06 August 2017

Buku Yang Kubaca Tahun 2017 (4)

Rashomon 
Penulis : Ryunosuke Akutagawa 
Penerbit : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) 
Halaman : 167 


Kumpulan cerpen Akutagawa ini adalah buku pertama yang saya pinjam di iPusnas. Sepertinya dari salah satu cerpen inilah muncul istilah Rashomon Effect. Yaitu teknik penceritaan satu kejadian yang sama tapi dari sudut pandang masing-masing tokoh. Cerita menurut satu tokoh saling bertolak belakang dengan cerita versi tokoh lain. Sehingga kita tidak tahu cerita mana yang benar. 

Tewasnya Gagak Hitam 
Penulis : Sidik Nugroho 
Penerbit : Gramedia 


Seorang pelukis bernama Elang tertarik dengan berita di surat kabar yang berjudul “Pengarang Ditemukan Tewas Gantung Diri”. Ketertarikannya disebabkan karena korban tersebut tidak meninggalkan identitas. Yang diketahui hanya nama samarannya, Gagak Hitam. Awalnya tertarik minjam novel ini di iPusnas karena judul dan covernya. Tapi saya jadi heran, kenapa pelukis tiba-tiba tertarik menyelidiki kasus kematian. Lebih heran lagi, kenapa polisinya juga begitu mudah melibatkan si pelukis dalam kasus tersebut. 

The Geography of Love 
Penulis : Peter Thiesen 
Penerbit : Qanita 


Judul asli buku ini adalah Liebe in Zeiten der Cola (Love in The Time of Cola), pelesetan dari novel klasik, Love in The Time of Cholera. Rasa Coca Cola di mana-mana sama. Tapi bagaimana rasanya cinta ? Peter Theisen, pria 44 tahun asal Jerman, sukses dalam karier dan berpenampilan menarik. Belum punya anak, sementara pernikahan baginya masih terasa jauh, sejauh jarak ke planet Venus. Ia adalah tipe orang yang ketika hubungan mulai serius, akan mulai menjaga jarak. Hmm, sepertinya saya cukup kenal sifat semacam ini. Hahaha... Nah, di usianya yang tidak lagi bisa disebut muda ini, Peter merasa belum juga belajar tentang cinta. Oleh karena itu, ia memutuskan untuk keliling dunia sembari meneliti makna cinta di berbagai belahan bumi. Mungkin tidak terlalu tepat jika disebut keliling dunia, karena hanya beberapa tempat yang menjadi destinasi penelitian Peter yaitu Georgia, Kolombia, Zanzibar, Sumatra dan Polinesia. Tapi buku ini benar-benar menarik. Penulisnya sopan dan lucu. Berbeda dengan Eric Weiner yang khas dengan sindiran dan komentar sinis dalam buku-buku perjalanannya, Peter terasa lebih halus dan santun.

Nguping Jakarta 
Penulis : Kuping Kiri dan Kuping Kanan 
Penerbit : Bentang 

Buku ini sudah pernah saya singgung dalam tulisan sebelumnya. Tapi baru kali ini benar-benar membacanya dari awal sampai akhir. Terima kasih kepada iPusnas atas pinjaman bukunya. Karena saya baru tahu kalau nama asli Kuping Kanan sungguh-sungguh absurd : Rangga Sastrowardoyo! 

Nguping Selebrity 
Minjam di iPusnas juga. Tapi lupa nama penulis dan penerbitnya. Awalnya saya kira mirip dengan nguping Jakarta, hanya terbatas di kalangan selebriti. Eh, ternyata bukan. Sama sekali bukan buku lucu. 

Halaqah Cinta 
Penulis : @teladanrasul 
Penerbit : QultumMedia 
Halaman : 302 


Dipinjamkan sama teman. Isinya tidak jauh-jauh dari provokasi untuk menikah. 

