“Sebaliknya bagi kita yang masih hidup,
setiap tahun, setiap bulan, setiap hari, umur akan terus bertambah. Terkadang
aku bahkan merasa bahwa umurku terus bertambah setiap jam. Yang menakutkan adalah
bahwa hal itu memang demikian adanya.”
~Haruki Murakami, Kaze No Uta O Kike~
Derek Heartfield, salah satu pengarang yang sezaman dengan Hemingway dan Fitzgerald, katanya hanya menyukai tiga hal. Senapan, kucing, dan kue yang dipanggang ibunya. Kesukaannya pada senjata menjadikannya kolektor yang nyaris sempurna di seluruh Amerika. Dari sejumlah senjata miliknya, yang paling dia banggakan adalah revolver 38 mm, yang gagangnya berhiaskan mutiara. Dia sering berkata bahwa suatu saat nanti akan menembak dirinya sendiri dengan benda itu. Tapi kemudian Heartfield memilih mati dengan cara lain. Ketika ibunya meninggal, dia naik ke puncak Empire State Building dan meloncat sambil memeluk lukisan Hitler di tangan kanan dan payung terbuka di tangan kirinya. Saya tidak tahu apa-apa tentang Heartfield. Dan tidak pernah membaca satu pun karangannya yang dipenuhi makhluk fantasi dari planet Mars itu. Murakami-lah yang memberitahu saya semua informasi tadi.
Kematian, adalah tema yang paling jarang dibicarakan. Kita lebih memilih mengalihkan atau menghindari pembicaraan semacam itu. Tapi di kepala saya sudah lama muncul gagasan ini : mati muda. Sejak kecil, mungkin SD atau SMP, dengan segala keterbatasan pemahaman, selalu kepikiran bahwa sepertinya saya akan cepat mati. Tidak seperti nenek yang meninggal di usia renta 70 atau 80 tahun, saya merasa akan lebih cepat dari itu. Tak tahu juga kenapa begitu. Saya hidup sebagaimana layaknya anak-anak biasa, belajar di sekolah dan bermain di luar rumah. Tapi pikiran tentang mati muda sering muncul di sela-sela waktu itu. Muncul begitu saja. Saya jadi sering menegur diri, kamu anak sekolahan, kenapa memikirkan hal seberat itu. Tapi hingga kini pun, pikiran itu tak pernah hilang.
Suatu waktu saya berbincang dengan teman tentang bunuh diri. Teman saya berkata bahwa apapun alasannya, menghilangkan nyawa yang hanya satu-satunya adalah kenaifan. “Sayangnya”, dia melanjutkan, “Aku pun pernah berpikir senaif itu.” Jika Heartfield punya segudang koleksi senjata yang bisa kapan saja dia pakai untuk menembak dirinya, maka di dalam rumah ada berbagai macam benda semisal silet, pisau, gunting, tali jemuran atau cairan pembersih. Seorang teman dengan wajah datar pernah memamerkan bekas sayatan di pergelangan tangannya. Tapi saya tidak memikirkan tindakan semacam itu. Saya haya merasa bahwa waktu untuk pergi akan tiba lebih cepat. Entah dengan cara apa.
Anak-anak dianugerahi rasa ingin tahu yang besar, dan kadang kelewat liar. Ingin tahu rasanya hujan-hujanan, ingin tahu rasanya panjat pohon, ingin tahu rasanya mahir naik sepeda dan juga, ingin tahu seperti apa rasa sakit itu. Sewaktu kecil, saya pernah memasukkan biji jangung ke dalam hidung, menghirupnya kuat-kuat hingga tersangkut dan menutup aliran udara. Ketika mulai kesulitan bernapas, saya tergopoh-gopoh mendatangi ibu yang saat itu sedang menanak nasi. Sendok nasi yang dipegang ibu jatuh ke lantai. Berikutnya yang saya ingat, ibu berlari menggendong saya ke rumah dokter yang jaraknya ratusan meter dari rumah. Bodohnya, saya mengulang kasus yang sama di lain waktu.
Saya juga pernah menyayat jempol tangan kiri. Saat itu sedang penasaran dengan benda bernama silet. Begitu kecil dan tipis. Ketipisannya mampu memotong kuku jari yang keras dan panjang. Saya tidak berpikir apa-apa ketika tahu-tahu sudah mulai menyayat dari ujung jempol lurus ke bawah hingga garis tengah. Ada rasa menyengat di sepanjang kulit yang tersayat. Awalnya hanya berupa garis merah kecil, lalu pelan-pelan garis kecil itu melebar, meluap seperti sungai. Darahnya jatuh menetes ke tanah. Melihat itu saya pun dilanda panik dan berlari kesana kemari mencari kapas dan plester. Sampai sekarang, jika melihat silet saya selalu teringat peristiwa itu.
Pikiran tentang mati muda tak pernah saya ungkapkan kecuali sekali. Baiklah, dua kali dengan tulisan ini. Hasilnya adalah ekspresi yang sulit digambarkan. Seolah-olah orang itu baru saja melihat bentuk kue yang tidak lazim. Padahal saya berharap bisa menemukan sesuatu yang berbeda. Tapi hanya itulah yang saya tangkap.
Bila kematian menjadi tema yang jarang dibicarakan, pernikahan sebaliknya. Tema terpopuler, terutama di kalangan usia 20an ke atas. Untuk ini pun saya punya firasat yang aneh. Beberapa bulan terakhir, salah satu teman SMA sering datang berkunjung. Seperti biasa bila cerita tentang masa SMA, ujung-ujungnya membahas teman mana saja yang sudah atau belum menikah. Di tengah percakapan, tiba-tiba ada jeda yang cukup lama. Teman saya memutuskan memecah keheningan, “Hei, tak tahu kenapa ya, tapi sepertinya masih lama baru saya bisa nikah”. Masa sih, tanya saya. “Yup, dan kalau kuperhatikan, kau juga akan mengalami nasib serupa” Saya tertawa mendengarnya. Saya malah berpikir akan mati sebelum sempat menikah. Pernah suatu hari di musim hujan, saya pulang membawa kaos kaki baru yang rencananya akan dipakai untuk upacara sekolah. Saat hari senin tiba, baru sadar kalau ternyata kaos kaki itu tidak lengkap. Hanya ada bagian kanan. Kaos kaki itu mirip dengan nenek, yang tetap sendiri hingga akhir hayat. Yang tetap menjadi bagian yang tidak lengkap. Entah kenapa, saya punya firasat akan menjadi seperti kaos kaki itu. Jika untuk hidup saja sepertinya tak lama lagi, bagaimana bisa memikirkan hal lain bernama pernikahan ?
Baiklah, saya tidak berharap yang demikian itu benar-benar terjadi. Tapi semakin lama pikiran itu semakin menguat. Hanya doa satu-satunya senjata agar dijauhkan dari firasat buruk. Berharap apa yang terus kepikiran itu tidak benar adanya. Banyak bekal yang lebih wajib saya cari. Banyak hal yang lebih mendesak untuk saya benahi. Dan banyak dosa yang lebih patut saya renungi.