07 May 2013

Membenahi Kotak Penyimpanan

Setiap kali merombak kamar, tiap kali pula saya heran bahwa ada sejumlah benda yang tak jelas kegunaannya, yang masih terus saya simpan. Dan benda-benda ini sudah bertahun-tahun bersama saya. Ada yang sejak masih menjadi mahasiswa baru, ada yang sejak masih ikut bimbingan belajar, sejak SMA bahkan ada yang sejak kelas 1 SMP. Setiap kali pindah rumah kos, saya selalu membawanya. Tak berniat membuangnya. Dan saya juga tidak tahu mengapa. 
 

Ngomong-ngomong, dulu ayah pernah punya peti kayu besar yang cukup menampung dua orang dewasa di dalamnya. Peti itu berisi benda-benda sejarah yang menyertai perjalanan hidup ayah sejak masih muda. Peti itu ditaruh di teras rumah panggung nenek. Teras ini jarang diinjak manusia karena seluruh aktivitas berlangsung di lantai satu. Saya selalu penasaran dengan isi peti yang tergembok itu. Sering terlintas dalam pikiran anak-anak saya bahwa ada peta harta karun di dalamnya. Dan harta karun tersebut tersembunyi di bawah tanah halaman rumah nenek. Saya lalu merengek pada ayah agar diizinkan menengok isi peti miliknya. Awalnya ayah menolak, tapi setelah saya berjanji tidak akan merusak seinchi pun barang-barang di dalamnya, akhirnya ayah mengizinkan. 

Pertama kali tutup peti itu terbuka, di kepala saya sudah terbayang gulungan peta, kompas dan jam pasir. Tapi ternyata isinya jauh dari yang saya bayangkan. Kebanyakan isinya adalah buku-buku yang masih memakai edjaan tempoe doeloe. Berwarna kuning tua dan beraroma lapuk. Beberapa di antaranya bahkan masih memakai benang sebagai perekat lembar kertas. Sisanya berupa foto-foto hitam putih, surat keputusan, ijazah, belasan map, peluit, baju pramuka, piagam, raket dan bola bulu tangkis serta yang paling penting adalah sisir kecil. Ah ya, ayah adalah tipikal laki-laki zaman dulu yang gemar menyelipkan sisir kecil di saku belakang celananya dan masih membawa sapu tangan ke mana-mana. Tren yang sepertinya sudah punah saat ini. 

Benda-benda ini seakan berubah menjadi layar yang memutar kehidupan ayah di masa muda. Kadang saya tertawa sendiri mengingat foto ayah yang memakai celana model bell bottom pants (tren yang populer di era 1960-an) dan berpose di bawah pohon, di atas motor vespa atau berdiri di sampaing air terjun. Yang paling khas dari foto-foto ayah adalah alas kakinya yang tetap eksis hingga kini, sandal jepit Swallow. 

Sejak saat itu, saya rajin mengunjungi si peti dan melahap buku cerita rakyat edjaan tempoe doeloe milik ayah. Setelah tahun demi tahun berlalu, saat akan pindah rumah, ayah membuang sebagian harta karunnya. Bahkan peti kayu itu tak terlacak jejaknya. Saya juga tak pernah menanyakan perihal benda itu pada ayah. 

Dan kini, saat membuka kotak penyimpanan, saya bisa menemukan kumpulan buku tulis, setumpuk kertas penuh coretan, beberapa lembar foto, kaset pita berisi rekaman suara, dompet, gantungan kunci, gelang, walkman yang sudah rusak, sampai tutup flashdisk yang entah tubuhnya hilang di mana. Tetiba saja benda-benda ini berubah menjadi layar lebar yang memutar berbagai peristiwa. Peristiwa pada suatu masa dan pada orang-orang tertentu. 

Kadang saya berpikir bahwa mungkin benda-benda yang sengaja kita simpan, yang oleh mata orang lain tak lebih dari barang rusak, bisa sedikit menggambarkan apa yang tanpa disadari masih terikat di kepala dan hati seseorang. Dan tentu yang ingin diikat itu adalah hal yang menyenangkan. Sementara pada yang menyakitkan, kita lebih memilih melupakan. Namun, tak jarang pula bahwa meski yang dikenang itu menyenangkan, tapi kita tak lagi berharap hal itu kembali. Setidaknya saya merasa begitu. Jadi akhirnya saya memutuskan membuang sebagian benda-benda ini. Tidak hanya pada bendanya saja, tapi potret peristiwa yang melatarinya, yang masih tertinggal di kepala dan hati, sepertinya mulai harus dibenahi. Yah, walau tak semudah melempar kaleng minuman ke keranjang sampah, setidaknya saya sedang berusaha.
 
;