Manusia melihat apa yang ingin dilihatnya. Manusia mendengar apa yang
ingin didengarnya. Begitulah bentuk pertahanan diri manusia
secara pikiran. Sebagai makhluk yang diciptakan sempurna dibanding jenis
lain, manusia didesain dengan kemampuan adaptasi yang tinggi. Manusia
tidak mungkin dilepas ke dunia tanpa diberi kemampuan apa-apa. Jellyfish
menghasilkan racun mematikan keluar dari tubuhnya untuk bertahan dari
musuh-musuhnya. Cecak akan memutuskan ekor jika berada dalam keadaan
bahaya. Daun-daun putri malu akan mengatup bila mendapat sentuhan.
Pada manusia, pertahanan diri bukan hanya dari segi fisik, tapi juga
melalui pikiran. Salah satu medianya adalah ketidaktahuan. “Pengetahuan
bisa menghambat. Ketidaktahuan justru membebaskan. Tahu kapan untuk
tahu dan kapan untuk tak tahu, sama pentingnya dengan pedang yang tajam”,
Kata Takashi Matsuoka dalam novel Samurai : Kastel Awan Burung Gereja.
Pengetahuan bisa menjadi pedang tajam yang mampu ‘membunuh’ seseorang.
Karena itulah dikatakan bahwa manusia hanya ingin mendengar apa yang
ingin ia dengar dan hanya melihat apa yang ingin dia lihat. Bila ia
melihat atau mendengar sesuatu yang tak sesuai dengan apa yang ia harap
lihat atau dengar, atau bila ia mengetahui realita yang ternyata tak
berpihak padanya, maka hal itu akan berakhir pada rasa sakit dan kecewa.
Dengan ketidaktahuan, ia akan terbebas dari luka. Ia mungkin akan baik-baik saja.
Ketidaktahuan membuat manusia pandai memanipulasi perasaan sekaligus
menjadikannya takut untuk bertanya. Takut pada jawaban yang tidak
seperti harapannya. Ia kemudian menciptakan ilusi yang telah ia tentukan
sendiri akhirnya. Tak jarang ia membentak bisikan hati yang mencoba
bersikap jujur. Ah, manusia, betapa kuat dan begitu rapuhnya mereka.