“Beraneka ragamnya jenis-jenis amal perbuatan,
disebabkan oleh beraneka ragamnya pengaruh yang menggerakkan hati”
~’Athailah as-Sukandari~
Setiap amalan dan perilaku manusia hakikatnya adalah cerminan isi hati
dan kepalanya. Keyakinan dan pandangan hidup seseorang ditentukan oleh bagaimana
ia menyerap dan menyaring ilmu serta pemahaman yang masuk. Input yang berbeda akan
menghasilkan output yang berbeda. Pemahaman yang berbeda membentuk keyakinan
yang berbeda pula. Keyakinan berbeda pada akhirnya melahirkan amalan yang juga berbeda.
Orang yang meninggalkan shalat karena menganggap shalat tidak wajib berbeda
dengan orang yang meninggalkan shalat karena keteteran atau terlambat bangun. Yang
terlambat bangun punya rasa bersalah di hatinya, berbeda dengan yang menganggap
tidak ada dosa meninggalkan shalat. Pun orang yang menghalalkan zina akan
berbeda amalannya dengan orang yang meyakini keharaman zina. Pemahaman yang
keliru ini semakin jelas mudharatnya bila dituangkan dalam bentuk kebijakan
seperti pada Pekan Kondom Nasional beberapa waktu lalu.
Tema yang berat, pikir saya sewaktu mengikuti bedah buku ini di Baruga
AP. Pettarani tahun 2008 lalu, masih setahun berlalu sejak pertama kali
mengenyam bangku kuliah. Cetakan buku ini kala itu telah mencapai cetakan
kesepuluh. Jadi memang terbilang sudah lama di dunia perbukuan. Tapi kesempatan
menulis tentang buku ini baru sekarang bisa saya lakukan. Semula saya pikir
buku ini hilang, ternyata hanya terselip di antara deretan buku lain.
Buku karya Drs. Muhammad Thalib ini cukup ringkas dengan tebal 172
halaman dan ukuran 12 x 20 cm. Materi-materi pokok di setiap bagian dipadatkan
sehingga pembahasan menjadi kaya karena langsung menembak sasaran dengan contoh
yang mudah dicerna. Sesuai dengan judulnya, buku ini ditujukan untuk melacak
dan membongkar (kedengarannya seperti detektif, ya) kekafiran berpikir yang
dilakukan kaum intelektual di kampus-kampus perguruan tinggi demi meluruskan
aqidah dan membersihkan pemahaman tauhid generasi muda muslimin.
Sedikitnya ada sebelas kerangka berpikir yang dikritisi oleh penulis yaitu
paham relativisme, paham zaman sebagai ukuran, manusia sebagai penguasa alam,
sikap sains, asumsi sebagai aqidah, budaya kilowatt, personifikasi dalam
sastra, positivisme, ideologi emansipasi, prinsip pragmatisme dan terakhir,
paham plurlisme agama.
Relativisme sebagai paham kenisbian. Teori Einstein terkait alam semesta
yang berprinsip bahwa gerak, ruang dan waktu adalah relatif. Lawannya adalah
kemutlakan. Mengapa ada orang yang teguh berpendapat bahwa kebenaran yang
ditemukan manusia bersifat relatif sehingga hakikatnya secara objektif tidak
ada ? Ada tiga hal yang perlu dipahami terlebih dahulu sebelum menjawab
pertanyaan ini. Pertama, apakah objek
permasalahan itu bersifat mutlak atau relatif ? Kedua, permasalahan tersebut harus dipandang dari sudut yang sama
dan dengan cara yang sama. Jika berbeda, maka tidak dapat dikatakan permasalahannya
relatif. Ketiga, dalam setiap
permasalahan harus dapat dibedakan apa yang disebut berlawanan, berlainan
dan berbeda.
