Dua hari
terakhir saya habiskan meringkuk membaca buku. Selepas ujian, sepupu mengajak
nginap di rumah barunya. Sesampai di sana telah terjadi transaksi tukar menukar
buku. Sepupu punya teman seorang dosen komunikasi. Mereka seangkatan waktu kuliah
walau berbeda jurusan. Sama-sama suka baca novel. Dan, sama-sama betah
melajang. Kedatangan saya menggenapkan mereka bertiga baik dari segi jumlah,
maupun status.
Sepanjang malam kami larut dalam bacaan masing-masing. Teman sepupu membaca salah satu novel Tere-Liye di dekat tangga. Sepupu satu membaca buku komedi di depan pintu kamar dan sepupu satunya lagi membaca novel lain yang bercerita tentang perempuan usia lewat 30 tahun, hidup mandiri, tapi belum menikah. Saya memasang wajah pura-pura prihatin melihat novel itu. Merasa diledek, dia pun mengibaskan tangannya, mengusir saya keluar kamar. Saya memilih ruang tengah untuk membaca, dengan TV yang sudah berjam-jam menyala tapi tak dilirik oleh penghuni.
Salah satu buku komedi yang sejak siang saya baca sudah hampir khatam. Saya ingin membaca buku lucu lagi. Masih ingin tertawa lagi. Maksudnya, tertawa karena membaca buku. Kalau hanya sekadar tertawa, berdiskusi dengan sepupu sudah cukup. Dia punya selera humor yang bagus. Tapi ada perbedaan antara tertawa karena mendengar kelucuan dengan membaca kelucuan. Berhubung si sepupu belum selesai dengan buku di tangannya, saya mengambil buku lain dalam ransel. Just One Day, karya terbaru Gayle Forman. Awalnya saya tak berniat membeli buku ini. Target sebenarnya adalah buku terbaru Salim A. Fillah, Lapis-Lapis Keberkahan, yang sepertinya belum tersedia di Makassar. Karena tidak ingin pulang dengan tangan kosong, saya mencari buku lain. Dari jarak dekat terlihat IQ84 jilid 3 karya Haruki Murakami. Saya menimang buku itu cukup lama. Jilid 1 dan 2 sudah dikhatamkan beberapa bulan lalu. Bagaimana pun, penasaran juga dengan akhir kisah Kepompong Udara.
Saya mulai mengoleksi buku penulis Jepang ini sejak membaca karya perdananya, Dengarlah Nyanyian Angin (Kaze No Uta O Kike). Tapi, membaca buku-buku Murakami membuat saya seperti diliputi kegelapan. Seperti ada awan mendung yang muncul di atas kepala saya. Lalu cairan hitam pelan-pelan turun dari awan itu. Kelam. Di satu sisi, saya menyukai cara tokoh-tokohnya bercerita. Penokohannya kuat. Penggambarannya rumit dan mendetail. Tapi di sisi lain, saya frustasi dengan nuansa yang begitu murung, suram dan sunyi. Ada jenis buku yang tak masalah kau membacanya berulang-ulang. Kau akan baik-baik saja. Malah kau bisa merasa lebih baik dengan membaca ulang. Dan ada jenis buku, yang cukup sekali kau membacanya, atau kau bisa gila. Karya Murakami masuk jenis kedua. Saya berharap bisa membaca karyanya yang lebih cerah, ceria dan lebih “normal”.
Saya meletakkan buku itu ke tempat semula dan berjalan malas menuju komputer, mengetikkan kata kunci, Prie GS. Tidak ada buku baru. Andrea Hirata, juga tidak ada yang baru. Tiba-tiba saya teringat Gayle Forman, dan cepat-cepat mengetikkan namanya pada kolom pengarang. Saat hasil keluar, saya bersorak dalam hati melihat karya terbaru penulis ini terpampang di layar komputer.
Saya hanya membaca novel-novel tertentu. Karya penulis-penulis tertentu. Di toko buku ada ratusan novel dengan desain cover yang semakin hari semakin menarik. Jumlah yang sebanyak itu malah membuat saya malas melihatnya. Kalau bukan karena rekomendasi orang lain atau secara tak sengaja membaca yang bagus, saya tidak akan tertarik dengan karya berikutnya. Di toko buku, orang-orang bisa memborong puluhan novel sampai-sampai saya berpikir mereka butuh kardus untuk membawa pulang tumpukan buku itu. Sementara saya, hanya tertarik pada beberapa penulis. Mungkin karena jarang mencoba membaca karya lain. Sama seperti makanan. Saya bukan tipe orang yang suka mencoba aneka makanan. Selera makanan jarang berubah, selalu yang itu-itu saja. Tapi sekali suka, bisa kecanduan. Karenanya, efek yang ditimbulkan pasca membaca bisa jadi serius. Itulah mengapa Yoru, yang sedang tergila-gila pada penulis India, Chitra Banerjee Divakaruni, pernah berkata bahwa penulis adalah orang yang paling “jahat” sedunia. Kutambahkan, penulis itu, bukan hanya orang paling jahat, tapi juga paling baik.
