20 May 2013

Mengikat Kenangan



“Detik ini akan menjadi sejarah bagi detik berikutnya. Hari ini adalah sejarah bagi hari esok” 

Jika ilmu diikat dengan tulisan, maka barangkali kenangan bisa diikat dengan gambar. Cobalah buka laptop teman, nyaris setengah dari bobot filenya berisi foto-foto. Jumlahnya pun tidak main-main, bisa sampai ratusan foto dengan puluhan folder sesuai momen saat foto tersebut diambil. Atau berkunjunglah ke rumah teman, begitu masuk di ruang tamu, kita disambut oleh foto keluarga berukuran besar yang tergantung rapi di dinding. Di sampingnya masih ada foto tiap anggota keluarga dengan ukuran yang lebih kecil. Sebagai pelengkap, biasanya ada meja di sudut ruangan untuk menaruh album mulai dari album pernikahan orangtua, foto saat ibu mengandung, foto sewaktu mereka lahir, masa kecil, masa sekolah sampai foto kelulusan. Semuanya terkumpul lengkap. Bila masuk lebih dalam ke kamar tidur, akan ditemui lagi foto-foto para sahabat yang ditempel di cermin atau di atas meja belajar.

Pemandangan itu kadang memunculkan rasa iri di hati saya. Bukan karena foto-foto yang digantung di ruang tamu atau di dalam kamar, tapi lebih pada ketelatenan mereka mengikat dan mengumpulkan mozaik hidup. Katanya, sebuah gambar lebih bermakna dari seribu kalimat. Tidak hanya itu, gambar juga menjadi pengingat yang baik akan apa yang telah berlalu. Satu gambar bisa membangunkan ratusan kenangan yang tertidur di kepala seseorang. Tapi Ayah dan Ibu bukan orang yang rajin mengumpulkan momen-momen keluarga. Mereka lebih senang menuangkan pengalaman lewat tulisan. Terlihat dari buku-buku agenda yang pernah saya temukan dalam tumpukan kardus. Biar begitu saya tidak bisa membacanya. Tulisan generasi dulu lebih antik dari tulisan dokter, sambung menyambung dan memusingkan.

Karenanya banyak momen-momen penting hanya tersimpan dalam memori. Itu pun masih perlu bantuan alam untuk benar-benar mengingatnya. Kadang saya harus sakit dulu untuk mengingat beberapa fragmen. Semisal kebiasaan tidur, sewaktu kecil saya tidak bisa tidur kalau tidak ditepuk-tepuk. Kebiasaan itu mulai berhenti sejak menginjak kelas 5 SD. Nanti ketika sakit barulah kebiasaan itu kembali. Begitu pula rangkulan dan usapan di kepala, hanya akan kembali di momen-momen sakit. Usapan di kepala adalah hal yang dirindukan setiap anak, tak peduli berapa pun umur sang anak. Ia dirindukan karena merupakan momen langka. Makanya, ketika ada teman dengan nada bercanda mengusap-usap kepala saya, barulah fragmen itu teringat kembali.

Kondisi dulu juga belumlah semaju saat ini, belum ada ponsel yang bisa dipakai untuk memotret, belum ada kamera saku dan belum ada aplikasi edit foto yang bisa membuat bibir berwarna orange (hehehe). Sebenarnya ada banyak momen yang tertangkap kamera selama tinggal bersama nenek. Tapi sebagian besar foto yang dikumpulkannya hilang saat renovasi rumah. Ada satu album mini yang saya temukan dalam lemari nenek saat beliau meninggal dua tahun lalu. Diam-diam saya mengambil dan menyimpannya sendiri. Karena tidak ada yang menjamin kalau kembali lagi, album itu masih ada di sana.

Satu-satunya foto yang lengkap memuat ayah, ibu, saya dan kedua adik saya hanya foto wisuda. Saya juga tidak terlalu nyaman dipotret. Tapi kalau memotret, saya suka. Rasanya aneh saja menjadi sasaran bidikan. Pernah suatu sore, di pusat perbelanjaan seorang fotografer mendekat dan meminta izin memotret saya dengan seorang lainnya untuk keperluan berita. Tapi saya menolak sambil bercanda kalau kameranya bisa meledak bila memotret saya.

Akhir-akhir ini saya mulai membiasakan diri memotret. Tapi lebih suka memotret langit di teras belakang. Teras itu adalah tempat paling bebas mengakses langit. Kalau sudah seharian kerja tugas di dalam kamar, saya akan meluangkan waktu beberapa menit duduk di sana melihat matahari sore berpamitan. Begitu pula di subuh hari saat menunggu antrian wudhu, teras itu menjadi tempat strategis memandang rembulan terbenam. Sepertinya melihat langit saja, perasaan jadi lapang. 


Ini menjadi kesenangan tersendiri bagi saya. Setiap orang melihat sesuatu dengan cara yang berbeda-beda, tergantung apa yang pernah dialaminya. Matahari sore yang saya lihat akan berbeda dengan yang orang lain lihat. Suara angin yang saya dengar dan hawa dingin menjelang maghrib akan berbeda dengan kesan yang orang lain rasakan. Begitu pula hujan, laut, jendela, malam, bau kertas, sampai wangi parfum ruangan, mempunyai kesan tersendiri yang mungkin tidak akan dipahami orang lain.
 
;