Ada bagian dari dunia manusia yang
tidak akan bisa dipahami siapapun. Sekuat apapun orang lain berusaha
mengerti dan memahaminya, tidak akan pernah bisa. Meski telah
bersama selama bertahun-tahun, itu masih tak cukup untuk membuatmu mengenal seseorang. Jangankan orang lain, diri sendiri pun kadang
tak bisa dimengerti oleh pemiliknya. Sebagian manusia belajar menguraikannya
lewat tulisan. Tapi selalu saja ada bagian yang tak terwakili oleh
kata-kata ataupun tulisan. Dunia itu seakan-akan tidak tersentuh, tidak terjamah. Sekeras apapun kau berusaha dan seberapa seringpun kau mengulang
ceritamu, ternyata pada akhirnya hanya kau sendiri yang memahami.
Setiap manusia punya pengalaman dan masa lalu yang berbeda-beda.
Menjalani hidup yang berbeda dan juga cara berpikir yang berbeda.
Karenanya tak perlu mengasihani diri. Tak perlu mengeluh jika ternyata
kita tak bisa dipahami oleh orang lain. Namun, jika ada seseorang yang mau berada di samping kita,
menopang kita dan bersimpati meski tak memahami, rasanya sudah cukup.
Selebihnya, itulah dunia yang harus kita terima.
Medan perang telah terbentang
Bilah pedang telah terhunus
Beranikah engkau mengadapinya ?
Sekuat apa kau akan bertahan ?
Terkadang manusia belajar sesuatu dari hal yang menjadi kebalikannya.
Seperti Ikal yang belajar menghargai hidup dari Bodenga yang justru
membenci dan mengakhiri hidupnya sendiri. Kadang, kita belajar
mempertahankan diri bukan dari mereka yang mampu melakukannya. Tapi
justru sebaliknya, sambil memohon agar tidak menjadi salah satu di
antaranya. Memang bukanlah hal yang mudah untuk bertahan di tengah arus
yang semakin deras. Saat segalanya menjadi lebur tanpa warna yang tegas
memberi batas. Bukan hal yang mudah ketika melihat sekeliling dan satu
per satu telah jatuh tersungkur. Meninggalkan prinsip yang dulu ia
perjuangkan mati-matian. Meninggalkan ilmu seakan-akan tidak pernah
mendapatkannya. Meninggalkanmu yang dulu pernah berjuang bersama-sama.
Tapi tak perlu menanyakan mengapa karena
semua kembali pada kehendak Pemilik Langit yang tak bisa ditawar. Kau
hanya perlu meminta diteguhkan, Dia-lah yang memutuskan.
Kepada Engkau yang memegang hati di antara jari-jari dan membolak-balikkannya,
teguhkankan aku di jalan ini. Tinggalkan keimanan dan
keistiqomahan padaku. Jangan pernah cabut ia, kumohon jangan pernah.
Maaf jika aku tak mampu mengibas mendung yang melingkupi
Maaf jika aku bukan embun yang kau harap temui di kala pagi
Maaf jika aku bukan jingga langit senja yang selalu kau nanti
Maaf...
Tak akan tersisa
Tak akan tertinggal
Tentang hari esok
Tak akan lebih dari seharusnya
Simpan tanya itu
Senja kali ini telah berubah warna
Kembalilah...
Ke tempat di mana sayap-sayap berpulang
Kembalilah...
Ke tempat dimana hening akan menjawab
Yang kau cari
Mungkin menunggu di sana
Kau takkan pernah lupa pada wajah orang yang menjadi harapan terakhirmu
~Suzanne Collins, The Hunger Games~
Sengingat saya, terakhir kali semangat membaca buku terbitan luar
adalah saat mengkhatamkan novel debut pertama Takahashi Matsuoka-sensei
yang berjudul Samurai : Kastel Awan Burung Gereja dan Samurai : Jembatan Musim Gugur.
