Kebanyakan
orang menyukai drama. Mungkin karena itu, tayangan sinetron tak pernah berhenti.
Karena itu drama Korea sangat digemari. Karena itu film-film India tak pernah
mati. Di kos saya, terutama di area belakang adalah penggemar berat drama Korea.
Setelah menonton, bisa dipastikan dapur akan heboh oleh komentar para penonton.
Saya pernah melihat teman kos geleng-geleng kepala sambil memegang keningnya
seperti sedang depresi. Setelah ditanya barulah saya paham, dia masih kepikiran
drama korea yang baru saja ditontonnya.
Dari segi jenis drama, penghuni kos saya terbagi beberapa kecenderungan. Ada penyuka drama Korea, ada penyuka film India, ada penyuka film Indonesia asal pemerannya Reza Rahadian dan ada penyuka drama jepang. Beberapa kali saya ditawari nonton drama korea, tapi sangat jarang ada yang menarik, atau minimal memancing rasa penasaran. Saya selalu tidak bisa menyelesaikan episode pertama. Kalau satu episode saja tidak bisa selesai, bagaimana lagi episode selanjutnya. Selain itu, jujur saja, drama korea sering membuat saya bingung. Semuanya cantik, dan agak mirip satu sama lain. Saya jadi kesulitan membedakan setiap tokoh. Saya juga tidak suka adegan drama yang pemerannya menangis keras, kadang lebih cocok disebut berteriak dibanding menangis. Sejauh pengamatan saya, drama Korea banyak menampilkan hal semacam ini. Tapi faktor yang paling penting adalah jumlah episode. Saya pernah mencoba nonton salah satu drama korea, tapi begitu melihat jumlah episodenya yang mencapai angka 26, batal deh.
Setiap siang, biasanya ada satu atau dua penghuni kos yang khusyuk nonton film India di ruang tamu. Film jadul yang diputar berulang kali sampai-sampai penonton bisa hapal beberapa dialognya. Saya yang baru pulang memilih mengurung diri dalam kamar. Tapi, lari dari film India malah masuk drama Jepang (halah). Berawal dari opening yang unik, saya justru larut nonton drama. Ada lima kata di bagian opening drama ini yang mewakili karakter setiap tokoh yaitu : Love, Liberation, Agony, Solitude dan Contradiction. Ceritanya agak beda dengan drama kebanyakan karena mengusung tema domestic violence, broken home dan pengalaman traumatis. Karena tidak berminat lama-lama di drama sepanjang 11 episode ini, jadi saya menonton sambil men-skip. Bila sudah paham jalan cerita tiap episode, dialog yang panjang-panjang dilewati saja demi menghemat waktu.
Di antara semua tokoh, yang paling menarik perhatian saya adalah karakter si Contradiction. Benar-benar kontradiksi. Paling antagonis di antara tokoh yang lain. Sikapnya yang posesif dan ringan tangan sukses membuat penonton emosi. Tapi di sisi lain, karakter ini justru bersikap hangat dan kebapakan terhadap anak kecil yang ditemuinya. Saya jadi tidak bisa membencinya. Ekspresi datarnya membuat saya beranggapan bahwa orang ini sebenarnya menderita. Akhir ceritanya juga boleh dibilang sempurna dengan kematian tokoh ini. Walau sebelum itu berkali-kali saya bergumam dalam hati, “Jangan mati. Ayolah, jangan mati. Kau bisa memulai semuanya dari awal lagi.” Drama yang bagus karena mampu membuat mata saya berkaca-kaca. Terakhir kali nangis sesenggukan (halah) nonton drama adalah sewaktu menonton Nankyoku Tairiku. Pemilihan Prisoner of Love-nya Utada Hikaru juga sangat pas dalam drama ini.
Dari segi jenis drama, penghuni kos saya terbagi beberapa kecenderungan. Ada penyuka drama Korea, ada penyuka film India, ada penyuka film Indonesia asal pemerannya Reza Rahadian dan ada penyuka drama jepang. Beberapa kali saya ditawari nonton drama korea, tapi sangat jarang ada yang menarik, atau minimal memancing rasa penasaran. Saya selalu tidak bisa menyelesaikan episode pertama. Kalau satu episode saja tidak bisa selesai, bagaimana lagi episode selanjutnya. Selain itu, jujur saja, drama korea sering membuat saya bingung. Semuanya cantik, dan agak mirip satu sama lain. Saya jadi kesulitan membedakan setiap tokoh. Saya juga tidak suka adegan drama yang pemerannya menangis keras, kadang lebih cocok disebut berteriak dibanding menangis. Sejauh pengamatan saya, drama Korea banyak menampilkan hal semacam ini. Tapi faktor yang paling penting adalah jumlah episode. Saya pernah mencoba nonton salah satu drama korea, tapi begitu melihat jumlah episodenya yang mencapai angka 26, batal deh.
Setiap siang, biasanya ada satu atau dua penghuni kos yang khusyuk nonton film India di ruang tamu. Film jadul yang diputar berulang kali sampai-sampai penonton bisa hapal beberapa dialognya. Saya yang baru pulang memilih mengurung diri dalam kamar. Tapi, lari dari film India malah masuk drama Jepang (halah). Berawal dari opening yang unik, saya justru larut nonton drama. Ada lima kata di bagian opening drama ini yang mewakili karakter setiap tokoh yaitu : Love, Liberation, Agony, Solitude dan Contradiction. Ceritanya agak beda dengan drama kebanyakan karena mengusung tema domestic violence, broken home dan pengalaman traumatis. Karena tidak berminat lama-lama di drama sepanjang 11 episode ini, jadi saya menonton sambil men-skip. Bila sudah paham jalan cerita tiap episode, dialog yang panjang-panjang dilewati saja demi menghemat waktu.
Di antara semua tokoh, yang paling menarik perhatian saya adalah karakter si Contradiction. Benar-benar kontradiksi. Paling antagonis di antara tokoh yang lain. Sikapnya yang posesif dan ringan tangan sukses membuat penonton emosi. Tapi di sisi lain, karakter ini justru bersikap hangat dan kebapakan terhadap anak kecil yang ditemuinya. Saya jadi tidak bisa membencinya. Ekspresi datarnya membuat saya beranggapan bahwa orang ini sebenarnya menderita. Akhir ceritanya juga boleh dibilang sempurna dengan kematian tokoh ini. Walau sebelum itu berkali-kali saya bergumam dalam hati, “Jangan mati. Ayolah, jangan mati. Kau bisa memulai semuanya dari awal lagi.” Drama yang bagus karena mampu membuat mata saya berkaca-kaca. Terakhir kali nangis sesenggukan (halah) nonton drama adalah sewaktu menonton Nankyoku Tairiku. Pemilihan Prisoner of Love-nya Utada Hikaru juga sangat pas dalam drama ini.