01 December 2016

Klub Film


Ketika anak laki-laki David Gilmour yang berusia lima belas tahun, Jesse, mulai keteteran dalam semua mata pelajaran di sekolah, ayah yang satu ini menawarkan perjanjian yang tidak lumrah: Jesse boleh berhenti sekolah –tidak bekerja, tidak membayar sewa rumah–tapi dengan satu syarat. Dalam seminggu, Jesse harus menonton tiga film yang dipilih ayahnya. Maka, minggu demi minggu, ayah dan anak duduk bersebelahan menonton film-film terbaik (dan kadang terburuk) di dunia –serta mengobrol tentang film dan kehidupan. Kemudian, ketika klub film mereka hampir mencapai akhir yang membahagiakan sekaligus menyedihkan, tapi tak terelakkan, Jesse membuat keputusan yang membuat semua orang terkejut, termasuk ayahnya…

Boleh berhenti sekolah asal mau nonton 3 film tiap minggu ? Wow, sungguh Ayah yang anti mainstream. Secara garis besar buku ini berisi memoir sang penulis, David Gilmour, selama tiga tahun membuat klub film sebagai ganti pendidikan anaknya. Semua nilai mata pelajaran Jesse anjlok. Yang lebih parah, ia sudah kehilangan minat terhadap sekolah. Jadi Ayahnya menawarkan kesepakatan : Jesse boleh berhenti sekolah, tidak perlu kerja, tidak perlu bayar uang sewa, tapi ia harus nonton tiga film yang dipilih ayahnya setiap minggu. Selain itu Jesse dilarang memakai obat-obatan. Jika dilanggar maka kesepakatan batal.

Ada buku yang hanya akan dibaca kalau diharuskan. Itu seninya pendidikan formal. Orang dituntut membaca banyak hal yang biasanya tidak pernah mereka gubris. (hal. 32)

Jesse tinggal bersama ayah dan ibu tirinya, Tina. Ini karena Maggie, ibu kandungnya, beranggapan bahwa remaja laki-laki sebaiknya tinggal bersama laki-laki dewasa. David dan Maggie sudah lama berpisah. Meski begitu mereka rutin berkomunikasi terutama jika menyangkut perkembangan Jesse. Bahkan saat David mendapat pekerjaan baru, ia mengajak Maggie dan Jesse liburan ke Kuba. Di sisi lain, Tina, istri David yang sekarang, adalah wanita yang sangat pengertian. Pembaca tidak akan menemukan drama istri-cemburu-pada-mantan istri. Atau ibu tiri jahat ala Cinderella. Tidak ada hal semacam itu. Tina boleh dibilang cukup dekat dengan Jesse. Ketika Jesse terpuruk karena patah hati, Tina mampu menjadi orang yang menyenangkan untuk diajak bicara oleh anak tirinya.

Memilih film bagi orang lain adalah urusan serius. Seperti halnya menulis surat untuk seseorang, hal itu bisa mengungkap jati diri kita. Hal yang menunjukkan pola pikir kita, menunjukkan apa yang menggugah perasaan kita, bahkan terkadang hal itu bisa menunjukkan pendapat kita tentang bagaimana cara dunia memandang kita. (hal 212)

Minggu demi minggu mereka lewati dengan nonton film. Kadang-kadang film terbaik, kadang-kadang film terburuk, kadang-kadang film horror, film sakit jiwa sampai film-film romantis. Mereka membahas banyak hal seperti adegan terbaik di setiap film, aktor dan aktris terbaik menurut pendapat masing-masing, mengapa aktor A begitu melegenda, siapa saja sutradara dan penulis skenario di balik film-film sukses, sampai pada kehidupan pribadi para aktor dan sutradara. Pembaca akan disuguhi daftar panjang film, tahun produksi, penjelasan singkat kehidupan sang aktor atau aktris dan apa saja yang terjadi di balik layar pembuatan film. 

Kebanyakan film-film yang mereka tonton adalah film klasik, produksi tahun 80-an ke bawah. Kadang-kadang disinggung juga beberapa film era 90-an. Di sela-sela pembahasan tentang film itulah David menyisipkan pelajaran untuk anaknya, yang biasanya diambil dari cerita film. Misalnya saat mereka menonton film pertama mereka, The 400 Blows, David pelan-pelan membimbing Jesse untuk mencari persamaan situasi antara tokoh utama dengan kehidupan Jesse sendiri. Film adalah hal yang dikuasai oleh David. Jadi dia mendekati anaknya lewat satu-satunya hal yang ia kuasai. David sudah berpengalaman mewawancarai berbagai selebriti dan public figure di acara TV bahkan menjadi penulis di sebuah majalah atau surat kabar (lupa yang mana) sebagai kritikus film. Tapi hebatnya, ia tidak pernah menggurui jesse atau menguliahinya tentang makna dari film-film yang mereka tonton. David hanya menjelaskan uraian singkat sebagai pengantar dan selebihnya mereka diskusikan bersama.