Membaca buku sebenarnya bisa menjadi sesuatu yang dilematis karena
pengaruh yang ditimbulkannya. Mungkin ini terdengar berlebihan, tapi
tidak buat saya. Bagi saya, membaca buku adalah proses berpindah dari
alam nyata masuk ke alam buku. Yang menjadi persoalan adalah ketika
cerita telah berakhir dan ternyata kau belum juga keluar dari buku itu.
Bisa paham sampai sini ? Jika bukunya tidak terlalu berkesan maka tidak
ada masalah. Tapi jika kesannya mendalam, tak jarang saya sering butuh
waktu satu atau dua hari untuk untuk sepenuhnya ‘keluar’ dari buku.
Saya paling suka jenis novel yang berlatar sejarah, fiksi sains dan dunia fantasi. Tiga hal yang tidak pernah bertemu satu sama lain, masa lalu, masa depan dan utopia. Mungkin ini juga yang menyebabkan saya sulit ‘keluar’ dari buku di penghujung cerita. Walau begitu, pesan-pesan yang terkandung di dalamnya sering ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Dalam novel Samurai misalnya, Matsuoka-sensei memberi peringatan bahwa dalam setiap kepemimpinan, kesetiaan selalu menemui konflik, bahkan untuk orang yang paling loyal sekalipun.
The Hunger Games merupakan novel trilogi fiksi sains yang ditulis oleh Suzanne Collins. Ketertarikan membaca novel ini muncul setelah iseng menonton filmnya. Ada banyak film yang menjadikan game maut sebagai tema cerita seperti Battle Royal (yang tak sanggup saya selesaikan). Setelah menonton, saya langsung mencari ketiga bukunya. Di antara sekian banyak buku yang pernah diterbitkan, ada buku yang dibaca dan lewat begitu saja tanpa kesan berarti. Dan ada pula beberapa buku yang mampu membuat merenung dan sering mempengaruhi beberapa hal termasuk sudut pandang selama ini telah lazim saya anut. The Hunger Games adalah jenis yang kedua.
Puluhan tahun sebelum The Hunger Games pertama kali diadakan, terjadi pemberotakan terhadap Capitol yang dilakukan oleh 13 distrik di Panem, sebuah negara yang terbentuk dari sisa-sisa Amerika Utara. Pemberontakan tersebut berhasil dipadamkan dan berakhir dengan membumihanguskan distrik 13, sehingga tersisa 12 distrik. Setelah itu dibuatlah The Hunger Games sebagai peringatan sekaligus ancaman terhadap kedua belas distrik agar tidak mengulangi pemberontakan atau nasib mereka akan sama dengan distrik 13. The Hunger Games dilaksanakan setiap tahun dan dijadikan hiburan bagi penduduk Capitol, semacam reality show yang ditayangkan di TV. Semua laki-laki dan perempuan yang berusia 12-18 tahun akan dipilih secara acak di Hari Pemungutan. Hari pemungutan merupakan hari dimana peserta yang terpilih akan mengucapkan salam perpisahan karena kemungkinan yang kembali tinggal mayatnya. Setelah hari pemungutan, terkumpullah 24 peserta dari 12 distrik yang harus bertarung sampai mati sehingga hanya tersisa satu pemenang.
Katniss Everdeen adalah seorang gadis berumur 16 tahun yang tinggal di distrik 12, sebuah distrik penambang batu bara. Ayahnya meninggal karena ledakan yang terjadi di tambang saat ia belum berumur 12 tahun. Kematian ayahnya membuat ibu Katniss trauma sehingga Katniss terpaksa menjadi tulang punggung menghidupi keluarganya. Katniss mempunyai adik perempuan bernama Primrose Everdeen, yang lebih sering dipanggil Prim. Karena miskin dan harus memberi makan keluarga, Katniss terbiasa berburu di hutan. Ia ahli menggunakan panah dan memasang jerat. Katniss mempunyai sahabat sekaligus teman berburu bernama Gale. The Hunger Games ke-74 merupakan tahun pertama nama Prim masuk dalam daftar. Setelah diacak, ternyata nama Prim yang terpilih. Katniss kemudian mengajukan diri menggantikan adiknya.