Love Life 
Penulis : Ray Kluun 
Penerbit : Alvabet 
Halaman : 416 


Tahun 2011 lalu sebenarnya pernah lihat novel ini di antara deretan buku di Papirus. Tapi belum minat beli. Ternyata ada juga di iPUsnas. Abaikan covernya yang mengingatkanmu pada novel-novel Mira. W, sebab novel ini adalah pemenang The Duch 2006 NS Publiek Book of The Year. Bercerita dari sudut pandang Dan, seorang suami yang istrinya divonis kanker. Dan dan Carmen memiliki segalanya, muda, kaya, tampan dan cantik. Vonis tersebut mengubah kehidupan rumah tangga mereka. Sementara Carmen menjalani kemoterapi dan masektomi, Dan yang hedonis berusaha menghibur diri dengan teman-temannya dan sejumlah perempuan. Novel asal Belanda yang terbit tahun 2003 ini disebut sebagai kisah cinta yang radikal. Tentang suatu penyakit tak tersembuhkan yang tidak dilebih-lebihkan atau mengandung sentimen palsu. Kau tidak akan menemukan drama cinta sampai mati ala korea di novel ini. Tapi itu yang membuatnya terasa nyata. Terasa mencerminkan kehidupan. 

You go, I’ll stay here, but I want to thank you, 
For what you’ve done, farewell always comes too soon… 

Kalau pasanganmu sakit dan tak mampu lagi memenuhi kewajibannya sebagai istri, masihkah kau mencintainya ? Bisakah kau tetap di sisinya sampai akhir ? Jika iya, apa kau yakin ? Di awal, tentu kau akan mendukungnya. Tapi lama kelamaan kau akan lelah, dan mulai bertanya-tanya kapan semua itu berakhir. Saat itu tiba, kau akan mempertanyakan kembali perasaanmu padanya. Mungkin itu bukan lagi cinta, tapi belas kasih. Mungkin kau berada di sisinya lebih karena kewajiban sebagai pasangan. Inilah yang digambarkan Ray Kluun dalam novelnya. Realistis, kontroversial, menyentuh dan juga menyakitkan. Kluun seakan ingin membuat pembaca memaklumi perilaku Dan di luar rumah. Itu dianggap sebagai hiburan di sela kesibukannya mengurus rumah, merawat istri yang sakit dan anak yang masih kecil. Kluun membuat seolah euthanasia bisa dibenarkan demi kebaikan kedua pihak. Novel ini banyak menyisipkan lirik lagu dari berbagai penyanyi dan band mulai dari Madonna, David Bowie sampai U2. 

Saya tersentuh oleh kebaikan Dan dalam mendukung Carmen sejak hantaman pertama. Dia selalu ada untuk Carmen. Walaupun kata “selalu ada” mempunyai makna yang berbeda dari yang kita pikirkan. Inilah yang kumaksud tadi. Dan butuh tenaga untuk merawat istrinya. Dia butuh kekuatan untuk mengatasi rasa frustasinya. Tapi kekuatan itu ia dapatkan dari perempuan lain. Jadi kita akan bertanya-tanya : 

“Love, so what is love ?” 
~Andre Hazes~ 

Nenek Hebat dari Saga 
Penulis : Yoshichi Shimada 
Penerbit : Kansha Publishing 
Halaman : 256 


“Saat jarum jam dinding berputar ke kiri orang akan menganggapnya rusak dan membuangnya. Manusia pun tidak boleh menengok ke belakang, terus maju dan maju, melangkah ke depan!” 

Novel ini bercerita tentang kehidupan semasa kecil Tokunaga yang tinggal bersama neneknya di Saga selama beberapa tahun. Ibu Tokunaga terpaksa menitipkan anaknya karena kehidupan di Hiroshima begitu sulit untuk mereka berdua, terutama setelah jatuhnya bom atom di kota itu. Nenek Osano lahir di era Meiji (tahun 1900). Pada masa perang tahun 1942, suaminya meninggal. Sejak saat itu ia hidup sebagai tukang bersih-bersih di Universitas Saga yang terafiliasi dengan SD/SMP. Bertahan hidup sambil membesarkan tujuh orang anak. Saat Tokunaga tinggal bersama neneknya, nenek Osano sudah berusia 58 tahun, tapi masih bekerja sebagai tukang bersih-bersih. Hidupnya jauh dari kemewahan, tapi entah kenapa, beliau selalu saja tampak ceria dan bersemangat. Di masa-masa tinggal bersama neneknya itulah, Tokunaga banyak belajar tentang prinsip hidup dari sang nenek. 

