Kemarin siang
saya berkeliaran di jalan raya memburu alamat rumah. Setelah keliling beberapa
lama, alamat itu belum juga ditemukan, padahal jarum tanki sudah menunjuk garis
merah tanda bensin sekarat. Akhirnya saya memutuskan mengisi bensin dulu
di SPBU terdekat. Tidak ingin kejadian dorong-mendorong motor terulang lagi karena
kehabisan bensin. Selesai mengisi bensin, pencarian dilanjutkan kembali.
Berdasarkan petunjuk lewat sms, rumah itu berada di dalam kompleks dekat sebuah
yayasan. Tetapi ada dua kompleks yang berdampingan di wilayah itu. Saya memilih
masuk kompeks pertama. Setiap orang yang saya temui dan tanyakan tentang alamat
itu menggeleng tidak tahu. Orang terakhir malah tersenyum simpul ketika ditanya
letak alamat tersebut.
“Jalan Kebahagiaan ? Kedengarannya menarik. Sepertinya saya juga harus mencari jalan itu”, katanya menahan senyum.
Gubrakkk…
“Bukan, maksudnya Jalan Kebahagiaan Utara blok a. Tahu ?”
“Maaf, tidak tahu”
Karena tidak dapat juga, saya memutuskan mencari di kompleks kedua yang berada tepat di samping kompleks pertama. Setelah mutar-mutar, belok kiri belok kanan, akhirnya ketemu juga alamat yang dimaksud. Ternyata letaknya tidak jauh dari gerbang masuk. Saya saja yang terlalu jauh mencari ke belakang. Jalan itu malah masih terlihat dari kompleks pertama. Jadi kepikiran, apa sebegitu parahnya pengaruh individualisme sampai-sampai tidak mengenal nama jalan yang berada tepat di samping kompleksnya ? Sekuat itukah dinding pemisah setinggi 2 meter untuk menjauhkan jarak yang sebenarnya dekat ? Ah sudahlah. Toh, alamat yang saya cari sudah ditemukan.
Alamat itu adalah alamat baru teman saya. Setelah menikah dia dan suaminya pindah rumah. Tetapi selama tinggal di rumah baru, saya belum pernah berkunjung ke sana. Tujuan utama sebenarnya untuk meminta dijahitkan selembar kain. Sejak pekan lalu ibu terus mendesak agar membawa kain itu ke penjahit karena harus saya kenakan dalam sebuah acara bulan depan. Teman saya terampil menjahit. Daripada membawanya ke tempat lain, lebih baik bawa ke dia saja. Setelah ngobrol beberapa lama, dia pun memberikan pilihan berbagai model pakaian. Banyaknya pilihan yang ditawarkan membuat saya bingung sendiri. Harusnya sebelum datang saya minta saja dia menyiapkan tiga model supaya lebih gampang memilih.
Setelah membolak-balik berbagai gambar, saya pun menunjuk satu model pakaian. Dia lalu menjelaskan panjang lebar mengenai model itu termasuk beberapa bahan tambahan yang diperlukan. Saya sesekali menimpali dengan “hmm” dan “oh, begitu”. Setelah itu, dia memastikan sekali lagi dan saya jawab oke. Gambar ditutup. Teman saya berjalan ke meja mengambil alat ukur dan memberi isyarat agar saya mendekat. Saat berdiri di hadapannya, tiba-tiba saya berubah pikiran.
“Kak, rencana berubah. Model yang tadi tidak jadi. Ganti dengan yang lebih simpel. Tidak perlu bahan tambahan. Cukupkan dengan kain yang ada.”
Dia yang sudah siap dengan meteran di tangannya terdiam, menatap saya lekat-lekat. Beberapa detik berlalu, tawanya pecah. Kening saya berkerut.
“Kenapa ketawa, kak ?”, tanya saya bingung.
“Tidak. Tiidak ji. Bukan apa-apa. Hmm, tapi untuk persoalan yang lebih serius, jangan begitu ya”
“Persoalan yang lebih serius, misalnya ?”
“Misalnya, ada yang datang. Kamu sudah mengiyakan. Semua sudah setuju. Tapi tiba-tiba kamu batalkan sendiri. Bisa gawat, kan kalau begitu”
Seperti menyadari hal penting yang luput dari perhatian, saya tertegun sejenak. Diikuti anggukan kepala tanda setuju.
“Iya ya”
“Makanya jangan plin-plan”
Dalam perjalanan pulang, kata-katanya masih terus berputar di kepala. Jangan plin-plan. Pada situasi tertentu, saya bisa bersikap tegas. Bisa mengambil keputusan dengan penuh keyakinan. Entah keputusan itu tepat atau tidak, sebab yang ditekankan adalah keyakinan saya ketika memutuskan. Setelah menakar berbagai kemungkinan tentunya. Yang saya sesali adalah jika ragu-ragu dengan keputusan yang saya ambil. Sampai kapan pun saya tidak akan tenang.
Pada situasi berbeda, saya juga bisa bersikap tidak jelas seperti tadi. Merasa blank, tak ada petunjuk untuk mengambil keputusan. Terlebih untuk sesuatu yang bersifat dadakan sementara tidak ada rencana atau persiapan sebelumnya. Biasanya, saya merencanakan sesuatu berurutan dan melakukannya sesuai rencana yang dibuat. Tapi seringnya, sesuatu yang tidak direncanakanlah yang justru terjadi. Seperti ungkapan terkenal John Lennon bahwa Life is what happens to you while you’re busy making other plans. Atau seperti nasihat kultum pondokan pada suatu malam bahwa di atas rencana kita, ada rencana Allah.