Sementara peserta laki-laki yang terpilih adalah Peeta Mellark, ia seusia dengan Katniss dan mempunyai kemampuan dalam hal kamuflase. Sehari-harinya, Peeta bekerja menghias kue di toko roti milik ayahnya. Katniss dan Peeta kemudian dibawa ke Capitol. Setiap pasangan memiliki mentor yang diambil dari pemenang Hunger Games sebelumnya dari distrik masing-masing. Mentor mereka bernama Haymitch, pemenang Hunger Games ke-50 saat ia masih berusia 16 tahun. Di Capitol mereka melakukan serangkaian persiapan dan latihan serta berbagai wawancara untuk menarik dukungan para sponsor. Bantuan dari para sponsor sangat menentukan nasib para peserta di arena nanti.
Buku pertama menceritakan perjuangan Katniss dan Peeta bertahan hidup di arena dan akhirnya membuat sejarah baru, yaitu untuk pertama kali, ada dua pemenang dalam Hunger Games. Buku kedua yang berjudul Catching Fire menceritakan beberapa bulan setelah Katniss dan Peeta memenangkan The Hunger Games ke 74. Kemenangan mereka berdua dan lambang burung Mockingjay milik Katniss telah memicu munculnya pemberontakan di beberapa distrik. Untuk meredamnya, dengan licik Presiden Snow (Pemimpin Capitol) mengubah peraturan The Hunger Games. Peserta The Hunger Games yang ke-75 atau yang lebih dikenal dengan Quarter Quell diambil dari pemenang-pemenang Hunger Games sebelumnya. Dengan kata lain, Katniss dan Peeta harus kembali lagi ke arena. Banyak tokoh-tokoh baru yang muncul dalam seri kedua ini seperti Joanna, Finnick, Beete, Mags, Annie, dll. Buku terakhir yang berjudul Mockingjay menceritakan kemunculan distrik 13, yang awalnya dianggap telah hancur ternyata masih bertahan dan bertahun-tahun membangun kekuatan bawah tanah untuk melawan Capitol. Gerakan pemberontakan semakin bergaung di setiap distrik diikuti jatuhnya kekuasaan Presiden Snow dan menjadi pertanda berakhirnya The Hunger Games. Banyak kejutan yang ditemukan di sini, salah satunya adalah hubungan antara Capitol dengan distrik 13.
Lewat buku ini, Suzanne Collins sepertinya menumpahkan kemarahannya akan tayangan reality show serta sorotan terhadap perang, kediktatoran dan penggulingan rezim dengan revolusi. Saya ngeri membayangkan jika saja game tersebut benar-benar ada suatu saat nanti. Saat dimana kau menjadi pion yang diharuskan membunuh jika tidak ingin terbunuh. Sementara di luar arena, orang-orang menontonmu bertahan hidup dan menganggapnya sebagai hiburan. Menurutku, inilah bagian yang menarik dari trilogi The Hunger Games. Seperti selalu, di antara ketiga serinya, saya paling suka buku terakhir. Untuk para tokoh, saya paling suka Peeta. Andai saja Katniss tidak diceritakan melalui sudut pandang orang pertama, saya mungkin lebih menyukainya. Tindakannya menggantikan Prim sebenarnya sudah cukup untuk membuat siapapun yakin bahwa dia adalah kakak yang baik. Meski sekuat apapun ia berusaha, pada akhirnya ia tetap tidak bisa menyelamatkan adiknya.