Eh, sebenarnya saya ini mau nulis apa ya. Ah, sudahlah…
Sepanjang malam kami larut dalam bacaan masing-masing. Teman sepupu membaca salah satu novel Tere-Liye di dekat tangga. Sepupu satu membaca buku komedi di depan pintu kamar dan sepupu satunya lagi membaca novel lain yang bercerita tentang perempuan usia lewat 30 tahun, hidup mandiri, tapi belum menikah. Saya memasang wajah pura-pura prihatin melihat novel itu. Merasa diledek, dia pun mengibaskan tangannya, mengusir saya keluar kamar. Saya memilih ruang tengah untuk membaca, dengan TV yang sudah berjam-jam menyala tapi tak dilirik oleh penghuni.
Salah satu buku komedi yang sejak siang saya baca sudah hampir khatam. Saya ingin membaca buku lucu lagi. Masih ingin tertawa lagi. Maksudnya, tertawa karena membaca buku. Kalau hanya sekadar tertawa, berdiskusi dengan sepupu sudah cukup. Dia punya selera humor yang bagus. Tapi ada perbedaan antara tertawa karena mendengar kelucuan dengan membaca kelucuan. Berhubung si sepupu belum selesai dengan buku di tangannya, saya mengambil buku lain dalam ransel. Just One Day, karya terbaru Gayle Forman. Awalnya saya tak berniat membeli buku ini. Target sebenarnya adalah buku terbaru Salim A. Fillah, Lapis-Lapis Keberkahan, yang sepertinya belum tersedia di Makassar. Karena tidak ingin pulang dengan tangan kosong, saya mencari buku lain. Dari jarak dekat terlihat IQ84 jilid 3 karya Haruki Murakami. Saya menimang buku itu cukup lama. Jilid 1 dan 2 sudah dikhatamkan beberapa bulan lalu. Bagaimana pun, penasaran juga dengan akhir kisah Kepompong Udara.
Saya mulai mengoleksi buku penulis Jepang ini sejak membaca karya perdananya, Dengarlah Nyanyian Angin (Kaze No Uta O Kike). Tapi, membaca buku-buku Murakami membuat saya seperti diliputi kegelapan. Seperti ada awan mendung yang muncul di atas kepala saya. Lalu cairan hitam pelan-pelan turun dari awan itu. Kelam. Di satu sisi, saya menyukai cara tokoh-tokohnya bercerita. Penokohannya kuat. Penggambarannya rumit dan mendetail. Tapi di sisi lain, saya frustasi dengan nuansa yang begitu murung, suram dan sunyi. Ada jenis buku yang tak masalah kau membacanya berulang-ulang. Kau akan baik-baik saja. Malah kau bisa merasa lebih baik dengan membaca ulang. Dan ada jenis buku, yang cukup sekali kau membacanya, atau kau bisa gila. Karya Murakami masuk jenis kedua. Saya berharap bisa membaca karyanya yang lebih cerah, ceria dan lebih “normal”.
Saya meletakkan buku itu ke tempat semula dan berjalan malas menuju komputer, mengetikkan kata kunci, Prie GS. Tidak ada buku baru. Andrea Hirata, juga tidak ada yang baru. Tiba-tiba saya teringat Gayle Forman, dan cepat-cepat mengetikkan namanya pada kolom pengarang. Saat hasil keluar, saya bersorak dalam hati melihat karya terbaru penulis ini terpampang di layar komputer.
Saya hanya membaca novel-novel tertentu. Karya penulis-penulis tertentu. Di toko buku ada ratusan novel dengan desain cover yang semakin hari semakin menarik. Jumlah yang sebanyak itu malah membuat saya malas melihatnya. Kalau bukan karena rekomendasi orang lain atau secara tak sengaja membaca yang bagus, saya tidak akan tertarik dengan karya berikutnya. Di toko buku, orang-orang bisa memborong puluhan novel sampai-sampai saya berpikir mereka butuh kardus untuk membawa pulang tumpukan buku itu. Sementara saya, hanya tertarik pada beberapa penulis. Mungkin karena jarang mencoba membaca karya lain. Sama seperti makanan. Saya bukan tipe orang yang suka mencoba aneka makanan. Selera makanan jarang berubah, selalu yang itu-itu saja. Tapi sekali suka, bisa kecanduan. Karenanya, efek yang ditimbulkan pasca membaca bisa jadi serius. Itulah mengapa Yoru, yang sedang tergila-gila pada penulis India, Chitra Banerjee Divakaruni, pernah berkata bahwa penulis adalah orang yang paling “jahat” sedunia. Kutambahkan, penulis itu, bukan hanya orang paling jahat, tapi juga paling baik.
Eh, sebenarnya saya ini mau nulis apa ya. Ah, sudahlah…