Saya ini
pencoret-coret, bukan penulis. Orang disebut penulis
bila sudah menerbitkan buku. Disebut penulis bila tulisannya dimuat di berbagai
surat kabar, tabloid atau majalah. Disebut penulis bila tulisan tetap fokus
dari awal sampai akhir. Sementara pencoret-coret, seperti saya misalnya, hanya
tipe yang senang mengisi lembar kosong di kala senggang. Tipe yang bila
menulis, judul lari ke timur dan isi lari ke barat.
Awal mula menulis, karena saya kesulitan menguraikan jalinan-jalinan rumit di kepala. Seperti ada benang panjang dengan berbagai warna berkelindan di dalam sana. Lebih buruk lagi saya bukan orang terbuka. Hasil tes sidik jari menyebutkan saya termasuk tipe introvert. Tapi juga tidak begitu menutup diri. Setidaknya masih tahu kapan harus membaur dan kapan harus menarik diri. Pribadi introvert membuat seseorang terbiasa mengungkapkan setengah saja dari apa yang dipikirkannya. Bahkan mungkin lebih sedikit lagi. Suatu ketika saya sadar semakin sulit mengekspresikan sesuatu. Saya lalu mengambil pena dan mulai menulis apa yang ada di kepala. Apa yang saya pikirkan, saksikan dan rasakan dituangkan dalam tulisan. Menulis membantu menemukan kata yang mewakili apa yang sebelumnya sulit saya ungkapkan. Menulis, pada awalnya, adalah cara untuk menolong diri saya sendiri.
Setidaknya, ada lima buku harian kecil hasil dari pekerjaan mencoret-coret itu. Dari keseluruhan, tidak ada yang benar-benar terisi sampai lembar terakhir. Selalu ada belasan lembar yang dibiarkan kosong begitu saja. Di suatu malam yang cerah, menjelang berangkat kuliah ke kota, buku-buku itu dikumpulkan di halaman rumah nenek. Ditumpuk bersama sampah plastik, ranting pohon, daun-daun kering dan beberapa kotak kardus, lalu dibakar hingga menjadi abu. Menulis adalah pekerjaan yang menyakitkan ternyata. Tetapi menulis juga bisa menyenangkan. Mungkin karena menjadi alat untuk mengenal diri. Mungkin juga untuk menipu diri. Mungkin juga semacam percobaan untuk menyembuhkan diri. Setiap orang bisa berpindah-pindah pada situasi berbeda.
Bagaimana pun, membubuhkan makna pada kalimat itu menyenangkan. Membaca kalimat yang indah itu menyenangkan. Menemukan kata yang tepat untuk suatu kondisi itu menyenangkan. Dan membagi hal-hal menyenangkan kepada orang lain pun sesuatu yang menyenangkan. Seperti kata Chris Johnson dalam Into The Wild, Happiness only real when shared. Kesepakatan saya dengan Chris hanya untuk kalimat terakhirnya sebelum wafat. Bukan pada pilihan hidupnya yang mengasingkan diri karena kecewa pada masyarakat. Kita memang harus berani hidup sendirian. Tapi bukan dengan lari dari orang-orang. Saya lebih sepakat dengan Eric Weiner dalam The Geography of Bliss, bahwa tak bisa dipungkiri, kebahagiaan itu berasal dari orang-orang di sekitar kita.
Kita adalah manusia yang terjebak di antara dua waktu. Masa lalu dan masa depan. Sesuatu yang tak dapat diubah dan sesuatu yang tak pernah pasti. Kita berjalan tepat di tengah-tengah. Terkadang, saya merasa seperti ditarik dari arah depan dan belakang. Kadang dari arah kiri dan kanan. Kadang juga seperti ditarik dari segala penjuru. Rasanya seperti berdiri dengan tubuh yang utuh tapi tercerai-berai di dalam. Mungkin itu tarikan dari sesuatu di masa lalu, mungkin tarikan harapan dari masa depan, mungkin tarikan pengaruh baik, mungkin juga dari pengaruh buruk. Saya berusaha menjabarkannya. Memilahnya satu-satu, mendefinisikannya satu per satu. Karena itu saya menulis.
Tapi saya hanya pencoret-coret. Tulisan saya bukan karya sastra, apalagi seni. Bila menginginkan seni atau sastra, kata Haruki Murakami, sebaiknya baca saja karya orang Yunani. Sebab sistem perbudakan sangat diperlukan untuk menciptakan seni murni. Begitulah yang terjadi di zaman Yunani kuno, budak-budak membajak ladang, mengolah makanan, mendayung perahu, sementara saat itu penduduk kota tenggelam dalam pembuatan sajak di bawah mentari laut tengah dan mengutak-atik matematika.
Kita hidup di tengah putaran waktu yang cepat. Segala sesuatu berlalu. Tak seorang pun mampu menangkap semua itu. Sebagian bisa dipetik hikmahnya. Sebagian lagi tidak. Sebagian kita sadari, selebihnya tidak. Seperti itulah kita menjalani hidup. Mungkin, karena itu juga saya menulis.
Saya bukan pensil yang bisa menulis kebahagiaan orang lain. Juga bukan penghapus yang bisa menghapus kesedihan orang lain. Tetapi Ali bin Abi Thalib pernah berkata, tulislah sesuatu yang akan membahagiakanmu di akhirat. Saya sadar, tulisan saya kebanyakan hal-hal yang tidak penting. Yang tidak berarti di antara ribuan tulisan lain yang memberi manfaat bagi orang-orang. Saya juga tidak berjanji akan selalu menulis hal-hal yang berguna. Tapi saya berharap, kata-kata Ali bin Abi Thalib itu selalu menjadi pengingat yang baik di kala terlupa.