Tetapi karena menggunakan sudut pandang orang pertama, saya jadi terlalu sering melihat pergulatan batin dan sisi gelap yang muncul saat Katniss berjuang bertahan hidup. Sehingga benarlah kata-kata Haymitch pada Katniss bahwa ribuan kali pun ia berusaha, ia takkan pernah pantas untuk Peeta. Peeta yang tak pernah ragu melindungi Katniss, Peeta yang rela menggantikan Haymitch di Quartel Quell untuk menjaga Katniss bahkan ia sampai disiksa di Capitol yang kemudian mempengaruhi mentalnya. Dalam hal apapun, meski hanya sebagai pion, keselamatan Katniss selalu diutamakan karena ia adalah Mockingjay, lambang pemberontakan. Ending-nya juga tak bisa sebut happily ever after karena baik Katniss maupun Peeta bahkan Haymitch dan pemenang lainnya tak ada yang benar-benar pulih setelah Hunger Games. Game itu telah menjadi semacam jalan bagi siapapun untuk kehilangan dirinya demi bertahan hidup.
Untuk filmnya, bagian yang paling menyentuh sisi kemanusiaan adalah ketika semua peserta berlari menuju Carnucopia setelah gong dibunyikan. Saat itu ada seorang anak laki-laki berumur 12 tahun tewas disabet pedang Cato. Bagian ini benar-benar membuat saya shock. Manusia macam apa yang membuat permainan dengan melepas anak 12 tahun ke arena untuk dibunuh dengan keji, sementara ayah ibunya hanya menyaksikan kematian anaknya lewat TV tanpa bisa berbuat apa-apa. Semoga hanya Presiden Snow yang bisa segila itu. Terakhir, jika orang-orang kota di masa depan seperti yang digambarkan dalam The Hunger Games, maka fashion-nya benar-benar sesuatu. Operasi plastik, tatto di wajah dan tabrakan warna akan menjadi sangat lumrah. Jadi tidak sabar menanti live action lanjutannya.
Saya paling suka jenis novel yang berlatar sejarah, fiksi sains dan dunia fantasi. Tiga hal yang tidak pernah bertemu satu sama lain, masa lalu, masa depan dan utopia. Mungkin ini juga yang menyebabkan saya sulit ‘keluar’ dari buku di penghujung cerita. Walau begitu, pesan-pesan yang terkandung di dalamnya sering ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Dalam novel Samurai misalnya, Matsuoka-sensei memberi peringatan bahwa dalam setiap kepemimpinan, kesetiaan selalu menemui konflik, bahkan untuk orang yang paling loyal sekalipun.
The Hunger Games merupakan novel trilogi fiksi sains yang ditulis oleh Suzanne Collins. Ketertarikan membaca novel ini muncul setelah iseng menonton filmnya. Ada banyak film yang menjadikan game maut sebagai tema cerita seperti Battle Royal (yang tak sanggup saya selesaikan). Setelah menonton, saya langsung mencari ketiga bukunya. Di antara sekian banyak buku yang pernah diterbitkan, ada buku yang dibaca dan lewat begitu saja tanpa kesan berarti. Dan ada pula beberapa buku yang mampu membuat merenung dan sering mempengaruhi beberapa hal termasuk sudut pandang selama ini telah lazim saya anut. The Hunger Games adalah jenis yang kedua.
Puluhan tahun sebelum The Hunger Games pertama kali diadakan, terjadi pemberotakan terhadap Capitol yang dilakukan oleh 13 distrik di Panem, sebuah negara yang terbentuk dari sisa-sisa Amerika Utara. Pemberontakan tersebut berhasil dipadamkan dan berakhir dengan membumihanguskan distrik 13, sehingga tersisa 12 distrik. Setelah itu dibuatlah The Hunger Games sebagai peringatan sekaligus ancaman terhadap kedua belas distrik agar tidak mengulangi pemberontakan atau nasib mereka akan sama dengan distrik 13. The Hunger Games dilaksanakan setiap tahun dan dijadikan hiburan bagi penduduk Capitol, semacam reality show yang ditayangkan di TV. Semua laki-laki dan perempuan yang berusia 12-18 tahun akan dipilih secara acak di Hari Pemungutan. Hari pemungutan merupakan hari dimana peserta yang terpilih akan mengucapkan salam perpisahan karena kemungkinan yang kembali tinggal mayatnya. Setelah hari pemungutan, terkumpullah 24 peserta dari 12 distrik yang harus bertarung sampai mati sehingga hanya tersisa satu pemenang.