Berlawanan seperti hidup dan mati, seseorang hanya bisa berada pada satu
sifat saja, hidup atau mati. Berlainan seperti kulit putih dan kulit hitam. Mustahil
ada dua wana kulit melekat pada satu orang. Berbeda seperti guru dan murid. Keduanya
bisa disandang oleh seseorang pada saat yang bersamaan. Dengan menganalisa hubungan
suatu masalah dengan masalah lain berdasarkan kaidah ini (berlawanan, berlainan
atau berbeda) akan diperoleh hasil “mutlak” dan “relatif”. Walaupun pada
dasarnya, setiap masalah punya nilai mutlak, selama ditetapkan dari sudut
pandang yang sama. Contoh sederhana, seseorang tdak mungkin dikatakan laki-laki
dan perempuan pada saat yang sama, atau muda dan tua pada saat yang sama. Contoh
lain, tindak pencurian. Selama dilihat dari segi larangan hukum, pencuri mutak salah.
Bila ada yang berpendapat pencuri tidak bersalah, berarti pendapatnya mutlak
salah, selama didasarkan pada larangan hukum. Pengecualian bagi pencuri hati (hohoho
#intermezzo).
Zaman sebagai ukuran kebenaran. Atas dasar apa manusia menjadikan zaman
sebagai ukuran sesuatu itu benar atau salah ? Zaman sendiri bersifat
netral-nilai, tidak punya kekuatan membentuk dirinya sendiri karena itu tidak
dapat dijadikan barometer dalam menetapkan salah atau benarnya suatu tindakan. Sifat
zaman yang netral membuatnya baik manakala manusia melakukan kebaikan dan buruk
bila manusia mengisinya dengan keburukan. Menjadikan zaman sebagai ukuran
secara sadar atau pun tidak telah menempatkan Allah sebagai Tuhan tanpa
kekuasaan apapun terhadap manusia dan alam semesta, seperti yang diucapkan
filsuf Yunani, Aristoteles bahwa “Tuhan telah menciptakan alam semesta ini
kemudian berhenti dan membiarkan alam ini berjalan menurut kehendaknya sendiri”.
Padahal Allah tidak hanya menciptakan tetapi juga memelihara ciptaan-Nya. Allah
adalah pemegang otoritas tertinggi terhadap makhluk-Nya. Oleh karena itu,
apapun yang dikerjakan manusia harus bersumber pada nilai bukan pada perubahan
zaman yang hakikatnya cerminan perilaku manusia itu sendiri.
Contoh, korupsi, suap dan sejenisnya yang telah menjadi budaya di zaman
ini tidaklah mengubah status tindakan tersebut dari salah menjadi benar meski
banyak yang melakukannya. Contoh lain mengenai pembagian hukum waris laki-laki
dan perempuan 2 : 1 memang telah diatur dalam Al Qur’an dan sampai kapan pun
tidak akan berubah. Hukum tersebut dibuat bukan karena wanita zaman dulu tidak
mengambil peran ekonomi aktif sehingga saat ini bisa diubah seenaknya dengan
alasan kehendak zaman. Begitu pula aturan pakaian wanita, pergaulan pria dan
wanita, transaksi hutang piutang dan berbagai aturan lainnya. Adapun masalah
kemajuan teknologi yang merupakan tingkat berpikir manusia dalam mengolah alam,
maka islam tidak pernah membatasi apalagi melarangnya. Yang menjadi masalah
adalah kemampuan manusia dalam teknologi tidak boleh mengubah harkat dan esensi
manusia dari fitrahnya dengan mengabaikan ajaran Allah.
Kerangka berpikir manusia sebagai penguasa alam juga berangsur-angsur
akan menggeser konsep ketuhanan. Kemampuan manusia dalam sains dan teknologi menempatkan
mereka sebagai sosok superioritas terhadap alam dan lingkungan. Padahal hakikatnya
mereka hanya sampai pada taraf mengelola alam, bukan penguasa atau penakluk. Sains
telah menggantungkan sembuh tidaknya seorang pasien kepada alat medis, bukan
pada kehendak Allah. Modernisasi sains inilah yang mendorong orang semacam
Nietzsche memproklamirkan bahwa Tuhan telah mati yang juga merupakan bukti adanya
kekafiran dalam pemikiran sains.
Demikianlah
tiga contoh dari sebelas kerangka berpikir yang dikupas dalam buku ini. Semoga yang
sedikit ini bisa bermanfaat, paling tidak memancing ketertarikan untuk membaca.
Jangan alergi dengan sebaris judul yang terdengar berat, insya Allah bermanfaat.
Selamat membaca.