Minal Aidin wal
faizin, mohon maaf lahir dan batin, rasanya tidak ada yang lebih popular dari kalimat
ini saat momen idul fitri datang hingga habisnya bulan Syawal. Ada yang menarik
untuk dikritisi dari kalimat ini. Tentang susunan kalimatnya, makna yang
terkandung di dalamnya, begitu pun tentang kebiasaan orang dalam melafalkan dan
menuliskannya. Dan termasuk asal usul kalimat ini, sekaligus hukum
melafalkannya sebagai ucapan saat datang idul fithri.
Tentang lafal dan tulisan, kita sering dapatkan ada beberapa versi ungkapan yang terpajang di spanduk, kartu lebaran dan media cetak, begitupun dalam pelafalan. Seperti; minal aidzin wal faizin, minal aizin wal faidzin, atau minal aizin wal faizin. Tak semua memahami asal dari kalimat tersebut, atau sekadar tulisannya dalam versi Arab juga jarang didapatkan. Yang ada biasanya versi tulisan latin dengan pilihan font yang seperti huruf arab. Sebagian lagi mendapatkan hanya dari mulut ke mulut, sehingga ada sisi kesalahan ucap secara bahasa. Supaya lebih jelas, jika ditransliterasikan ke dalam bahasa Indonesia sekurang-kurangnya berbunyi “Minal ‘aidin wal Faizin”.
Yang kedua, dari susunan kalimatnya. Dhahir kalimat tersebut sepertinya tidak menunjukkan sebagai jumlah mufiidah (kalimat sempurna) yang setidaknya memenuhi unsur Mubtada’ dan Khabar jika jumlah ismiyah (kalimat yang diawali dengan kata benda), atau fi’il dan fa’il jika berupa jumlah fi’liyah (kalimat yang diawali dengan kata kerja).
Mungkin benar apa yang dikatakan Qaris Tajudin dalam buku berjudul “Bahasa!” terbitan TEMPO. Di halaman 177 buku ini, Qaris Tajudin mengungkapkan bahwa memang frasa Minal Aidin Wal Faizin berasal dari bahasa Arab, bahasa yang banyak menyumbang istilah keagamaan di Indonesia, baik agama islam maupun Kristen.
Qaris mengatakan bahwa selain tidak dikenal dalam budaya Arab, frasa Minal Aidin Wal Faizin juga hanya dapat dimengerti oleh orang Indonesia. Frasa ini bisa ditemui dalam kamus bahasa Indonesia tapi tidak ditemukan dalam kamus bahasa Arab, kecuali dalam tema kata per kata.
Ungkapan tersebut seperti penggalan dari sebuah kalimat, atau ada yang tersembunyi di bagian awalnya. Mungkin dengan mengucapkan penggalan kalimat tersebut, yang diajak bicara sudah dianggap paham maksud dan arti secara keseluruhan. Dan sayangnya, kebanyakan kaum muslimin di Indonesia tidak banyak yang mengetahui penggalan awalnya. Karena memang baasa Arab bukan menjadi bahasa yang dipahami kebanyakan kita. Sekurang-kurangnya penggalan awal dari kalimat tersebut berbunyi :
"Ja’alanallahu wa iyyakum minal ‘aidin wal faizin"
Poin ketiga yang menarik untuk dikritisi adalah sisi makna. Dalam survey kecil-kecilan yang penulis lakukan, masyarakat mengartikan kalimat “minal ‘aidin wal faizin” dengan mohon maaf lahir dan batin”. Mungkin karena kedua kalimat itu sering disandingkan, maka banyak yang mengira keduanya bermakna sama. Padahal, antara keduanya memiliki makna yang jauh.
Adapun secara harafiah, makna penggalan kalimat tersebut adalah ‘min’ artinya dari (termasuk dari), ‘aidin artinya orang-orang yang kembali (kepada Allah), wa artinya dan, sedangkan al-faizin maknanya golongan orang-orang yang sukses atau memperoleh kemenangan.
Jika digabung dengan penggalan kalimat pertama, maka makna “Ja’alanallahu wa iyyakum minal ‘aidin wal faizin” adalah, “Semoga Allah menjadikan kami dan juga Anda termasuk golongan orang-orang yang kembali kepada Allah dan sukses (dalam mengisi Ramadhan).”
Jadi kalimat tersebut secara makna tidak ada kaitannya dengan saling meminta maaf dan memaafkan, tapi berupa ungkapan untuk saling mendoakan.
Ungkapan minal ‘aidin wal faizin sama sekali tidak dikenal di zaman salaf dan tak ada sama sekali riwayat dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang menyebutkan hal itu. Ungkapan tahniah (ucapan selamat) yang disebutkan atsarnya dari para shahabat adalah, “Taqabbalallahu minna wa minkum,” semoga Allah menerima amal kami dan juga amal kalian.
Dari Jubair bin
Nufair, ia berkata, “Dahulu para shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengucapkan “Taqabbalallahu minna wa minka” ketika saling bertemu
di hari Idul Fitri”. Al-Hafidz (Ibnu Hajar) berkata tentang riwayat ini,
“sanadnya hasan”. Syeikh al-Albani dalam Tamaamul Minnah mengomentari bahwa
sanad dari riwayat ini shahih.