“Tidak ada uang, maka tidak bahagia. Menurutku, semua orang kini kelewat terikat dengan perasaan seperti itu. kemudian, karena orang dewasa berpikir demikian, anak-anak pun ikut dibesarkan dalam keadaan ini.” 

Osano-bachan punya prinsip bahwa ada dua jalan buat orang miskin. Miskin muram dan miskin ceria. Sulitnya hidup membuat mereka pandai berhemat. Lauk sehari-hari mereka ambil dari apa saja yang tersangkut di galah yang ditaruh di sungai depan rumah. Jika yang tersangkut adalah timun, maka lauk mereka hari itu adalah acar timun. Jika yang tersangkut adalah lobak setengah rusak, maka bagian yang rusak dibuang kemudian bagian yang masih bagus dipotong-potong lalu direbus. Bagi kedua orang ini, sungai di depan rumah itu ibarat pasar atau mini market. Menu sehari-hari tergantung dari apa yang tersangkut di galah. 

“Sebenarnya tidaklah sulit mencapai kehidupan yang baik. Kita hanya perlu menikmati apa pun yang terjadi dalam hidup, mensyukuri makanan apa pun yang ada di depan mata, lalu hidup dengan tawa setiap harinya.” 

Prinsip hidup yang diajarkan sang nenek terus mengakar sampai Tokunaga dewasa. Hingga kini ia tidak mengenal kata-kata benda bermerk atau sajian mewah. Yang ada hanya sandang, pangan dan papan dalam kehidupan yang sederhana. Jadi teringat kata-kata Lily Franky dalam memoarnya, Tokyo Tower, bahwa memiliki uang koin seratus yen di kantong tak dapat dikatakan miskin. Justru satu-satunya kekayaan berupa uang seribu yen dalam dompet Louis Vuitton yang dibeli secara kredit malah lebih tergolong miskin. Novel ini akan membuat kita bernostalgia dengan masa kecil. Terutama jika kita besar dalam asuhan nenek. 

Big Little Lies 
Penulis : Liane Moriarty 
Penerbit : Gramedia 
Halaman : 512 


“Pembunuhan ? Kecelakaan tragis ? Yang pasti seseorag tewas. Tapi, siapa yang melakukan apa ?”
Semuanya bermula pada hari orientasi TK di Pirriwee Public School: ketika Jane –seorang ibu tunggal yang penuh rahasia– mengantar putranya ke sekolah dan bertemu dengan Madeline yang sinis dan penuh semangat, serta Celeste yang cantik tapi selalu gelisah. Saat insiden kecil yang melibatkan anak-anak ketiga wanita itu dengan cepat berubah serius, dan bisik-bisik antar ibu menjadi gosip-gosip jahat, tidak ada lagi yang tahu siapa yang benar dan siapa yang berbohong. Hingga seseorang harus membayar dengan nyawa. 

Awalnya saya kira ini novel kriminal yang melibatkan detektif, polisi dan serangkaian analisis kasus. Ternyata novel tentang persahabatan. Persahabatan antara tiga ibu rumah tangga yang dimulai sejak masa orientasi anak-anak mereka. Madeline, ibu tiga anak yang sudah menikah dua kali. Suami pertamanya, Nathan, meninggalkannya sewaktu anak pertama mereka –Abighail– masih balita. Madeline kemudian menikah dengan Ed dan lahirlah Chloe serta Fred. Sementara Nathan menikah dengan Bonnie, wanita yang usianya lebih muda dari Madeline. Mereka memiliki anak perempuan bernama Skye. Anak-anak mereka bersekolah di TK yang sama. Madeline tidak pernah memaafkan mantan suaminya yang tidak bertanggungjawab itu. Setiap kali bertemu, pasti terjadi aksi saling menyindir. Walaupun diam-diam Madeline mengakui bahwa mantan suaminya banyak berubah sejak menikah dengan Bonnie. 

