Setiap kali merombak kamar, tiap kali pula saya heran
bahwa ada sejumlah benda yang tak jelas kegunaannya, yang masih terus saya
simpan. Dan benda-benda ini sudah bertahun-tahun bersama saya. Ada yang sejak
masih menjadi mahasiswa baru, ada yang sejak masih ikut bimbingan belajar,
sejak SMA bahkan ada yang sejak kelas 1 SMP. Setiap kali pindah rumah kos, saya
selalu membawanya. Tak berniat membuangnya. Dan saya juga tidak tahu mengapa.
Ngomong-ngomong, dulu ayah pernah punya peti kayu besar
yang cukup menampung dua orang dewasa di dalamnya. Peti itu berisi benda-benda
sejarah yang menyertai perjalanan hidup ayah sejak masih muda. Peti itu ditaruh
di teras rumah panggung nenek. Teras ini jarang diinjak manusia karena seluruh
aktivitas berlangsung di lantai satu. Saya selalu penasaran dengan isi peti
yang tergembok itu. Sering terlintas dalam pikiran anak-anak saya bahwa ada
peta harta karun di dalamnya. Dan harta karun tersebut tersembunyi di bawah
tanah halaman rumah nenek. Saya lalu merengek pada ayah agar diizinkan menengok
isi peti miliknya. Awalnya ayah menolak, tapi setelah saya berjanji tidak akan
merusak seinchi pun barang-barang di dalamnya, akhirnya ayah mengizinkan.
Pertama kali tutup peti itu terbuka, di kepala saya
sudah terbayang gulungan peta, kompas dan jam pasir. Tapi ternyata isinya jauh
dari yang saya bayangkan. Kebanyakan isinya adalah buku-buku yang masih memakai
edjaan tempoe doeloe. Berwarna kuning tua dan beraroma lapuk. Beberapa di
antaranya bahkan masih memakai benang sebagai perekat lembar kertas. Sisanya
berupa foto-foto hitam putih, surat keputusan, ijazah, belasan map, peluit, baju
pramuka, piagam, raket dan bola bulu tangkis serta yang paling penting adalah
sisir kecil. Ah ya, ayah adalah tipikal laki-laki zaman dulu yang gemar
menyelipkan sisir kecil di saku belakang celananya dan masih membawa sapu
tangan ke mana-mana. Tren yang sepertinya sudah punah saat ini.
Benda-benda ini seakan berubah menjadi layar yang memutar
kehidupan ayah di masa muda. Kadang saya tertawa sendiri mengingat foto
ayah yang memakai celana model bell bottom pants (tren yang populer di era
1960-an) dan berpose di bawah pohon, di atas motor vespa atau berdiri di
sampaing air terjun. Yang paling khas dari foto-foto ayah adalah alas kakinya
yang tetap eksis hingga kini, sandal jepit Swallow.
Sejak saat itu, saya rajin mengunjungi si peti dan
melahap buku cerita rakyat edjaan tempoe doeloe milik ayah. Setelah tahun demi
tahun berlalu, saat akan pindah rumah, ayah membuang sebagian harta karunnya. Bahkan
peti kayu itu tak terlacak jejaknya. Saya juga tak pernah menanyakan perihal
benda itu pada ayah.
Dan kini, saat membuka kotak penyimpanan, saya bisa
menemukan kumpulan buku tulis, setumpuk kertas penuh coretan, beberapa lembar
foto, kaset pita berisi rekaman suara, dompet, gantungan kunci, gelang, walkman
yang sudah rusak, sampai tutup flashdisk yang entah tubuhnya hilang di mana. Tetiba
saja benda-benda ini berubah menjadi layar lebar yang memutar berbagai
peristiwa. Peristiwa pada suatu masa dan pada orang-orang tertentu.
Kadang
saya berpikir bahwa mungkin benda-benda yang sengaja kita simpan, yang oleh
mata orang lain tak lebih dari barang rusak, bisa sedikit menggambarkan apa
yang tanpa disadari masih terikat di kepala dan hati seseorang. Dan tentu yang
ingin diikat itu adalah hal yang menyenangkan. Sementara pada yang menyakitkan,
kita lebih memilih melupakan. Namun, tak jarang pula bahwa meski yang dikenang
itu menyenangkan, tapi kita tak lagi berharap hal itu kembali. Setidaknya saya
merasa begitu. Jadi akhirnya saya memutuskan membuang sebagian benda-benda ini.
Tidak hanya pada bendanya saja, tapi potret peristiwa yang melatarinya,
yang masih tertinggal di kepala dan hati, sepertinya mulai harus dibenahi. Yah,
walau tak semudah melempar kaleng minuman ke keranjang sampah, setidaknya saya
sedang berusaha.