Menuntut ilmu membutuhkan
kesabaran. Semangat generasi salaf dalam mencari ilmu tak jarang mengundang decak
kagum. Seorang Ibnu Abbas pernah tidur berbantal kain hingga tertutup pasir di
depan pintu rumah salah satu shahabat Nabi demi mendengar hadits Rasulullah. Seorang
Abdullah
bin Hamud Az Zubaidi pernah tidur di kandang ternak gurunya agar bisa mendahului
murid-murid lain dan bisa
mengajukan pertanyaan sebanyak mungkin sebelum orang berdatangan. Seorang Ibnu Jandal Al Qurthubi pernah terkelupas
daging punggungnya karena melewati terowongan bawah tanah yang sempit demi
mengikuti sebuah majelis ilmu.
Seorang Imam Asy-Syafi’i yang yatim harus menulis ilmu di atas tulang putih sebab ibunya tak mampu membeli kertas. Seorang Abu Manshur Muhammad bin Husain An Naisaburi yang faqir menulis pelajaran dan mengulangi membacanya di bawah cahaya rembulan sebab tidak punya sesuatu untuk membeli minyak tanah. Ada pula ulama yang menempuh perjalanan satu bulan hanya demi memperbaiki satu hadits yang didengarnya. Betapa kita berhutang pada generasi tersebut atas hadits-hadits shahih yang sampai kepada kita saat ini. Mereka yang paham bahwa meski seluruh hidupnya digadaikan untuk ilmu, sang ilmu hanya memberikan sebagian dari dirinya. Maka bila semangat menekuni ilmu itu hanya setengah-setengah, ilmu pun akan memberikan dirinya lebih sedikit lagi.
Tidak hanya menjaga semangat, ulama salaf juga senantiasa menjaga kelurusan niat. Sebab sebagaimana adab pertama menuntut ilmu harus dengan niat ikhlas, maka hal pertama yang menghalangi masuknya ilmu adalah niat yang rusak. Niat bisa rusak karena adanya kecintaan akan popularitas. Ingin didengar, ingin terkenal dan ingin mendapat pujian dari manusia. Karenanya, popularitas menjadi sesuatu yang paling dijauhi para ulama. Sofyan ats-Tsauri pernah berkata bahwa tidak ada perkara yang lebih berat dan senantiasa beliau perbaiki selain niat. Beliau adalah seorang imam hadits yang bila bepergian, tidak ingin dikawal oleh murid-muridya. Yang bila melewati keramaian, akan mencari jalanan sepi karena takut orang-orang akan menyambutnya. Keikhlasan semacam inilah yang membuat mereka semakin tawadhu setiap kali keluar dari majelis ilmu.
Membaca dan menelaah banyak buku adalah salah satu cara menimba ilmu. Kitab-kitab warisan para ulama telah banyak diterjemahkan hingga akhirnya sampai ke tangan kita. Tetapi buku, akan menjadi sumber petaka bila yang dominan hanya mengumpulkan atau sebatas membaca untuk menambah pengetahuan, dan tidak dibarengi dengan amalan. Buku menjadi petaka ketika pemilik hanya menjadi kolektor demi memenuhi ruang-ruang kosong dalam lemari. Buku menjadi petaka ketika semangat baru muncul bila ada diskon buku, tetapi minus dalam penerapan. Ulama terdahulu menuntut ilmu bukan dengan mengoleksi buku. Mereka mencari ilmu dengan melakukan perjalanan mendatangi ratusan guru. Ilmu yang diperoleh itu kemudian dicatat dalam kitab-kitab. Begitulah seharusnya seorang penuntut ilmu.
(Kumpulan nasihat murabbiyah di akhir pekan). Nasihat yang dalam, kak…
Seorang Imam Asy-Syafi’i yang yatim harus menulis ilmu di atas tulang putih sebab ibunya tak mampu membeli kertas. Seorang Abu Manshur Muhammad bin Husain An Naisaburi yang faqir menulis pelajaran dan mengulangi membacanya di bawah cahaya rembulan sebab tidak punya sesuatu untuk membeli minyak tanah. Ada pula ulama yang menempuh perjalanan satu bulan hanya demi memperbaiki satu hadits yang didengarnya. Betapa kita berhutang pada generasi tersebut atas hadits-hadits shahih yang sampai kepada kita saat ini. Mereka yang paham bahwa meski seluruh hidupnya digadaikan untuk ilmu, sang ilmu hanya memberikan sebagian dari dirinya. Maka bila semangat menekuni ilmu itu hanya setengah-setengah, ilmu pun akan memberikan dirinya lebih sedikit lagi.
Tidak hanya menjaga semangat, ulama salaf juga senantiasa menjaga kelurusan niat. Sebab sebagaimana adab pertama menuntut ilmu harus dengan niat ikhlas, maka hal pertama yang menghalangi masuknya ilmu adalah niat yang rusak. Niat bisa rusak karena adanya kecintaan akan popularitas. Ingin didengar, ingin terkenal dan ingin mendapat pujian dari manusia. Karenanya, popularitas menjadi sesuatu yang paling dijauhi para ulama. Sofyan ats-Tsauri pernah berkata bahwa tidak ada perkara yang lebih berat dan senantiasa beliau perbaiki selain niat. Beliau adalah seorang imam hadits yang bila bepergian, tidak ingin dikawal oleh murid-muridya. Yang bila melewati keramaian, akan mencari jalanan sepi karena takut orang-orang akan menyambutnya. Keikhlasan semacam inilah yang membuat mereka semakin tawadhu setiap kali keluar dari majelis ilmu.
Membaca dan menelaah banyak buku adalah salah satu cara menimba ilmu. Kitab-kitab warisan para ulama telah banyak diterjemahkan hingga akhirnya sampai ke tangan kita. Tetapi buku, akan menjadi sumber petaka bila yang dominan hanya mengumpulkan atau sebatas membaca untuk menambah pengetahuan, dan tidak dibarengi dengan amalan. Buku menjadi petaka ketika pemilik hanya menjadi kolektor demi memenuhi ruang-ruang kosong dalam lemari. Buku menjadi petaka ketika semangat baru muncul bila ada diskon buku, tetapi minus dalam penerapan. Ulama terdahulu menuntut ilmu bukan dengan mengoleksi buku. Mereka mencari ilmu dengan melakukan perjalanan mendatangi ratusan guru. Ilmu yang diperoleh itu kemudian dicatat dalam kitab-kitab. Begitulah seharusnya seorang penuntut ilmu.
(Kumpulan nasihat murabbiyah di akhir pekan). Nasihat yang dalam, kak…