Awal mula menulis, karena saya kesulitan menguraikan jalinan-jalinan rumit di kepala. Seperti ada benang panjang dengan berbagai warna berkelindan di dalam sana. Lebih buruk lagi saya bukan orang terbuka. Hasil tes sidik jari menyebutkan saya termasuk tipe introvert. Tapi juga tidak begitu menutup diri. Setidaknya masih tahu kapan harus membaur dan kapan harus menarik diri. Pribadi introvert membuat seseorang terbiasa mengungkapkan setengah saja dari apa yang dipikirkannya. Bahkan mungkin lebih sedikit lagi. Suatu ketika saya sadar semakin sulit mengekspresikan sesuatu. Saya lalu mengambil pena dan mulai menulis apa yang ada di kepala. Apa yang saya pikirkan, saksikan dan rasakan dituangkan dalam tulisan. Menulis membantu menemukan kata yang mewakili apa yang sebelumnya sulit saya ungkapkan. Menulis, pada awalnya, adalah cara untuk menolong diri saya sendiri.
Setidaknya, ada lima buku harian kecil hasil dari pekerjaan mencoret-coret itu. Dari keseluruhan, tidak ada yang benar-benar terisi sampai lembar terakhir. Selalu ada belasan lembar yang dibiarkan kosong begitu saja. Di suatu malam yang cerah, menjelang berangkat kuliah ke kota, buku-buku itu dikumpulkan di halaman rumah nenek. Ditumpuk bersama sampah plastik, ranting pohon, daun-daun kering dan beberapa kotak kardus, lalu dibakar hingga menjadi abu. Menulis adalah pekerjaan yang menyakitkan ternyata. Tetapi menulis juga bisa menyenangkan. Mungkin karena menjadi alat untuk mengenal diri. Mungkin juga untuk menipu diri. Mungkin juga semacam percobaan untuk menyembuhkan diri. Setiap orang bisa berpindah-pindah pada situasi berbeda.
Bagaimana pun, membubuhkan makna pada kalimat itu menyenangkan. Membaca kalimat yang indah itu menyenangkan. Menemukan kata yang tepat untuk suatu kondisi itu menyenangkan. Dan membagi hal-hal menyenangkan kepada orang lain pun sesuatu yang menyenangkan. Seperti kata Chris Johnson dalam Into The Wild, Happiness only real when shared. Kesepakatan saya dengan Chris hanya untuk kalimat terakhirnya sebelum wafat. Bukan pada pilihan hidupnya yang mengasingkan diri karena kecewa pada masyarakat. Kita memang harus berani hidup sendirian. Tapi bukan dengan lari dari orang-orang. Saya lebih sepakat dengan Eric Weiner dalam The Geography of Bliss, bahwa tak bisa dipungkiri, kebahagiaan itu berasal dari orang-orang di sekitar kita.
Kita adalah manusia yang terjebak di antara dua waktu. Masa lalu dan masa depan. Sesuatu yang tak dapat diubah dan sesuatu yang tak pernah pasti. Kita berjalan tepat di tengah-tengah. Terkadang, saya merasa seperti ditarik dari arah depan dan belakang. Kadang dari arah kiri dan kanan. Kadang juga seperti ditarik dari segala penjuru. Rasanya seperti berdiri dengan tubuh yang utuh tapi tercerai-berai di dalam. Mungkin itu tarikan dari sesuatu di masa lalu, mungkin tarikan harapan dari masa depan, mungkin tarikan pengaruh baik, mungkin juga dari pengaruh buruk. Saya berusaha menjabarkannya. Memilahnya satu-satu, mendefinisikannya satu per satu. Karena itu saya menulis.
Tapi saya hanya pencoret-coret. Tulisan saya bukan karya sastra, apalagi seni. Bila menginginkan seni atau sastra, kata Haruki Murakami, sebaiknya baca saja karya orang Yunani. Sebab sistem perbudakan sangat diperlukan untuk menciptakan seni murni. Begitulah yang terjadi di zaman Yunani kuno, budak-budak membajak ladang, mengolah makanan, mendayung perahu, sementara saat itu penduduk kota tenggelam dalam pembuatan sajak di bawah mentari laut tengah dan mengutak-atik matematika.
Kita hidup di tengah putaran waktu yang cepat. Segala sesuatu berlalu. Tak seorang pun mampu menangkap semua itu. Sebagian bisa dipetik hikmahnya. Sebagian lagi tidak. Sebagian kita sadari, selebihnya tidak. Seperti itulah kita menjalani hidup. Mungkin, karena itu juga saya menulis.
Saya bukan pensil yang bisa menulis kebahagiaan orang lain. Juga bukan penghapus yang bisa menghapus kesedihan orang lain. Tetapi Ali bin Abi Thalib pernah berkata, tulislah sesuatu yang akan membahagiakanmu di akhirat. Saya sadar, tulisan saya kebanyakan hal-hal yang tidak penting. Yang tidak berarti di antara ribuan tulisan lain yang memberi manfaat bagi orang-orang. Saya juga tidak berjanji akan selalu menulis hal-hal yang berguna. Tapi saya berharap, kata-kata Ali bin Abi Thalib itu selalu menjadi pengingat yang baik di kala terlupa.