“Ada beberapa hal yang tidak bisa kau kendalikan,
tidak peduli seberapa keras kau mencoba”
~Gayle Forman~
Where She Went (Setelah Dia Pergi) adalah lajutan dari If I Stay (Jika Aku Tetap Di Sini). Sebenarnya, tanpa dilanjutkan pun saya sudah puas dengan If I Stay. Pertama, yang membuat saya suka If I Stay
adalah penggambaran Mia tentang orangtuanya Denny dan Kat, kakek
neneknya, Kim sahabatnya serta Teddy, adik satu-satunya. Sementara
orangtua dan adiknya meninggal akibat kecelakaan. Berarti dalam sekuel
mereka sudah tidak ada lagi. Kalau pun ada porsinya sangat sedikit.
Kedua, saya sering menemukan sekuel dari sebuah buku tidak sebagus buku
pertama. Tapi ketika berkeliaran di Gramedia, tanpa sengaja saya
menemukan buku ini. Dan dilihat dari segi harga juga cukup terjangkau.
Jadi kubeli saja.
Where She Went menceritakan tiga tahun setelah Mia bangun dari koma. Jika dalam If I Stay, sudut pandang orang pertama adalah Mia, maka dalam Where She Went, yang menjadi narator adalah Adam. Adam dan bandnya, Shooting Star,
telah menjadi bintang rock terkenal. Lagu-lagu mereka menduduki puncak
tangga lagu selama berminggu-minggu. Sementara itu, Mia juga menjadi
bintang di kalangan musisi klasik. Dia menyelesaikan kuliahnya hanya
dalam waktu tiga tahun dan telah ditawari pekerjaan di berbagai
orkestra. Keduanya tidak pernah bertemu sejak Mia masuk sekolah musik
Juilliard. Suatu malam, sehari sebelum Adam berangkat tur ke berbagai
negara dan sebelum Mia meninggalkan New York untuk konser di Jepang dan
Korea, mereka bertemu kembali. Ada waktu sekitar 24 jam yang mereka
gunakan untuk menjelajahi kota dan mengunjungi masa lalu.
Alur yang dipakai novel ini masih sama seperti sebelumnya, maju
mundur. Temponya juga tetap cepat. Hanya saja kesan saya tidak seperti
ketika membaca buku pertama. Ini mungkin karena Adam. Berbeda dengan Mia
yang banyak bercerita tentang keluarga dan sahabatnya,
Adam lebih banyak bercerita tentang band dan pergulatan hidupnya menjadi
bintang. Dan berbeda dengan Mia yang kuat dan tegar, sikap Adam yang rapuh
di novel ini tidak membuat saya sedih, malah bikin emosi. Baiklah, saya
cukup simpati mengingat posisinya sebagai orang yang ditinggalkan. Yang
membuatnya menulis lagu, menjadi bintang, menarik diri dari orang-orang
dan lari ke alkohol dan obat-obatan. Tapi sikapnya yang selalu terpuruk
karena ditinggal Mia benar-benar membuat saya kesal. Kupikir laki-laki
tidak seharusnya seperti itu.
Endingnya juga tidak sulit ditebak. Di buku pertama, sampai beberapa
halaman sebelum terakhir, saya masih berpikir Mia akan memilih mati.
Ternyata tebakan saya meleset. Sementara di novel ini saya sudah yakin
endingnya sejak mereka bertemu di konser Mia. Dari segi sampul, saya
lebih suka sampul novel pertama. Saya lebih suka gambar kursi kosong
yang tertutup salju dibanding gambar gitar. Suasana sepinya lebih
terasa.
Sisi lain yang menarik dari novel ini adalah lirik-lirik lagu. Ada dua yang cukup berkesan yaitu yang berjudul Animate dan Roulette. Oh ya, tambahan, entah kenapa penggambaran Adam mengingatkan saya pada Alex Band, vokalisnya The Calling.
First you inspect me
Then you dissect me
Then you reject me
I wait for the day
That you’ll resurrect me
~Animate~
Then you dissect me
Then you reject me
I wait for the day
That you’ll resurrect me
~Animate~
Barrel of the gun, rounds one two three
She says I have to pick; choose you, or choose me
Metal to the temple, the explosion is deafening
Lick the blood that covers me
She’s the last one standing
~Roulette~
She says I have to pick; choose you, or choose me
Metal to the temple, the explosion is deafening
Lick the blood that covers me
She’s the last one standing
~Roulette~