Rashomon
Penulis : Ryunosuke Akutagawa
Penerbit : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Halaman : 167
Kumpulan cerpen Akutagawa ini adalah buku pertama yang saya pinjam di
iPusnas. Sepertinya dari salah satu cerpen inilah muncul istilah Rashomon Effect. Yaitu teknik penceritaan
satu kejadian yang sama tapi dari sudut pandang masing-masing tokoh. Cerita menurut
satu tokoh saling bertolak belakang dengan cerita versi tokoh lain. Sehingga
kita tidak tahu cerita mana yang benar.
Tewasnya
Gagak Hitam
Penulis : Sidik Nugroho
Penerbit : Gramedia
Seorang pelukis bernama Elang tertarik dengan berita di surat kabar yang
berjudul “Pengarang Ditemukan Tewas
Gantung Diri”. Ketertarikannya disebabkan karena korban tersebut tidak
meninggalkan identitas. Yang diketahui hanya nama samarannya, Gagak Hitam.
Awalnya tertarik minjam novel ini di iPusnas karena judul dan covernya. Tapi
saya jadi heran, kenapa pelukis tiba-tiba tertarik menyelidiki kasus kematian.
Lebih heran lagi, kenapa polisinya juga begitu mudah melibatkan si pelukis
dalam kasus tersebut.
The Geography
of Love
Penulis : Peter Thiesen
Penerbit : Qanita
Judul asli buku ini adalah Liebe
in Zeiten der Cola (Love in The Time
of Cola), pelesetan dari novel klasik, Love
in The Time of Cholera. Rasa Coca Cola di mana-mana sama. Tapi bagaimana
rasanya cinta ? Peter Theisen, pria 44 tahun asal Jerman, sukses dalam karier
dan berpenampilan menarik. Belum punya anak, sementara pernikahan baginya masih
terasa jauh, sejauh jarak ke planet Venus. Ia adalah tipe orang yang ketika
hubungan mulai serius, akan mulai menjaga jarak. Hmm, sepertinya saya cukup kenal
sifat semacam ini. Hahaha... Nah, di usianya yang tidak lagi bisa disebut muda ini, Peter
merasa belum juga belajar tentang cinta. Oleh karena itu, ia memutuskan untuk
keliling dunia sembari meneliti makna cinta di berbagai belahan bumi. Mungkin
tidak terlalu tepat jika disebut keliling dunia, karena hanya beberapa tempat
yang menjadi destinasi penelitian Peter yaitu Georgia, Kolombia, Zanzibar,
Sumatra dan Polinesia. Tapi buku ini benar-benar menarik. Penulisnya sopan dan lucu.
Berbeda dengan Eric Weiner yang khas dengan sindiran dan komentar sinis dalam
buku-buku perjalanannya, Peter terasa lebih halus dan santun.
Nguping
Jakarta
Penulis : Kuping Kiri dan Kuping Kanan
Penerbit : Bentang
Buku ini sudah pernah saya singgung dalam tulisan sebelumnya. Tapi baru
kali ini benar-benar membacanya dari awal sampai akhir. Terima kasih kepada
iPusnas atas pinjaman bukunya. Karena saya baru tahu kalau nama asli Kuping
Kanan sungguh-sungguh absurd : Rangga Sastrowardoyo!
Nguping
Selebrity
Minjam di iPusnas juga. Tapi lupa nama penulis dan penerbitnya. Awalnya
saya kira mirip dengan nguping Jakarta, hanya terbatas di kalangan selebriti.
Eh, ternyata bukan. Sama sekali bukan buku lucu.
Halaqah Cinta
Penulis : @teladanrasul
Penerbit : QultumMedia
Halaman : 302
Dipinjamkan sama teman. Isinya tidak jauh-jauh dari provokasi untuk
menikah.
Love Life
Penulis : Ray Kluun
Penerbit : Alvabet
Halaman : 416
Tahun 2011 lalu sebenarnya pernah lihat novel ini di antara deretan buku
di Papirus. Tapi belum minat beli. Ternyata ada juga di iPUsnas. Abaikan covernya
yang mengingatkanmu pada novel-novel Mira. W, sebab novel ini adalah pemenang The Duch 2006 NS Publiek Book of The Year.