Katniss Everdeen adalah seorang gadis berumur 16 tahun yang tinggal di distrik 12, sebuah distrik penambang batu bara. Ayahnya meninggal karena ledakan yang terjadi di tambang saat ia belum berumur 12 tahun. Kematian ayahnya membuat ibu Katniss trauma sehingga Katniss terpaksa menjadi tulang punggung menghidupi keluarganya. Katniss mempunyai adik perempuan bernama Primrose Everdeen, yang lebih sering dipanggil Prim. Karena miskin dan harus memberi makan keluarga, Katniss terbiasa berburu di hutan. Ia ahli menggunakan panah dan memasang jerat. Katniss mempunyai sahabat sekaligus teman berburu bernama Gale. The Hunger Games ke-74 merupakan tahun pertama nama Prim masuk dalam daftar. Setelah diacak, ternyata nama Prim yang terpilih. Katniss kemudian mengajukan diri menggantikan adiknya.
Sementara peserta laki-laki yang terpilih adalah Peeta Mellark, ia seusia dengan Katniss dan mempunyai kemampuan dalam hal kamuflase. Sehari-harinya, Peeta bekerja menghias kue di toko roti milik ayahnya. Katniss dan Peeta kemudian dibawa ke Capitol. Setiap pasangan memiliki mentor yang diambil dari pemenang Hunger Games sebelumnya dari distrik masing-masing. Mentor mereka bernama Haymitch, pemenang Hunger Games ke-50 saat ia masih berusia 16 tahun. Di Capitol mereka melakukan serangkaian persiapan dan latihan serta berbagai wawancara untuk menarik dukungan para sponsor. Bantuan dari para sponsor sangat menentukan nasib para peserta di arena nanti.
Buku pertama menceritakan perjuangan Katniss dan Peeta bertahan hidup di arena dan akhirnya membuat sejarah baru, yaitu untuk pertama kali, ada dua pemenang dalam Hunger Games. Buku kedua yang berjudul Catching Fire menceritakan beberapa bulan setelah Katniss dan Peeta memenangkan The Hunger Games ke 74. Kemenangan mereka berdua dan lambang burung Mockingjay milik Katniss telah memicu munculnya pemberontakan di beberapa distrik. Untuk meredamnya, dengan licik Presiden Snow (Pemimpin Capitol) mengubah peraturan The Hunger Games. Peserta The Hunger Games yang ke-75 atau yang lebih dikenal dengan Quarter Quell diambil dari pemenang-pemenang Hunger Games sebelumnya. Dengan kata lain, Katniss dan Peeta harus kembali lagi ke arena. Banyak tokoh-tokoh baru yang muncul dalam seri kedua ini seperti Joanna, Finnick, Beete, Mags, Annie, dll. Buku terakhir yang berjudul Mockingjay menceritakan kemunculan distrik 13, yang awalnya dianggap telah hancur ternyata masih bertahan dan bertahun-tahun membangun kekuatan bawah tanah untuk melawan Capitol. Gerakan pemberontakan semakin bergaung di setiap distrik diikuti jatuhnya kekuasaan Presiden Snow dan menjadi pertanda berakhirnya The Hunger Games. Banyak kejutan yang ditemukan di sini, salah satunya adalah hubungan antara Capitol dengan distrik 13.
