08 March 2016

Yang Tidak Kita Sukai dari Perubahan

“Jangan pernah bercerita apa-apa pada orang lain. Begitu kalian bercerita, kalian akan mulai merasa merindukan orang lain.”
~J.D. Salinger, The Catcher in The Rye~

“Selayar itu masih virgin yah ?”, komentar Yoru ketika (pertama kali) melihat seekor tupai melintasi kabel listrik di sepanjang jalan depan rumah. Beberapa waktu lalu Yoru berkunjung lagi ke Selayar, untuk ketiga kalinya. Dia sudah jalan-jalan ke pulau Tinabo, Jinato, Liang Kareta dan banyak tempat lainnya dengan gratis. Benar-benar bikin iri. Saya yang asli orang sini saja belum pernah main-main ke Tinabo dan Jinato. Lha dia, orang jauh dari Bima sono tiba-tiba sudah kesana-kemari, gratis pula! Wahai…

Melihat satu-dua ekor tupai berlarian di atas kabel listrik merupakan pemandangan yang biasa untuk ukuran kota kecil ini, terutama di area jalur dua. Tapi pemandangan biasa ini mungkin tidak akan kau temui di kota besar dan padat. Sehingga mengundang rasa kagum tersendiri. Sebab masih ada yang belum berubah ketika semua hal nyaris berubah. Saya sendiri tidak tahu berapa lama tupai-tupai itu bertahan di habitatnya. Kota ini pelan-pelan mulai giat membangun. Yang dulunya hutan sekarang berubah jadi bangunan.

Internet, TV kabel atau smartphone pun dikonsumsi nyaris semua kalangan mulai dari anak-anak sampai dewasa. Dari pejabat sampai pengayuh becak. Hal-hal semacam ini, bagaimana pun membawa dampak yang saling bertolak belakang. Baik dan buruk. Pada suatu kesempatan saya pernah dibuat geleng-geleng kepala mendengar celotehan remaja SMA di pinggir jalan. Nyaris tidak percaya mereka memakai istilah-istilah yang tidak pantas diucapkan oleh orang-orang berpendidikan. Mereka bahkan tidak malu mengatakannya dengan suara nyaring. Di kota kecil yang jauh dari peradaban ini, dari mana lagi mereka mendapatkannya jika bukan dari tontonan atau internet yang bisa diakses dua puluh empat jam.

Memang program TV kita saat ini kebanyakan tidak mendidik. Bahkan ada yang bilang kalau kita tidak perlu repot-repot menggunakan otak saat nonton TV. Herannya, justru hal-hal buruk yang ditampilkan TV yang banyak ditiru penontonnya. Seolah-olah itu merupakan sesuatu yang keren. Adikku sering mengeluh karena setiap kali ganti saluran yang dia temukan hanya sinetron atau program lain yang sama membosankannya. Maka tidak heran kalau beberapa orang menempatkan TV ke dalam daftar barang-barang yang tidak disukai.

Lain waktu ketika berkunjung ke SMA tempat sekolah dulu, saya dapat kesempatan mengamati kegiatan para siswa. Dalam beberapa hal mereka lebih baik dibanding generasi kami. Mereka didukung sarana dan prasarana yang lebih memadai. Kegiatan eskul lebih beragam. Mereka juga mampu mengakses berbagai pengetahuan lebih cepat. Hubungan guru dan siswa terlihat lebih dekat dan santai. Yang terakhir ini membuat saya sedikit iri, mengingat kakunya dulu interaksi antara guru dan siswa.

“Anak-anak jaman sekarang berbeda dengan kalian dulu. Kekerasan bukan lagi cara yang efektif mendidik mereka.”, kata salah seorang guru ketika kami duduk-duduk di ruang tunggu. Kekerasan tidak pernah menjadi cara efektif untuk mendidik, ujar saya dalam hati. Tapi mungkin generasi sekarang lebih keras kepala dan kritis dibanding dulu. Setiap generasi memiliki tantangannya sendiri. Maka saya mencoba berhenti membanding-bandingkan.