David menyadari bahwa sekolah bisa membuat seseorang menjadi pembohong dan licik. Ia menemukan berlembar-lembar tugas sekolah yang disembunyikan di kamar anaknya. Jesse takut dimarahi ayahnya, tapi di satu sisi ia juga tidak mampu mengerjakan tugas itu. Jadi ia menyembunyikannya dan berkata bahwa tidak ada tugas sekolah. Licik, bukan ? Tapi buku ini tidak sedang mengajak orangtua untuk menarik anak mereka dari sekolah. Bagaimana pun, David sendiri mengalami pergulatan batin yang hebat. Ia memikirkan bagaimana jika ternyata keputusannya menyuruh Jesse berhenti sekolah adalah kesalahan besar ? Bagaimana jika di masa depan anaknya akan hidup tanpa pekerjaan dan kecanduan obat-obatan. Tapi ia mengenal anaknya. Jesse bukan tipe orang yang bisa dipaksa, menakut-nakutinya hanya akan membuat anak itu membangun kastil yang tidak bisa dimasuki siapapun. Jadi David bersabar. Ia bicara jika perlu dan tidak memperpanjang kata-kata. Ia tidak akan memaksa masuk ketika ada saat Jesse menutup kastilnya. Malah kadang kupikir David ini begitu hati-hati terhadap anaknya. Seolah-olah anaknya terbuat dari kaca yang rapuh, yang jika disentuh sembarangan akan pecah berantakan. Ketika Jesse sedang kacau karena masalahnya, David biasanya memberi nasihat singkat misalnya kurang lebih seperti ini : Jesse, bagaimana pun kacaunya kau saat ini, saranku jangan pakai obat-obatan. Kokain hanya akan membuatmu semakin buruk. Saat ini mungkin tidak, tapi ketika terbangun nanti kau akan merasa seperti di neraka. Nah, berapa banyak orangtua yang bisa sesabar itu menghadapi anaknya ? Berapa banyak orangtua yang tetap diizinkan keluar masuk kastil anaknya ketika pelan-pelan anak-anak itu mulai dewasa dan menarik diri ?

Di satu sisi, Jesse membuat saya sedikit jengkel. Yah, sebenarnya anak ini manis. Sungguh. Lihat saja fotonya di halaman terakhir. Hehehe. Oke maksudnya bukan begitu. Maksudnya adalah dialog antara Jesse dan ayahnya yang heartwarming. Misalnya “Apa Ayah menyayangiku ? Karena aku menyayangi ayah.” atau “Apa Ayah marah ?” atau “Bagaimana, Yah ? Tidak jelek, bukan ?” Ayah-anak bisa saling terbuka dan mengungkapkan cinta satu sama lain itu benar-benar menyentuh. 

Tapiiiii (i-nya sampai lima)…yang lebih mendominasi masalah Jesse ternyata adalah soal pacar. Sebut saja Rebecca Ng atau Chloe Stanton McCabe. Polanya selalu berulang, Jesse naksir si cewek tapi si cewek suka orang lain, dan si orang lain itu malah tidak peduli sama si cewek . Begitu terus sampai negara api menyerang. Yah, sebenarnya tidak persis begitu juga. Rebecca meninggalkan Jesse awalnya karena sibuk mengejar karir, ingat, Jesse tidak sekolah dan pekerjaannya hanya mencuci piring di sebuah resto. Tapi dia kembali lagi dan pelan-pelan mulai tertarik pada Jesse. Ujung-ujungnya malah Jesse yang memutuskan Rebecca. 

Kau tahu apa yang dikatakan Lawrence Durell, Jesse ? Kalau kau ingin melupakan seorang wanita, jadikanlah dia tulisan.” (hal. 181)

Yang paling parah adalah sewaktu putus dengan Chloe, lagi-lagi (kalau tidak salah) Jesse yang memutuskan, tapi malah dia sendiri yang terpuruk. Akhirnya David memberi saran agar Jesse menulis lagu, kebetulan hobi sampingan Jesse adalah rap. Ia dan sahabatnya, Jack, punya group bernama Corrupted Nostalgia. Jesse pun menulis lagu berjudul Angels. Lagu itu itu adalah ungkapan patah hatinya pada Chloe. Mereka bahkan membuat video klip-nya. Dan tebak, siapa perempuan dalam video klip itu ? Yep, Chloe sendiri pemirsahhh… Karena artis yang seharusnya jadi model sedang sakit (atau apalah) sehingga Chloe dipilih jadi pengganti. Ajaib, kan ? Karena penasaran, saya pun melacak video klip itu di Youtube. Hahaha…

“Anak-anak menghabiskan masa kecilnya untuk bersiap-siap meninggalkan kita.”
“Iya, tetapi pernahkah mereka sepenuhnya meninggalkan kita ?” (hal. 258)

Setelah tiga tahun, klub film mereka hampir berakhir. Mereka sudah jarang nonton. Jesse sudah keluar dari rumah, itu hal yang wajar bagi anak usia 19 tahun untuk hidup mandiri dan menghidupi dirinya sendiri. Ini yang saya suka dari pendidikan mereka. Keputusan Jesse di akhir membuktikan bahwa klub film selama tiga tahun tidaklah sia-sia. Setidaknya ia sudah menemukan apa yang ia inginkan. Kupikir inilah yang paling penting. Terkadang kita hanya melaju terus tanpa benar-benar memahami apa yang kita lakukan. Atau untuk apa. Tapi ada orang-orang yang memilih berhenti dan merenungkan semuanya. Merenungkan mengapa mereka harus mengambil jalan itu. Mereka memang akan terlambat dibanding yang lain. Tapi ketika mereka menemukan jawabannya, mereka akan melesat dan tidak lagi bisa dihentikan. 

Ketika duduk di ranjang itu aku sadar bahwa dia tidak akan pernah kembali lagi sebagai sosok yang sama. Mulai sekarang, dia adalah tamu. Tetapi masa itu, masa tiga tahun dalam kehidupan seorang pemuda di mana biasanya dia akan mulai mengunci diri dari orangtuanya, sungguh merupakan sebah anugerah tak terduga yang menakjubkan dan langka. (hal. 264)
 
;