Bercerita dari sudut pandang Dan, seorang suami yang istrinya divonis kanker.
Dan dan Carmen memiliki segalanya, muda, kaya, tampan dan cantik. Vonis
tersebut mengubah kehidupan rumah tangga mereka. Sementara Carmen menjalani
kemoterapi dan masektomi, Dan yang hedonis berusaha menghibur diri dengan
teman-temannya dan sejumlah perempuan. Novel asal Belanda yang terbit tahun
2003 ini disebut sebagai kisah cinta yang radikal. Tentang suatu penyakit tak
tersembuhkan yang tidak dilebih-lebihkan atau mengandung sentimen palsu. Kau
tidak akan menemukan drama cinta sampai mati ala korea di novel ini. Tapi itu
yang membuatnya terasa nyata. Terasa mencerminkan kehidupan.
You go, I’ll stay here, but I want to thank you,
For what you’ve done, farewell always comes too soon…
Kalau pasanganmu sakit dan tak mampu lagi memenuhi kewajibannya sebagai
istri, masihkah kau mencintainya ? Bisakah kau tetap di sisinya sampai akhir ? Jika
iya, apa kau yakin ? Di awal, tentu kau akan
mendukungnya. Tapi lama kelamaan kau akan lelah, dan mulai bertanya-tanya kapan
semua itu berakhir. Saat itu tiba, kau akan mempertanyakan kembali perasaanmu
padanya. Mungkin itu bukan lagi cinta, tapi belas kasih. Mungkin kau berada di
sisinya lebih karena kewajiban sebagai pasangan. Inilah yang digambarkan Ray
Kluun dalam novelnya. Realistis, kontroversial, menyentuh dan juga menyakitkan.
Kluun seakan ingin membuat pembaca memaklumi perilaku Dan di luar rumah. Itu
dianggap sebagai hiburan di sela kesibukannya mengurus rumah, merawat istri
yang sakit dan anak yang masih kecil. Kluun membuat seolah euthanasia bisa
dibenarkan demi kebaikan kedua pihak. Novel ini banyak menyisipkan lirik lagu
dari berbagai penyanyi dan band mulai dari Madonna, David Bowie sampai U2.
Saya tersentuh oleh kebaikan Dan dalam mendukung Carmen sejak hantaman
pertama. Dia selalu ada untuk Carmen. Walaupun kata “selalu ada” mempunyai
makna yang berbeda dari yang kita pikirkan. Inilah yang kumaksud tadi. Dan butuh
tenaga untuk merawat istrinya. Dia butuh kekuatan untuk mengatasi rasa
frustasinya. Tapi kekuatan itu ia dapatkan dari perempuan lain. Jadi kita akan
bertanya-tanya :
“Love, so what is love ?”
~Andre Hazes~
Nenek Hebat
dari Saga
Penulis : Yoshichi Shimada
Penerbit : Kansha Publishing
Halaman : 256
“Saat jarum jam dinding berputar ke kiri orang akan
menganggapnya rusak dan membuangnya. Manusia pun tidak boleh menengok ke
belakang, terus maju dan maju, melangkah ke depan!”
Novel ini bercerita tentang kehidupan semasa kecil Tokunaga yang tinggal
bersama neneknya di Saga selama beberapa tahun. Ibu Tokunaga terpaksa menitipkan
anaknya karena kehidupan di Hiroshima begitu sulit untuk mereka berdua,
terutama setelah jatuhnya bom atom di kota itu. Nenek Osano lahir di era Meiji
(tahun 1900). Pada masa perang tahun 1942, suaminya meninggal. Sejak saat itu
ia hidup sebagai tukang bersih-bersih di Universitas Saga yang terafiliasi
dengan SD/SMP. Bertahan hidup sambil membesarkan tujuh orang anak. Saat
Tokunaga tinggal bersama neneknya, nenek Osano sudah berusia 58 tahun, tapi
masih bekerja sebagai tukang bersih-bersih. Hidupnya jauh dari kemewahan, tapi
entah kenapa, beliau selalu saja tampak ceria dan bersemangat. Di masa-masa
tinggal bersama neneknya itulah, Tokunaga banyak belajar tentang prinsip hidup
dari sang nenek.
