Jika ilmu diikat dengan tulisan,
maka barangkali kenangan bisa diikat dengan gambar. Cobalah buka laptop teman,
nyaris setengah dari bobot filenya berisi foto-foto. Jumlahnya pun tidak
main-main, bisa sampai ratusan foto dengan puluhan folder sesuai momen saat
foto tersebut diambil. Atau berkunjunglah ke rumah teman, begitu masuk di ruang
tamu, kita disambut oleh foto keluarga berukuran besar yang tergantung rapi di
dinding. Di sampingnya masih ada foto tiap anggota keluarga dengan ukuran yang
lebih kecil. Sebagai pelengkap, biasanya ada meja di sudut ruangan untuk menaruh
album mulai dari album pernikahan orangtua, foto saat ibu mengandung, foto sewaktu
mereka lahir, masa kecil, masa sekolah sampai foto kelulusan. Semuanya
terkumpul lengkap. Bila masuk lebih dalam ke kamar tidur, akan ditemui lagi
foto-foto para sahabat yang ditempel di cermin atau di atas meja belajar.
Pemandangan itu kadang memunculkan rasa iri di hati
saya. Bukan karena foto-foto yang digantung di ruang tamu atau di dalam kamar,
tapi lebih pada ketelatenan mereka mengikat dan mengumpulkan mozaik hidup. Katanya,
sebuah gambar lebih bermakna dari seribu kalimat. Tidak hanya itu, gambar juga menjadi
pengingat yang baik akan apa yang telah berlalu. Satu gambar bisa membangunkan
ratusan kenangan yang tertidur di kepala seseorang. Tapi Ayah dan Ibu bukan
orang yang rajin mengumpulkan momen-momen keluarga. Mereka lebih senang
menuangkan pengalaman lewat tulisan. Terlihat dari buku-buku agenda yang pernah
saya temukan dalam tumpukan kardus. Biar begitu saya tidak bisa membacanya.
Tulisan generasi dulu lebih antik dari tulisan dokter, sambung menyambung dan
memusingkan.
Karenanya banyak momen-momen penting hanya tersimpan
dalam memori. Itu pun masih perlu bantuan alam untuk benar-benar mengingatnya. Kadang
saya harus sakit dulu untuk mengingat beberapa fragmen. Semisal kebiasaan
tidur, sewaktu kecil saya tidak bisa tidur kalau tidak ditepuk-tepuk. Kebiasaan
itu mulai berhenti sejak menginjak kelas 5 SD. Nanti ketika sakit barulah
kebiasaan itu kembali. Begitu pula rangkulan dan usapan di kepala, hanya akan
kembali di momen-momen sakit. Usapan di kepala adalah hal yang dirindukan
setiap anak, tak peduli berapa pun umur sang anak. Ia dirindukan karena merupakan
momen langka. Makanya, ketika ada teman dengan nada bercanda mengusap-usap
kepala saya, barulah fragmen itu teringat kembali.
Kondisi dulu juga belumlah semaju saat ini, belum ada
ponsel yang bisa dipakai untuk memotret, belum ada kamera saku dan belum ada
aplikasi edit foto yang bisa membuat bibir berwarna orange (hehehe). Sebenarnya ada
banyak momen yang tertangkap kamera selama tinggal bersama nenek. Tapi sebagian
besar foto yang dikumpulkannya hilang saat renovasi rumah. Ada satu album mini
yang saya temukan dalam lemari nenek saat beliau meninggal dua tahun lalu. Diam-diam
saya mengambil dan menyimpannya sendiri. Karena tidak ada yang menjamin kalau
kembali lagi, album itu masih ada di sana.
Satu-satunya foto yang lengkap memuat ayah, ibu, saya
dan kedua adik saya hanya foto wisuda. Saya juga tidak terlalu nyaman dipotret.
Tapi kalau memotret, saya suka. Rasanya aneh saja menjadi sasaran bidikan. Pernah
suatu sore, di pusat perbelanjaan seorang fotografer mendekat dan meminta izin
memotret saya dengan seorang lainnya untuk keperluan berita. Tapi saya menolak
sambil bercanda kalau kameranya bisa meledak bila memotret saya.
Akhir-akhir ini saya mulai membiasakan diri memotret.
Tapi lebih suka memotret langit di teras belakang. Teras itu adalah tempat
paling bebas mengakses langit. Kalau sudah seharian kerja tugas di dalam kamar,
saya akan meluangkan waktu beberapa menit duduk di sana melihat matahari sore berpamitan.
Begitu pula di subuh hari saat menunggu antrian wudhu, teras itu menjadi tempat
strategis memandang rembulan terbenam. Sepertinya melihat langit saja, perasaan
jadi lapang.
Ini
menjadi kesenangan tersendiri bagi saya. Setiap orang melihat sesuatu dengan cara
yang berbeda-beda, tergantung apa yang pernah dialaminya. Matahari sore yang
saya lihat akan berbeda dengan yang orang lain lihat. Suara angin yang saya
dengar dan hawa dingin menjelang maghrib akan berbeda dengan kesan yang orang
lain rasakan. Begitu pula hujan, laut, jendela, malam, bau kertas, sampai wangi
parfum ruangan, mempunyai kesan tersendiri yang mungkin tidak akan dipahami
orang lain.