Lewat buku ini, Suzanne Collins sepertinya menumpahkan kemarahannya akan tayangan reality show serta sorotan terhadap perang, kediktatoran dan penggulingan rezim dengan revolusi. Saya ngeri membayangkan jika saja game tersebut benar-benar ada suatu saat nanti. Saat dimana kau menjadi pion yang diharuskan membunuh jika tidak ingin terbunuh. Sementara di luar arena, orang-orang menontonmu bertahan hidup dan menganggapnya sebagai hiburan. Menurutku, inilah bagian yang menarik dari trilogi The Hunger Games. Seperti selalu, di antara ketiga serinya, saya paling suka buku terakhir. Untuk para tokoh, saya paling suka Peeta. Andai saja Katniss tidak diceritakan melalui sudut pandang orang pertama, saya mungkin lebih menyukainya. Tindakannya menggantikan Prim sebenarnya sudah cukup untuk membuat siapapun yakin bahwa dia adalah kakak yang baik. Meski sekuat apapun ia berusaha, pada akhirnya ia tetap tidak bisa menyelamatkan adiknya.
Tetapi karena menggunakan sudut pandang orang pertama, saya jadi terlalu sering melihat pergulatan batin dan sisi gelap yang muncul saat Katniss berjuang bertahan hidup. Sehingga benarlah kata-kata Haymitch pada Katniss bahwa ribuan kali pun ia berusaha, ia takkan pernah pantas untuk Peeta. Peeta yang tak pernah ragu melindungi Katniss, Peeta yang rela menggantikan Haymitch di Quartel Quell untuk menjaga Katniss bahkan ia sampai disiksa di Capitol yang kemudian mempengaruhi mentalnya. Dalam hal apapun, meski hanya sebagai pion, keselamatan Katniss selalu diutamakan karena ia adalah Mockingjay, lambang pemberontakan. Ending-nya juga tak bisa sebut happily ever after karena baik Katniss maupun Peeta bahkan Haymitch dan pemenang lainnya tak ada yang benar-benar pulih setelah Hunger Games. Game itu telah menjadi semacam jalan bagi siapapun untuk kehilangan dirinya demi bertahan hidup.
Untuk filmnya, bagian yang paling menyentuh sisi kemanusiaan adalah ketika semua peserta berlari menuju Carnucopia setelah gong dibunyikan. Saat itu ada seorang anak laki-laki berumur 12 tahun tewas disabet pedang Cato. Bagian ini benar-benar membuat saya shock. Manusia macam apa yang membuat permainan dengan melepas anak 12 tahun ke arena untuk dibunuh dengan keji, sementara ayah ibunya hanya menyaksikan kematian anaknya lewat TV tanpa bisa berbuat apa-apa. Semoga hanya Presiden Snow yang bisa segila itu. Terakhir, jika orang-orang kota di masa depan seperti yang digambarkan dalam The Hunger Games, maka fashion-nya benar-benar sesuatu. Operasi plastik, tatto di wajah dan tabrakan warna akan menjadi sangat lumrah. Jadi tidak sabar menanti live action lanjutannya.
Lagi-lagi harus kuakui, aku memang tidak pandai memilih judul
tulisan. Selalu tak lebih dari dua kata dan hanya berputar dengan yang
itu-itu saja. Begitulah jika sudah malas mencari, akan kuberi judul
sembarangan. Terserah kalau mau dibilang tidak kreatif. Lagipula
ceritanya kan sedang ngelantur lagi. Jadi wajarlah.
Oh ya, hampir lupa. Jika dalam tulisan kata yang digunakan adalah “aku” dan bukan “saya” maka itu pertanda bahwa tulisan ini mungkin akan sedikit...sentimentil. Ehm, well, entah kata apa yang tepat, tapi yeah, kurang lebih semacam itulah. Dan apapun yang kau temui dalam tulisan ini, ingatlah satu hal : aku sedang ngelantur.