“Tidak ada uang, maka tidak bahagia. Menurutku, semua
orang kini kelewat terikat dengan perasaan seperti itu. kemudian, karena orang
dewasa berpikir demikian, anak-anak pun ikut dibesarkan dalam keadaan ini.”
Osano-bachan punya prinsip bahwa ada dua jalan buat orang miskin. Miskin
muram dan miskin ceria. Sulitnya hidup membuat mereka pandai berhemat. Lauk
sehari-hari mereka ambil dari apa saja yang tersangkut di galah yang ditaruh di
sungai depan rumah. Jika yang tersangkut adalah timun, maka lauk mereka hari
itu adalah acar timun. Jika yang tersangkut adalah lobak setengah rusak, maka
bagian yang rusak dibuang kemudian bagian yang masih bagus dipotong-potong lalu
direbus. Bagi kedua orang ini, sungai di depan rumah itu ibarat pasar atau mini
market. Menu sehari-hari tergantung dari apa yang tersangkut di galah.
“Sebenarnya tidaklah sulit mencapai kehidupan yang
baik. Kita hanya perlu menikmati apa pun yang terjadi dalam hidup, mensyukuri
makanan apa pun yang ada di depan mata, lalu hidup dengan tawa setiap harinya.”
Prinsip hidup yang diajarkan sang nenek terus mengakar sampai Tokunaga
dewasa. Hingga kini ia tidak mengenal kata-kata benda bermerk atau sajian
mewah. Yang ada hanya sandang, pangan dan papan dalam kehidupan yang sederhana.
Jadi teringat kata-kata Lily Franky dalam memoarnya, Tokyo Tower, bahwa memiliki uang koin seratus yen di kantong
tak dapat dikatakan miskin. Justru satu-satunya kekayaan berupa uang seribu yen
dalam dompet Louis Vuitton yang dibeli secara kredit malah lebih tergolong
miskin. Novel ini akan membuat kita bernostalgia dengan masa kecil.
Terutama jika kita besar dalam asuhan nenek.
Big Little
Lies
Penulis : Liane Moriarty
Penerbit : Gramedia
Halaman : 512
“Pembunuhan ? Kecelakaan tragis ? Yang pasti seseorag
tewas. Tapi, siapa yang melakukan apa ?”
Semuanya bermula pada hari orientasi TK di Pirriwee Public School:
ketika Jane –seorang ibu tunggal yang penuh rahasia– mengantar putranya ke
sekolah dan bertemu dengan Madeline yang sinis dan penuh semangat, serta
Celeste yang cantik tapi selalu gelisah. Saat insiden kecil yang melibatkan anak-anak
ketiga wanita itu dengan cepat berubah serius, dan bisik-bisik antar ibu
menjadi gosip-gosip jahat, tidak ada lagi yang tahu siapa yang benar dan siapa
yang berbohong. Hingga seseorang harus membayar dengan nyawa.
Awalnya saya kira ini novel kriminal yang melibatkan detektif, polisi
dan serangkaian analisis kasus. Ternyata novel tentang persahabatan.
Persahabatan antara tiga ibu rumah tangga yang dimulai sejak masa orientasi
anak-anak mereka. Madeline, ibu tiga anak yang sudah menikah dua kali. Suami
pertamanya, Nathan, meninggalkannya sewaktu anak pertama mereka –Abighail–
masih balita. Madeline kemudian menikah
dengan Ed dan lahirlah Chloe serta Fred. Sementara Nathan menikah dengan
Bonnie, wanita yang usianya lebih muda dari Madeline. Mereka memiliki anak
perempuan bernama Skye. Anak-anak mereka bersekolah di TK yang sama. Madeline
tidak pernah memaafkan mantan suaminya yang tidak bertanggungjawab itu. Setiap kali
bertemu, pasti terjadi aksi saling menyindir. Walaupun diam-diam Madeline
mengakui bahwa mantan suaminya banyak berubah sejak menikah dengan Bonnie.
Jane, ibu satu anak, orangtua tunggal yang baru pindah ke Pirriwee.