Tentang ucapan selamat dengan versi yang lain, di antara ulama seperti Syeikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin membolehkan ucapan selamat dengan ungkapan ‘ied Mubarak dan semisalnya. Hanya saja, apa yang menjadi kebiasaan para shahabat tentu lebih baik. Wallahu a’lam
*Ditulis oleh Abu Umar Abdillah di salah satu edisi majalah ar-risalah terbitan tahun lalu
Tentang lafal dan tulisan, kita sering dapatkan ada beberapa versi ungkapan yang terpajang di spanduk, kartu lebaran dan media cetak, begitupun dalam pelafalan. Seperti; minal aidzin wal faizin, minal aizin wal faidzin, atau minal aizin wal faizin. Tak semua memahami asal dari kalimat tersebut, atau sekadar tulisannya dalam versi Arab juga jarang didapatkan. Yang ada biasanya versi tulisan latin dengan pilihan font yang seperti huruf arab. Sebagian lagi mendapatkan hanya dari mulut ke mulut, sehingga ada sisi kesalahan ucap secara bahasa. Supaya lebih jelas, jika ditransliterasikan ke dalam bahasa Indonesia sekurang-kurangnya berbunyi “Minal ‘aidin wal Faizin”.
Yang kedua, dari susunan kalimatnya. Dhahir kalimat tersebut sepertinya tidak menunjukkan sebagai jumlah mufiidah (kalimat sempurna) yang setidaknya memenuhi unsur Mubtada’ dan Khabar jika jumlah ismiyah (kalimat yang diawali dengan kata benda), atau fi’il dan fa’il jika berupa jumlah fi’liyah (kalimat yang diawali dengan kata kerja).
Mungkin benar apa yang dikatakan Qaris Tajudin dalam buku berjudul “Bahasa!” terbitan TEMPO. Di halaman 177 buku ini, Qaris Tajudin mengungkapkan bahwa memang frasa Minal Aidin Wal Faizin berasal dari bahasa Arab, bahasa yang banyak menyumbang istilah keagamaan di Indonesia, baik agama islam maupun Kristen.
Qaris mengatakan bahwa selain tidak dikenal dalam budaya Arab, frasa Minal Aidin Wal Faizin juga hanya dapat dimengerti oleh orang Indonesia. Frasa ini bisa ditemui dalam kamus bahasa Indonesia tapi tidak ditemukan dalam kamus bahasa Arab, kecuali dalam tema kata per kata.
Ungkapan tersebut seperti penggalan dari sebuah kalimat, atau ada yang tersembunyi di bagian awalnya. Mungkin dengan mengucapkan penggalan kalimat tersebut, yang diajak bicara sudah dianggap paham maksud dan arti secara keseluruhan. Dan sayangnya, kebanyakan kaum muslimin di Indonesia tidak banyak yang mengetahui penggalan awalnya. Karena memang baasa Arab bukan menjadi bahasa yang dipahami kebanyakan kita. Sekurang-kurangnya penggalan awal dari kalimat tersebut berbunyi :
"Ja’alanallahu wa iyyakum minal ‘aidin wal faizin"
Poin ketiga yang menarik untuk dikritisi adalah sisi makna. Dalam survey kecil-kecilan yang penulis lakukan, masyarakat mengartikan kalimat “minal ‘aidin wal faizin” dengan mohon maaf lahir dan batin”. Mungkin karena kedua kalimat itu sering disandingkan, maka banyak yang mengira keduanya bermakna sama. Padahal, antara keduanya memiliki makna yang jauh.
Adapun secara harafiah, makna penggalan kalimat tersebut adalah ‘min’ artinya dari (termasuk dari), ‘aidin artinya orang-orang yang kembali (kepada Allah), wa artinya dan, sedangkan al-faizin maknanya golongan orang-orang yang sukses atau memperoleh kemenangan.
Jika digabung dengan penggalan kalimat pertama, maka makna “Ja’alanallahu wa iyyakum minal ‘aidin wal faizin” adalah, “Semoga Allah menjadikan kami dan juga Anda termasuk golongan orang-orang yang kembali kepada Allah dan sukses (dalam mengisi Ramadhan).”
Jadi kalimat tersebut secara makna tidak ada kaitannya dengan saling meminta maaf dan memaafkan, tapi berupa ungkapan untuk saling mendoakan.
Ungkapan minal ‘aidin wal faizin sama sekali tidak dikenal di zaman salaf dan tak ada sama sekali riwayat dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang menyebutkan hal itu. Ungkapan tahniah (ucapan selamat) yang disebutkan atsarnya dari para shahabat adalah, “Taqabbalallahu minna wa minkum,” semoga Allah menerima amal kami dan juga amal kalian.
Tentang ucapan selamat dengan versi yang lain, di antara ulama seperti Syeikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin membolehkan ucapan selamat dengan ungkapan ‘ied Mubarak dan semisalnya. Hanya saja, apa yang menjadi kebiasaan para shahabat tentu lebih baik. Wallahu a’lam
*Ditulis oleh Abu Umar Abdillah di salah satu edisi majalah ar-risalah terbitan tahun lalu