“Huda, bagaimana rasanya belajar mencintai orang yang
tidak dikenal ?"
Sebuah pertanyaan singkat lewat BBM dari seorang
sahabat masuk ke ponselku sore itu. Cukup lama kupikirkan sebelum akhirnya menjawab
pesan tersebut. Pertanyaan itu akhirnya menginspirasi judul tulisan ini. Saat mencoret-coret
di microsoft word, hujan turun sepanjang pagi. Terhitung baru lima pekan sejak
kita menikah. Seperti hari ini, saat itu hujan turun deras. Sesaat sebelum kau
mengucap ijab qabul. Begitu pun saat resepsi di rumahmu, lagi-lagi hujan turun.
Beberapa hari setelahnya kau mengutip sebaris kalimat tentang hujan dan
pernikahan. Aku tersenyum mendengarnya.
Lima pekan, angka ini belum ada apa-apanya. Kita akan
menemukan banyak kejutan ke depannya. Sebab ini adalah ibadah seumur hidup, maka
kita harus siap jadi pembelajar seumur hidup. Lima pekan, cepat sekali waktu
berlalu. Kita bersama hanya dua pekan, lalu berjarak kembali. Kita belum terlalu
dekat, seperti katamu, kemudian berjauhan. Sejujurnya aku pun tidak menyukai
situasi ini. Hal yang cukup mengejutkan mengingat orang sepertiku sudah
terbiasa sendiri sebelum menikah. Jadi kupikir apa bedanya ? Ternyata sangat
berbeda. Tapi dengan jarak sementara ini, aku bisa bercerita banyak hal padamu.
Berceloteh berjam-jam di telpon sampai kuping kita panas. Sesuatu yang mungkin canggung
kulakukan jika berhadapan langsung. Maka kupahami bahwa ternyata jarak itu mampu
mendekatkan. Setidaknya itulah yang kurasakan. Bagaimana denganmu ?
Bagaimana
rasanya belajar mencintai orang yang tidak dikenal ? Jika ini ditanyakan sebelum menikah, tentu saja aku
tidak tahu jawabannya. Tapi masya Allah, benarlah bahwa cinta dan kasih sayang itu
datangnya dari Allah. Jika pernikahan diniatkan dalam rangka beribadah
kepada-Nya, Allah akan menumbuhkan perasaan itu di hati hamba-Nya. Aku pernah beranggapan
bahwa manusia itu jatuh cinta, bukan belajar mencintai. Jika mereka tidak jatuh
cinta, mereka tidak akan mampu mencintai. Betapa kelirunya. Pandangan seperti
ini, Kata Salim A. Fillah, hanya muncul dari orang yang tidak memandang cinta
sebagai kata kerja. Padahal tidak ada cinta yang tidak bisa dibangun. Sebab ia-nya
adalah kata kerja. Maka kau bisa memulainya. Dan kau selalu bisa membangunnya
kembali, insya Allah.
Allah memegang hati para hamba-Nya, dan sangat mudah
baginya membolak-balikkan hati itu sesuai kehendak-Nya. Tiada yang mustahil
jika Dia berkendak. Saat itu masih bulan Ramadhan ketika aku sedang
mengutak-atik instagram. Salah satu akun yang ku follow meng-upload gambar yang
merupakan sebuah game. Namanya game jomblo. Semacam tebak-tebakan tahun berapa
followers-nya akan menikah. Caranya dengan men-screenshoot gambar tersebut dan
melihat tahun berapa yang ter-capture. Iseng kucoba game itu dan di gambar tertulis,
“Insya Allah saya akan menikah tahun 2017” . Aku tertawa membacanya. “Mana mungkin? Tahun 2017 sudah lewat
separuh jalan. Mana mungkin aku menikah tahun ini.” Tapi Allah Maha Berkehendak. Pernyataan
sinisku terjawab hanya beberapa minggu setelah idul Fitri.
Waktu itu pukul 11 malam. Aku masih terjaga membaca
sebuah buku. Lalu pesan dari salah satu sepupu masuk ke WhatsApp hpku. Sepupuku
yang satu ini adalah tipe serius. Ia tidak akan mengirim pesan jika bukan hal
penting. Salam pembuka basa-basinya pun sangat singkat, hanya sebaris kalimat.
Lalu ia mengutarakan maksudnya ; memperkenalkanmu. Aku sudah bersiap menolak
sebab menikah tidak masuk targetku tahun ini, tahun depan atau bahkan tahun
depannya lagi. Bicara soal target, aku menjadikan orangtuaku sebagai gold standard. Ibuku menikah ketika berusia 29 tahun,
karenanya aku santai saja menanggapi pertanyaan “Kapan nikah?” dari orang-orang. Selain itu, pernikahan adalah
sesuatu yang sungguh rumit bagiku.
