Satu keteladanan lebih bermakna dibanding ribuan kata
Sepasang sepatu boot berwarna hijau lumut bertengger di sisi kiri
pintu sebuah masjid. Letak sepatu itu agak terpisah, sekitar dua jengkal
dari barisan sandal lain yang berjejer tak rapi. Dari segi penampilan,
sepatu boot itu adalah produk massal yang dibuat untuk para pekerja
pertanian. Tapi pemiliknya bukanlah seorang petani. Ia seorang lelaki
sepuh yang mengandalkan tongkat dan indera peraba sebagai pengganti
kedua matanya. Matanya telah memutih sejak puluhan tahun silam. Tapi
sosoknya mempunyai tempat tersendiri di hati para jamaah lain.
Untuk mencapai masjid, setiap lima waktu sehari kakek itu harus
melewati lorong sempit di depan rumahnya. Sampai di ujung lorong, beliau
masih perlu menyeberangi jalan ke tempat di mana masjid tersebut
berdiri. Kakek itu bisa melakukannya sendiri. Namun, bila sudah berada
di tepi jalan, siapapun yang melihat -entah anak-anak, remaja nongkrong,
atau orang dewasa- seperti sudah dikomando, akan menghampiri sang
kakek, mengangkat tongkatnya dan menuntunnya sampai depan pintu masjid.
Di depan pintu masjid, sang kakek akan melepas sepatu boot hijau
lumutnya, menyadarkan tongkatnya ke tiang dan berjalan meraba jendela
menuju shaf paling depan. Kakek itu bisa melakukannya sendiri. Namun,
jamaah yang sudah lebih dahulu ada di dalam masjid -entah anak-anak,
remaja masjid, atau orang dewasa- seperti sudah dikomando, akan
menghampiri sang kakek, memegang tangan beliau lalu menuntunnya menuju
shaf pertama paling pinggir kanan.
Lima waktu sehari, selama puluhan tahun, tak peduli hujan deras atau
sengatan matahari, berbekal sepatu boot, tongkat dan semangat, kakek itu
menjaga shalat jamaahnya di masjid. Pun, selama lima waktu sehari, baik
anak-anak, remaja hingga orang dewasa di kompleks itu setia bergantian
menuntun sang kakek menuju masjid. Kau bisa mendapati kumpulan anak-anak
yang sedang asyik bermain di tepi jalan akan jeda sejenak ketika
melihat kakek itu muncul di ujung lorong. Salah seorang dari mereka akan
menghampiri sang kakek dan menuntunnya menuju masjid. Setelah itu ia
kembali bermain bersama kawanannya. Atau di sore hari menjelang maghrib,
kau bisa mendapati remaja yang sedang khusyuk makan bakso akan
meletakkan mangkuknya begitu melihat kakek tersebut muncul di ujung
lorong. Dia baru melanjutkan kembali makannya setelah menuntun sang
kakek masuk ke masjid.
Begitu seterusnya, selama bertahun-tahun. Sejak mereka masih
anak-anak yang baru belajar mengeja huruf hingga kuliah di kota besar.
Jika pulang kampung, rutinitas mereka menuntun sang kakek ke masjid tak
pernah berubah. Ketika Ramadhan tiba, setiap harinya kakek tersebut ikut
berbuka di masjid. Dengan piring plastik dan gelas besar miliknya,
beliau akan duduk bersandar di dekat tiang, berdzikir sambil menunggu
waktu berbuka.
Hingga suatu sore tepat hari ke sembilan Ramadhan, orang-orang
terlihat sibuk membangun tenda dan mengatur kursi plastik di depan rumah
beliau. Remaja laki-laki mengangkat meja dengan mata sembab. Beberapa
orang dewasa mengikat tenda sambil mengusap lendir hidung dengan kerah
baju. Tak jauh dari jejeran kursi dan tenda itu, matahari sore menyapu
selembar bendera putih yang berkibar tertiup angin laut.
Kakek itu kembali menghadap Penciptanya di usia 83 tahun. Beliau
meninggalkan pesan tak tertulis yang membekas di hati para jamaah lain
bahwa keterbatasan tidak menjadi penghalang bagi siapapun untuk
melaksanakan kewajiban. Beliau adalah teladan lima kali sehari bagi
mereka yang memiliki fisik yang kuat serta indera yang lengkap namun
masih berat melangkahkan kakinya menuju masjid.