Hujan adalah berkah, semua orang tahu itu. Kita bahkan disunnahkan untuk berdoa saat hujan karena merupakan waktu yang mustajab. Banyak orang yang selalu menanti kedatangan hujan. Banyak orang yang membuat puisi dan cerita tentang hujan. Dan, banyak doa-doa yang terlantun ke langit saat hujan. Aku juga suka hujan. Suka melihat tetesan air yang jatuh seperti benang-benang perak dari langit. Suka melihat efek embun di kaca yang dingin. Suka minum kopi dan membaca buku saat hujan. Suka berlari menembus hujan (andai saja tidak menjadi tontonan dan disebut konyol). Intinya, aku suka hal-hal kecil yang berhubungan dengan hujan, hingga beberapa waku belakangan ini.
Seingatku, saat itu siang menjelang sore. Masih belum jelas apakah dosen masuk mengajar atau tidak. Di luar kelas, mendung mulai mengepung. Aku menoleh ke temanku yang kegirangan menanti kedatangan hujan. Ia memintaku menemaninya keluar jika hujan turun. Ia ingin melihat hujan dari tempat yang terbuka. Kelasku yang saat itu berada di lantai dua adalah tempat yang tepat. Aku mengiyakan. Ternyata kuliah batal, dosen berhalangan hadir dan hujan pun turun. Aku mengikutinya keluar dan berdiri di pinggiran koridor yang tersembunyi di samping kelas. Kulirik dia dan menemukan raut senang ketika beberapa tetes air hujan menerpa wajahnya. Yang pertama kulihat dari tempat itu adalah area parkir. Memandangi jejeran motor yang menggigil kedinginan. Lalu kualihkan mata ke arah langit. Yang kulihat hanya kelabu. Tak ada yang lain. Lama kupandang langit dan tak juga dihinggapi rasa senang, seperti seharusnya. Padahal setidaknya, aku bisa lebih baik ketika menyambut hujan seperti temanku. Namun, entah dari mana ada perasaan lain yang pelan-pelan menyelusup. Perasaan yang menggantikan tempat di mana rasa senang itu seharusnya berada. Awalnya aku tidak menyadari hingga beberapa kepingan ingatan melintas begitu saja bersama dengan jatuhnya tetesan hujan. Kepingan yang harusnya hanya muncul jika aku berada di sebuah tempat yang dipenuhi warna jingga, buku, siluet beberapa orang dan sepasang bola mata yang jauh.
Aku memikirkannya beberapa saat dan kemudian tersadar, ada sesuatu yang mengambang di dalam. Dari mengambang kemudian naik kelas menjadi kosong dan berakhir dengan hampa. Aku membenci efek ini sejak dulu karena ia kadang muncul begitu saja di saat yang tidak tepat. Ia bisa melemparku melangkahi waktu dan meninggalkanku di sana. Sementara aku bersusah payah melepaskannya, berharap secepatnya pergi dari situ. Ketenanganku pun jadi terusik karena ini. Jika terjadi di kelas, aku akan mondar mandir mencari teman untuk diajak cerita apa saja. Apa saja untuk menghilangkannya. Jika tidak bisa, akan kutinggalkan kelas dan melarikan motor ke Snoppy, mengambil buku apa pun. Buku selalu menjadi pelarian terbaik, selalu berhasil memindahkanku ke tempat lain. Setidaknya sampai aku terlelap dengan buku yang menutup wajah. Karena itulah belakangan ini, setiap subuh aku selalu berdoa agar langit cerah sepanjang hari.
Ada beberapa hal yang ingin kulepaskan dan aku selalu tak siap melakukannya. Beberapa hal yang seharusnya sejak dulu kubiarkan pergi dari ingatan. Dari kenangan. Pada akhirnya, aku hanya melarikan diri dan masih saja membawanya.
Oh ya, hampir lupa. Jika dalam tulisan kata yang digunakan adalah “aku” dan bukan “saya” maka itu pertanda bahwa tulisan ini mungkin akan sedikit...sentimentil. Ehm, well, entah kata apa yang tepat, tapi yeah, kurang lebih semacam itulah. Dan apapun yang kau temui dalam tulisan ini, ingatlah satu hal : aku sedang ngelantur.