Maka sepupu memintaku memikirkannya kembali. Ingin
sekali kukatakan saat itu bahwa aku tidak perlu mikir dua kali. Tapi betapa
tidak santunnya jika kutolak maksud baiknya. Jadi begitulah, aku diminta
berpikir selama beberapa hari. Dan selama beberapa hari itu pula, entah kenapa
hal-hal di sekitarku seperti kompak berkonspirasi dengan caranya masing-masing.
Seperti salah satu akun instagram yang ku follow. Akun itu biasanya memposting gambar
atau video terkait motivasi beramal saleh, tentang perkara halal-haram atau
perkara aqidah lainnya. Tapi selama beberapa hari itu, entah kenapa
postingannya lebih banyak tentang pernikahan. Ta’lim yang rutin kuikuti setiap
senin, yang tema utamanya adalah fikih malah nyerempet ke pernikahan. Bahkan
murabbiku pun ketika mentarbiyah kami saat itu tiba-tiba membahas panjang lebar
tentang pernikahan. Padahal kami sangat jarang membahas tema ini. Beberapa hari
kemudian sepupu kembali menghubungiku. Maka kucoba mengikuti arahannya.
Aku tidak mengenalmu, bertemu pun tidak pernah. Tapi lingkaran kita ternyata beririsan. Kita dihubungkan lewat benang-benang
yang jaraknya ratusan kilo. Aku di kota ini, sepupuku di Makassar dan kau sedang
di Bogor sana. Ketika sepupuku mulai mencocokkan jadwal pertemuan, aku semakin
ketar-ketir. Ini pertama kalinya menjalani proses yang disebut ta’aruf. Tapi
sungguh sulit mempertemukan jadwal. Maka kukatakan pada sepupu bahwa jika
jadwalnya tidak ketemu sampai aku pulang ke kampung untuk idul adha maka
sebaiknya dihentikan saja. Kuputuskan seperti itu agar proses ini tidak
berlarut. Take it or leave it. Aku
sudah siap pulang keesokan harinya dan kupikir proses itu akan berhenti ketika
sepupuku tiba-tiba mengabarkan kau akan datang sore nanti. Ia memintaku menepati
janji untuk melanjutkannya. Maka perasaanku pun semakin tidak karuan. Selepas
ashar sambil berjalan kaki menuju kediaman sepupu, aku mendengar murattal lewat
earphone yang saat itu sedang memutar surah Al Furqaan. Ketika tiba di ayat 74
tiba-tiba saja aku menangis untuk alasan yang entah apa. Kupikir itu mungkin semacam
firasat bahwa inilah saatnya bersiap pindah, insya Allah.
Jadi, di sanalah pertama kali aku bertemu denganmu.
Dan Allah memudahkan proses ini dalam keluarga. Setelah shalat istikharah
sampai tiga kali, aku memberanikan diri bicara pada ibu. Sedikit tidak percaya beliau
langsung mengiyakan. Malah dialah yang menguatkan dan membesarkan hatiku. Salah
satu hal yang menjadi pertimbanganku melangkah ke tahap berikutnya adalah karena
prosesnya. Salim A. Fillah dalam buku Bahagianya
Merayakan Cinta menulis bahwa gejala kedua dari pernikahan yang barakah
adalah proses menujunya sesuai syariat. Kita menginginkan pernikahan yang
berkah, maka kita berusaha menjaga koridor yang sudah ditetapkan. Kita
dipertemukan secara baik-baik. Komunikasi hanya lewat perantara sepupu. Aku
tidak tahu nomor hpmu, tidak tahu akun media sosialmu dan tidak ingin mencari
tahu. Semua informasi tentangmu berasal dari sepupu dan sedikit dari teman
kuliahku yang ternyata adalah temanmu semasa SMA. Bumi bisa sekecil ini
rupanya. Kita mengharapkan pernikahan yang barakah. Maka kita memohon ampun
kepada Allah atas ketidakmaksimalan usaha kita pada yang lainnya.
Aku pernah berdoa, dulu sekali, bahwa aku ingin
dipertemukan dengan orang yang tidak kukenal dan tidak pernah kutemui
sebelumnya. Dengan begitu aku akan belajar mengenal dan memahaminya dari awal. Aku
juga pernah berdoa bahwa jika memang ditakdirkan menikah, maka aku berharap
tidak perlu menjalani ta’aruf berkali-kali untuk bertemu dengannya. Dan Allah
mengabulkannya dalam satu waktu. Semoga kita termasuk orang yang jujur pada Allah
atas niat-niat kita. Dengan begitu Dia akan menggenapkannya untuk kita. Semoga
Allah memberkahi pernikahan ini. Dan semoga kita bisa menjadi sahabat dalam
agama, dalam urusan dunia dan akhirat.
Jadi, bagaimana
rasanya belajar mencintai orang yang tidak dikenal ?
Hmm…kayak ada nano-nanonya gitu. ^_^