabet pedang Cato. Bagian ini benar-benar membuat saya shock. Manusia macam apa yang membuat permainan dengan melepas anak 12 tahun ke arena untuk dibunuh dengan keji, sementara ayah ibunya hanya menyaksikan kematian anaknya lewat TV tanpa bisa berbuat apa-apa. Semoga hanya Presiden Snow yang bisa segila itu. Terakhir, jika orang-orang kota di masa depan seperti yang digambarkan dalam The Hunger Games, maka fashion-nya benar-benar sesuatu. Operasi plastik, tatto di wajah dan tabrakan warna akan menjadi sangat lumrah. Jadi tidak sabar menanti live action lanjutannya.