Hujan adalah berkah, semua orang tahu itu. Kita bahkan disunnahkan untuk berdoa saat hujan karena merupakan waktu yang mustajab. Banyak orang yang selalu menanti kedatangan hujan. Banyak orang yang membuat puisi dan cerita tentang hujan. Dan, banyak doa-doa yang terlantun ke langit saat hujan. Aku juga suka hujan. Suka melihat tetesan air yang jatuh seperti benang-benang perak dari langit. Suka melihat efek embun di kaca yang dingin. Suka minum kopi dan membaca buku saat hujan. Suka berlari menembus hujan (andai saja tidak menjadi tontonan dan disebut konyol). Intinya, aku suka hal-hal kecil yang berhubungan dengan hujan, hingga beberapa waku belakangan ini.
Seingatku, saat itu siang menjelang sore. Masih belum jelas apakah dosen masuk mengajar atau tidak. Di luar kelas, mendung mulai mengepung. Aku menoleh ke temanku yang kegirangan menanti kedatangan hujan. Ia memintaku menemaninya keluar jika hujan turun. Ia ingin melihat hujan dari tempat yang terbuka. Kelasku yang saat itu berada di lantai dua adalah tempat yang tepat. Aku mengiyakan. Ternyata kuliah batal, dosen berhalangan hadir dan hujan pun turun. Aku mengikutinya keluar dan berdiri di pinggiran koridor yang tersembunyi di samping kelas. Kulirik dia dan menemukan raut senang ketika beberapa tetes air hujan menerpa wajahnya. Yang pertama kulihat dari tempat itu adalah area parkir. Memandangi jejeran motor yang menggigil kedinginan. Lalu kualihkan mata ke arah langit. Yang kulihat hanya kelabu. Tak ada yang lain. Lama kupandang langit dan tak juga dihinggapi rasa senang, seperti seharusnya. Padahal setidaknya, aku bisa lebih baik ketika menyambut hujan seperti temanku. Namun, entah dari mana ada perasaan lain yang pelan-pelan menyelusup. Perasaan yang menggantikan tempat di mana rasa senang itu seharusnya berada. Awalnya aku tidak menyadari hingga beberapa kepingan ingatan melintas begitu saja bersama dengan jatuhnya tetesan hujan. Kepingan yang harusnya hanya muncul jika aku berada di sebuah tempat yang dipenuhi warna jingga, buku, siluet beberapa orang dan sepasang bola mata yang jauh.
Aku memikirkannya beberapa saat dan kemudian tersadar, ada sesuatu yang mengambang di dalam. Dari mengambang kemudian naik kelas menjadi kosong dan berakhir dengan hampa. Aku membenci efek ini sejak dulu karena ia kadang muncul begitu saja di saat yang tidak tepat. Ia bisa melemparku melangkahi waktu dan meninggalkanku di sana. Sementara aku bersusah payah melepaskannya, berharap secepatnya pergi dari situ. Ketenanganku pun jadi terusik karena ini. Jika terjadi di kelas, aku akan mondar mandir mencari teman untuk diajak cerita apa saja. Apa saja untuk menghilangkannya. Jika tidak bisa, akan kutinggalkan kelas dan melarikan motor ke Snoppy, mengambil buku apa pun. Buku selalu menjadi pelarian terbaik, selalu berhasil memindahkanku ke tempat lain. Setidaknya sampai aku terlelap dengan buku yang menutup wajah. Karena itulah belakangan ini, setiap subuh aku selalu berdoa agar langit cerah sepanjang hari.
Ada beberapa hal yang ingin kulepaskan dan aku selalu tak siap melakukannya. Beberapa hal yang seharusnya sejak dulu kubiarkan pergi dari ingatan. Dari kenangan. Pada akhirnya, aku hanya melarikan diri dan masih saja membawanya.
Dibandingkan perasaan manusia, matematika lebih mudah dipahami
~Detective Conan~
~Detective Conan~
Subscribe to:
Posts (Atom)