Setiap kali anaknya, Ziggy, bertanya tentang siapa ayahnya, Jane selalu
menjawab tidak tahu. Sewaktu berkenalan dengan Madeline, Jane mengaku ia pindah
karena dorongan hati mencari suasana baru. Tapi sebenarnya ada alasan lain di
balik kepindahan itu. Alasan yang nanti terungkap di akhir cerita. Dan itu
berhubungan dengan identitas ayah Ziggy.
Celeste, ibu dari si kembar Max dan Josh. Para orangtua murid di TK
seringkali iri dengan kehidupan Celeste yang sempurna. Punya wajah yang cantik,
suami yang tampan dengan kekayaan yang luar biasa banyaknya, rumah yang besar,
pakaian dan perhiasan yang mahal serta dua anak yang manis. Wanita mana yang
tidak menginginkan itu semua ? Dalam setiap pesta yang diadakan, pasangan
inilah yang paling menarik perhatian. Merekalah Raja dan Ratu Prom. Tapi
seperti kata orang, tidak ada pernikahan yang sempurna di dunia ini. Celeste berniat
meninggalkan suaminya. Dan dia punya alasan kuat untuk itu.
Madeline yang ceria dan blak-blakan, Jane yang pemalu serta Celeste yang
selalu gugup dan gelisah. Saya suka karakter ketiga wanita ini. Tapi secara
keseluruhan, saya paling suka keluarga Madeline. Mereka lucu dan hangat. Dialog
antara Madeline dengan anak-anaknya atau dengan suaminya biasanya sukses
memancing tawa. Kalau tokoh laki-laki, saya paling suka Tom O’Brien si barista. Pemilik kafe Blue Blues. Pandai
memasak, suka bermain jigsaw, menolong di saat yang tepat, kopi racikannya
membuat orang kecanduan, dan yang paling penting, seratus persen normal.
Ketiga sahabat ini rutin bertemu di kafe Blue Blues setelah seharian
sibuk membagi waktu antara mengurus pekerjaan dan mengurus anak. Masalah
dimulai ketika, anak Jane, Ziggy, dituduh sebagai perisak oleh salah seorang
anak yang menyebabkan leher anak itu lebam. Awalnya saya bingung kenapa
penerjemah memakai kata risak. Ini kata yang baru saya dengar. Menurut KBBI,
risak artinya mengganggu atau mengusik. Jadi mungkin sama dengan istilah bully.
Ngomong-ngomong
soal perisakan, ada 2 jens orang (terlalu sempit sebenarnya kalau hanya 2):
orang yang merisak dan orang yang dirisak. Kamu masuk tipe yang mana ? Yah
walaupun bisa saja seseorang menjadi perisak, kemudian di lain waktu menjadi
orang yang dirisak. Atau bisa jadi ada orang yang seumur-umur tidak pernah
merisak dan tidak pernah dirisak. Orang-orang yang sudah melewati masa sekolah
biasanya pernah mengalami perisakan dengan tingkatan berbeda. Waktu jamanku
dulu (duh, bahasa orangtua :D) perisakan belum separah sekarang. Orang yang
dirisak tidak disakiti secara fisik, tapi dikucilkan. Tidak ada yang mau
berteman atau berbicara dengannya dalam jangka waktu tertentu. Tapi semua
berubah ketika Negara Api menyerang. Hahahah… Maksudnya hal-hal semacam ini
pelan-pelan hilang sendiri dengan bertambah dewasanya seseorang. Orang yang
pernah merisakmu semasa SMP entah kenapa bisa jadi sahabatmu saat SMA. Hidup
memang penuh dengan berbagai kemungkinan. Setidaknya begitulah menurut
pengalaman saya. Baru-baru ini saya menonton serial TV bertema bullying. Judulnya 13 Reasons Why. Bercerita tentang remaja SMA bernama Hannah yang
bunuh diri. Alasan bunuh dirinya direkam dalam 13 kaset pita yang kemudian
dipaketkan ke rumah temannya. Katanya serial ini menjadi serial Netflix yang
paling laris. Tapi entah kenapa saya tidak klop dengan cerita dan
tokoh-tokohnya. Jadi saya tidak bisa mengatakan saya menyukainya.