Bel sekolah berbunyi. Siswa-siswa berhamburan keluar kelas, berdesak-desakan di pintu gerbang, pulang ke rumah masing-masing. Saya punya waktu sekitar 90 menit sebelum sekolah ramai kembali. Biasanya kegiatan eskul dimulai pukul tiga sore. Sambil memain-mainkan kunci motor, saya mulai berkeliling sekolah. Setelah beberapa menit melihat ruangan satu per satu, langkah saya berhenti di depan salah satu kelas. Di bagian atas pintunya tertulis 3 IPA II. Belum berubah, pikir saya. Yang pertama saya perhatikan adalah dindingnya. Mungkin lukisan itu masih ada. Tapi yang menghiasi dinding hanya beberapa poster, struktur organisasi kelas dan jadwal piket harian. Tentu saja, delapan tahun sudah lewat, mustahil masih di sana. Lagipula itu hanya lukisan biasa hasil karya teman yang menang lomba melukis antar kelas. Kemudian saya berjongkok, memeriksa satu per satu bagian bawah meja.

“Ayo ukir nama kita di bawah meja. Untuk kenangan-kenangan.”, kata seorang teman waktu itu sambil mengacungkan sebotol Tipe X.
“Itu bukan kenang-kenangan. Itu vandalisme.” Kata saya.

Sayangnya saya tidak menemukan nama-nama yang saya kenal. Mungkin meja yang dulu sudah rusak, atau sudah ditutupi tulisan generasi berikutnya. Prie GS pernah berkata dalam salah satu bukunya bahwa ketidaksukaan kita pada perubahan lebih dikarenakan kita tidak suka ada yang mengacak-acak kenangan kita. Kata-kata Prie sangat tepat untuk situasi saya. Nyaris semua berubah. Tempat-tempat yang menyimpan banyak kenangan bagi saya satu per satu diubah, diganti atau bahkan dihilangkan sama sekali. Dermaga, sekolah, lapangan, perpustakaan, sampai rumah nenek.

Beberapa batang pohon rindang masih tegak berdiri. Pohon mengkudu juga masih berbuah dan mengeluarkan aroma yang sengit. Tidak ada lagi kelas yang dipisahkan papan kayu sehingga antar tetangga bisa saling mengintip. Tak ada lagi lonceng besi peninggalan Belanda (begitu kami menyebutnya) yang selalu memakan korban. Korbannya adalah jidat para siswa yang benjol karena poisisi ujung lonceng setinggi kepala siswa rata-rata. Saya pernah terhuyung-huyung setelah kepala menabrak ujung lonceng karena berlari sambil say hello dengan teman yang berpapasan di lorong sekolah.

Ada yang bilang masa paling indah adalah masa sekolah. Bisa jadi. Bukan hanya karena itu masa setiap orang mulai membentuk diri. Atau karena banyak hal menyenangkan terjadi. Atau karena hal-hal bodoh yang dilakukan. Tapi mungkin karena itu masa terakhir orang-orang memaklumi hal-hal bodoh itu. Apa yang menyenangkan dari masa kanak-kanak ? Kebebasan dan pemakluman. Kita bebas melakukan apa saja, dan orang-orang memaklumi. Kita merusak benda-benda, orang-orang akan berkata, maklum anak-anak. Kita punya banyak keinginan ini itu, mereka maklum, anak-anak katanya. Kita marah-marah, berteriak-teriak, atau menangis sekencang mungkin, maklum anak-anak. Garis batas pemakluman itu adalah masa SMA. Sebab setelahnya orang menganggap kita sudah dewasa.

Pada jenjang itu, remaja mencoba banyak hal dengan rasa penasaran yang begitu tinggi. Pencarian identitas katanya. Bagaimana pun, setiap orang memiiki nilai yang mereka anut. Yang sudah ditanamkan sejak mereka kecil. Sehingga akan kita temui ada remaja yang memilih untuk tidak merokok, tidak minum atau tidak pacaran. Karenanya agak menjengkelkan bagi orang-orang seperti ini ketika berada di tengah orang yang tidak sejalan dengan pikiran mereka. Namun pada akhirnya kita akan melupakan kejengkelan itu. Saya baru menyadarinya sekarang. Pada akhirnya, kita akan lebih merindukan mereka. Dalam The Catcher in The Rye, Holden sering mencibir teman-temannya, menjulukinya macam-macam, memaki mereka bila perlu. Tapi kemudian Holden mengakui bahwa ia merindukan teman-temannya yang sering ia sebut konyol itu.
 
;