“Rasanya benar-benar hampa ketika aku tidak tahu apa yang kuinginkan atau apa yang harus kulakukan.”
Satu hal yang kupahami selama mengenal sepupuku ini adalah bahwa ia jarang menunjukkan keresahannya, atau kelemahannya. Dia selalu terlihat ceria. Mungkin karena pengaruh nama panggilannya sejak kecil. Nama yang tidak berhubungan dengan nama lengkapnya. Nama yang memiliki arti “bahagia”. Tapi di momen yang singkat itu, aku bisa mengintip secuil kegelisahannya. Kami sedang membahas rencananya untuk lanjut studi. Membahas berbagai universitas dan beasiswa. Tapi tak tahu kenapa pembicaraan itu jalan di tempat. Seolah-olah tidak ada yang ingin melangkah lebih jauh. Seperti lari di treadmill. Kau berlari tapi tak kemana-mana. Hingga kemudian ia mengatakan ini,
“Aku selalu bermimpi pergi ke luar. Menjelajah tempat baru. Bertemu orang-orang asing. Tapi jika mengingat ibuku yang semakin tua, rasanya impian itu tidak terlalu penting lagi bagiku.”
Pikiranku melayang keluar jendela, terus naik ke angkasa dan terbang menuju pulau kecil yang terletak di ujung paling selatan Pulau Sulawesi. Lalu menukik ke sebuah rumah mungil tempat keluargaku berada. Ibuku mungkin sedang memasak atau memeriksa ujian murid-muridnya, atau sedang nonton sinetron India bersama ayahku. Tetiba aku dihantam rasa rindu. Padahal baru sehari kutinggalkan rumah dan sedang transit di Makassar. Dulu jarak Makassar-kampungku kuanggap sudah cukup jauh. Tapi sejak bekerja di kota ini, baru terasa kalau Makassar dan kampungku sebenarnya sangat dekat. Hukum relativitas nampaknya berlaku di sini.
Aku, seperti kebanyakan orang, punya banyak mimpi. Bertumpuk-tumpuk seperti permen dalam gelas. Permen impian. Begitu banyaknya hingga kadang aku lupa pada permen yang berada di dasar gelas. Seiring bertambahnya pengetahuan, beberapa di antaranya sudah kubuang. Kadang aku tersenyum sendiri mengingat banyaknya hal mustahil yang kuimpikan ketika masih kecil. Beberapa lagi sudah kumakan, Alhamdulillah. Sisanya tetap tersimpan dalam gelas. Menunggu dimakan.
“Bila keinginan kita masih tentang diri kita sendiri, habiskanlah”, kata Kurniawan Gunadi dalam buku Hujan Matahari-nya. Situasiku saat ini, boleh dibilang mendukung berdasarkan anjuran si penulis. Kita ingin ini-itu, mau buat ini-itu, mau bangun ini-itu, mau belajar macam-macam, mau jalan kemana-mana. Poin pentingnya, jika kau masih sendiri, habiskan egomu sebisanya. Dengan begitu, lanjut KG, seseorang akan lebih lapang ketika tiba waktunya membersamai orang lain. Sebab ada tanggung jawab dan prioritas baru yang boleh jadi berbeda dari sebelumnya.
Menghabiskan ego. Sepertinya masuk akal juga. Tetapi saat libur, tepatnya meliburkan diri, selama tiga bulan membuatku punya banyak waktu memikirkan dan menyusun ulang beberapa hal. Terkait “libur panjang” ini beberapa teman kerja meledekku macam-macam. Katanya sudah mirip orang cuti melahirkan. Hahaha.
Entah kapan mulanya, tapi kurasa ini pemicunya : uban. Uban ibuku tepatnya. Setiap bercermin di lemari, kudapati helai-helai uban menempel di pinggiran kayunya. Rupanya ibuku sesekali mencabuti ubannya dan menempelkannya di bingkai cermin. Gatal katanya. Setahuku, kita dilarang mencabuti uban karena di hari kiamat akan menjadi cahaya bagi orang mukmin. Bagaimanapun, aku terharu melihat helai demi helai rambut putih itu. Aku bukan orang yang cengeng. Tapi segala sesuatu yang menyangkut ibuku bisa membuatku menangis. Dia kekuatan sekaligus kelemahanku.
Ibuku selalu sibuk, dalam arti aku jarang melihatnya duduk-duduk tanpa melakukan sesuatu. Ada-ada saja yang dia kerjakan. Jadi aku membantunya sebisaku, memasak, membersihkan rumah, mencuci piring, mencuci pakaian dan mengantarnya kemana-mana mulai dari sekolah, pasar, tempat arisan atau ke acara kondangan. Masa libur tiga bulan itu, seingatku, adalah waktu terlama aku tinggal bersama ibu sejak 17 tahun terakhir. Masa libur tiga bulan itu, mengubah sesuatu dalam diriku. "Aku tidak ingin kemana-mana lagi", kalimat ini meluncur begitu saja dari kepalaku. Ditambah kata-kata sepupuku tadi, aku jadi mengerti sepenuhnya.
Kita punya banyak impian. Tapi kita dibatasi pilihan. Yang namanya pilihan, seringkali kau hanya bisa memilih satu. Di samping itu, ada waktu yang memagari impian dan pilihan itu. Kesempatan belum tentu datang dua kali, kata orang. Ini berlaku untuk semua hal. Untuk impian maupun pilihan tadi. Dalam kasus sepupuku, ia ingin belajar dan bekerja di tempat yang kelihatannya lebih menjanjikan. Ia bisa saja mengejar impiannya. Tapi ia juga paham bahwa birul walidain tidak bisa diulang dua kali. Sama seperti mendidik anak yang tidak bisa diulang dari awal. Karena itu, suatu hari sepupuku pernah berkata bahwa ia, mungkin, tidak akan keluar dari Makassar. Karena di sanalah ia bisa menjangkau impian dan pilihannya sekaligus. Bekerja di tempat yang tidak jauh dari rumah. Dengan begitu ia selalu bisa berada di dekat orangtuanya. Bukan berarti ia benar-benar tidak akan ke mana-mana. Bagaimana pun, sepupuku itu tukang jalan. Hanya saja untuk yang sifatnya jangka panjang dia tidak akan pergi jauh. Mungkin ia tidak bisa memakan permen besar dalam gelasnya. Tapi dengan begitu ia tidak akan menjadi anak yang menyesal. Ini hanya masalah pilihan. Bagiku dan bagi sepupuku, ada sesuatu yang jauh lebih berharga ketimbang impian-impian itu. Kesempatan membersamai orangtua. Kesempatan yang mungkin suatu saat seorang anak akan menyesal dan bersedia menukar semua impian itu dengan satu kesempatan tadi. Sepupuku tidak ingin menjadi orang yang menyesal. Aku pun tidak.
Semoga Allah menjaga dan melindungi orangtua kami, menyayangi mereka sebagaimana mereka menyayangi anaknya, memberkahi umurnya, menjauhkan mereka dari penderitaan penyakit dan penderitaan masa tua. Dan membahagiakan mereka dunia akhirat.