Jane, ibu satu anak, orangtua tunggal yang baru pindah ke Pirriwee. Setiap kali anaknya, Ziggy, bertanya tentang siapa ayahnya, Jane selalu menjawab tidak tahu. Sewaktu berkenalan dengan Madeline, Jane mengaku ia pindah karena dorongan hati mencari suasana baru. Tapi sebenarnya ada alasan lain di balik kepindahan itu. Alasan yang nanti terungkap di akhir cerita. Dan itu berhubungan dengan identitas ayah Ziggy. 

Celeste, ibu dari si kembar Max dan Josh. Para orangtua murid di TK seringkali iri dengan kehidupan Celeste yang sempurna. Punya wajah yang cantik, suami yang tampan dengan kekayaan yang luar biasa banyaknya, rumah yang besar, pakaian dan perhiasan yang mahal serta dua anak yang manis. Wanita mana yang tidak menginginkan itu semua ? Dalam setiap pesta yang diadakan, pasangan inilah yang paling menarik perhatian. Merekalah Raja dan Ratu Prom. Tapi seperti kata orang, tidak ada pernikahan yang sempurna di dunia ini. Celeste berniat meninggalkan suaminya. Dan dia punya alasan kuat untuk itu. 

Madeline yang ceria dan blak-blakan, Jane yang pemalu serta Celeste yang selalu gugup dan gelisah. Saya suka karakter ketiga wanita ini. Tapi secara keseluruhan, saya paling suka keluarga Madeline. Mereka lucu dan hangat. Dialog antara Madeline dengan anak-anaknya atau dengan suaminya biasanya sukses memancing tawa. Kalau tokoh laki-laki, saya paling suka Tom O’Brien si barista. Pemilik kafe Blue Blues. Pandai memasak, suka bermain jigsaw, menolong di saat yang tepat, kopi racikannya membuat orang kecanduan, dan yang paling penting, seratus persen normal. 

Ketiga sahabat ini rutin bertemu di kafe Blue Blues setelah seharian sibuk membagi waktu antara mengurus pekerjaan dan mengurus anak. Masalah dimulai ketika, anak Jane, Ziggy, dituduh sebagai perisak oleh salah seorang anak yang menyebabkan leher anak itu lebam. Awalnya saya bingung kenapa penerjemah memakai kata risak. Ini kata yang baru saya dengar. Menurut KBBI, risak artinya mengganggu atau mengusik. Jadi mungkin sama dengan istilah bully. 

Ngomong-ngomong soal perisakan, ada 2 jens orang (terlalu sempit sebenarnya kalau hanya 2): orang yang merisak dan orang yang dirisak. Kamu masuk tipe yang mana ? Yah walaupun bisa saja seseorang menjadi perisak, kemudian di lain waktu menjadi orang yang dirisak. Atau bisa jadi ada orang yang seumur-umur tidak pernah merisak dan tidak pernah dirisak. Orang-orang yang sudah melewati masa sekolah biasanya pernah mengalami perisakan dengan tingkatan berbeda. Waktu jamanku dulu (duh, bahasa orangtua :D) perisakan belum separah sekarang. Orang yang dirisak tidak disakiti secara fisik, tapi dikucilkan. Tidak ada yang mau berteman atau berbicara dengannya dalam jangka waktu tertentu. Tapi semua berubah ketika Negara Api menyerang. Hahahah… Maksudnya hal-hal semacam ini pelan-pelan hilang sendiri dengan bertambah dewasanya seseorang. Orang yang pernah merisakmu semasa SMP entah kenapa bisa jadi sahabatmu saat SMA. Hidup memang penuh dengan berbagai kemungkinan. Setidaknya begitulah menurut pengalaman saya. Baru-baru ini saya menonton serial TV bertema bullying. Judulnya 13 Reasons Why. Bercerita tentang remaja SMA bernama Hannah yang bunuh diri. Alasan bunuh dirinya direkam dalam 13 kaset pita yang kemudian dipaketkan ke rumah temannya. Katanya serial ini menjadi serial Netflix yang paling laris. Tapi entah kenapa saya tidak klop dengan cerita dan tokoh-tokohnya. Jadi saya tidak bisa mengatakan saya menyukainya.
 
;