Sejauh ini memang belum ada persoalan serius tingkat internasional menyangkut ke-plin-planan itu. Tapi kata-kata teman tadi, terus terang, membuat saya takut jika suatu saat benar-benar dihadapkan pada persoalan serius dan harus mengambil keputusan yang cepat dan tegas. Semoga saat itu tiba, saya diberi keyakinan kuat dan dituntun pada keputusan yang tepat.
“Jalan Kebahagiaan ? Kedengarannya menarik. Sepertinya saya juga harus mencari jalan itu”, katanya menahan senyum.
Gubrakkk…
“Bukan, maksudnya Jalan Kebahagiaan Utara blok a. Tahu ?”
“Maaf, tidak tahu”
Karena tidak dapat juga, saya memutuskan mencari di kompleks kedua yang berada tepat di samping kompleks pertama. Setelah mutar-mutar, belok kiri belok kanan, akhirnya ketemu juga alamat yang dimaksud. Ternyata letaknya tidak jauh dari gerbang masuk. Saya saja yang terlalu jauh mencari ke belakang. Jalan itu malah masih terlihat dari kompleks pertama. Jadi kepikiran, apa sebegitu parahnya pengaruh individualisme sampai-sampai tidak mengenal nama jalan yang berada tepat di samping kompleksnya ? Sekuat itukah dinding pemisah setinggi 2 meter untuk menjauhkan jarak yang sebenarnya dekat ? Ah sudahlah. Toh, alamat yang saya cari sudah ditemukan.
Alamat itu adalah alamat baru teman saya. Setelah menikah dia dan suaminya pindah rumah. Tetapi selama tinggal di rumah baru, saya belum pernah berkunjung ke sana. Tujuan utama sebenarnya untuk meminta dijahitkan selembar kain. Sejak pekan lalu ibu terus mendesak agar membawa kain itu ke penjahit karena harus saya kenakan dalam sebuah acara bulan depan. Teman saya terampil menjahit. Daripada membawanya ke tempat lain, lebih baik bawa ke dia saja. Setelah ngobrol beberapa lama, dia pun memberikan pilihan berbagai model pakaian. Banyaknya pilihan yang ditawarkan membuat saya bingung sendiri. Harusnya sebelum datang saya minta saja dia menyiapkan tiga model supaya lebih gampang memilih.
Setelah membolak-balik berbagai gambar, saya pun menunjuk satu model pakaian. Dia lalu menjelaskan panjang lebar mengenai model itu termasuk beberapa bahan tambahan yang diperlukan. Saya sesekali menimpali dengan “hmm” dan “oh, begitu”. Setelah itu, dia memastikan sekali lagi dan saya jawab oke. Gambar ditutup. Teman saya berjalan ke meja mengambil alat ukur dan memberi isyarat agar saya mendekat. Saat berdiri di hadapannya, tiba-tiba saya berubah pikiran.
“Kak, rencana berubah. Model yang tadi tidak jadi. Ganti dengan yang lebih simpel. Tidak perlu bahan tambahan. Cukupkan dengan kain yang ada.”
Dia yang sudah siap dengan meteran di tangannya terdiam, menatap saya lekat-lekat. Beberapa detik berlalu, tawanya pecah. Kening saya berkerut.
“Kenapa ketawa, kak ?”, tanya saya bingung.
“Tidak. Tiidak ji. Bukan apa-apa. Hmm, tapi untuk persoalan yang lebih serius, jangan begitu ya”
“Persoalan yang lebih serius, misalnya ?”
“Misalnya, ada yang datang. Kamu sudah mengiyakan. Semua sudah setuju. Tapi tiba-tiba kamu batalkan sendiri. Bisa gawat, kan kalau begitu”
Seperti menyadari hal penting yang luput dari perhatian, saya tertegun sejenak. Diikuti anggukan kepala tanda setuju.
“Iya ya”
“Makanya jangan plin-plan”
Dalam perjalanan pulang, kata-katanya masih terus berputar di kepala. Jangan plin-plan. Pada situasi tertentu, saya bisa bersikap tegas. Bisa mengambil keputusan dengan penuh keyakinan. Entah keputusan itu tepat atau tidak, sebab yang ditekankan adalah keyakinan saya ketika memutuskan. Setelah menakar berbagai kemungkinan tentunya. Yang saya sesali adalah jika ragu-ragu dengan keputusan yang saya ambil. Sampai kapan pun saya tidak akan tenang.
Pada situasi berbeda, saya juga bisa bersikap tidak jelas seperti tadi. Merasa blank, tak ada petunjuk untuk mengambil keputusan. Terlebih untuk sesuatu yang bersifat dadakan sementara tidak ada rencana atau persiapan sebelumnya. Biasanya, saya merencanakan sesuatu berurutan dan melakukannya sesuai rencana yang dibuat. Tapi seringnya, sesuatu yang tidak direncanakanlah yang justru terjadi. Seperti ungkapan terkenal John Lennon bahwa Life is what happens to you while you’re busy making other plans. Atau seperti nasihat kultum pondokan pada suatu malam bahwa di atas rencana kita, ada rencana Allah.
Sejauh ini memang belum ada persoalan serius tingkat internasional menyangkut ke-plin-planan itu. Tapi kata-kata teman tadi, terus terang, membuat saya takut jika suatu saat benar-benar dihadapkan pada persoalan serius dan harus mengambil keputusan yang cepat dan tegas. Semoga saat itu tiba, saya diberi keyakinan kuat dan dituntun pada keputusan yang tepat.