Ketika
melihat hamparan padang pasir yang luas dari ketinggian ribuan kaki, saya sadar
semakin dekat dengan tempat tujuan. Hingga beberapa bulan lalu, tak pernah
terpikir saya bisa mengunjungi kedua kota ini, Madinah dan Makkah. Tak pernah
terpikir saya bisa umrah sementara belum punya penghasilan tetap. Selama ini
saya membayangkan, kalau pun bisa umrah mungkin nanti di umur 40an tahun. Tapi
segalanya berlangsung demikian cepat. Pemberitahuan dari ibu, tumpukan tugas
kuliah yang belum selesai, kebimbangan saya, nasihat tante, hingga akhirnya
saya memutuskan untuk ikut. Di kemudian hari, saya bersyukur itu adalah salah
satu keputusan terbaik yang pernah saya ambil. Pun hari-hari selama berada di
sana adalah hari-hari terbaik dalam hidup saya. Segala puji hanya milik Allah yang
telah mengizinkan saya mengunjungi kedua kota yang penuh berkah itu.
Pada hari
Selasa, saya menjejakkan kaki di bandara internasional Prince Mohammad bin
Abdulaziz, Madinah. Begitu keluar dari pintu pesawat, angin musim dingin bersuhuu
15 derajat celcius datang menyambut. Rasanya seperti berada di dalam ruangan
kecil dengan lima pendingin udara. Sangat dingin. Mengingatkan suhu air di desa
Bone-bone Enrekang pada jam tiga pagi.
Kami tiba
pukul 8 pagi, sementara hotel baru buka sekitar pukul sembilan. Jadi sambil
menunggu hotel buka, kami diajak keliling mengunjungi Jabal Magnet. Tempat itu
bukanlah tempat bersejarah, hanya saja tanahnya mengandung magnet. Pemandu kami
menyarankan bahwa sebaiknya peralatan seperti ponsel, kamera dan benda-benda
elektronik lainnya di pegang erat-erat selama di sana sebab kekuatan magnetnya
bisa menerbangkan benda-benda semacam itu. Tempat itu pertama kali diketahui
mengandung magnet ketika mobil seorang pengemudi mogok saat melewati jalan itu.
Anehnya, walaupun mesin sudah mati, mobil tersebut tetap melaju kencang.
Selepas itu,
pemandu berencana membawa kami ke percetakaan Al Qur’an. Tetapi karena
terlambat dan percetakan sudah tutup, kami pun dibawa menuju hotel Dallah Thaibah,
tempat penginapan kami selama beberapa hari di Madinah. Jarak antara hotel itu
sangat dekat dari Masjid Nabawi, hanya perlu berjalan beberapa langkah.
Jalanan di
depan Masjid Nabawi dipenuhi berbagai macam dagangan mulai dari pakaian,
jilbab, pernak-pernik, buah-buahan, coklat, tas, sepatu, kaos kaki, peralatan
makan sampai Al Qur’an. Sambil menunggu kamar dipersiapkan, saya jalan-jalan
sebentar di sekitar hotel.
Jalan raya di
Madinah tidak dbanyak dihiasi papan iklan. Seingat saya hanya papan iklan susu
formula untuk balita dan merk kartu SIM ponsel yang sempat terlihat. Selain
itu, papan-papan yang ada hanya ajakan berdzikir kepada Allah, berbeda dengan
Indonesia yang banyak menampilkan wajah caleg di sepanjang jalan. Kota Madinah
tidak terlalu ramai. Kendaraan didominasi oleh mobil. Saya hanya sekali melihat
orang naik motor. Itu pun seorang polisi yang bertugas dengan motor dinas. Lalu
lintas lancar, tidak ada istilah macet di sana.
Jalanan
sekitar hotel selalu padat setiap menjelang shalat. Para pedagang mulai menutup
toko atau meninggalkan dagangannya ketika adzan berkumandang. Pertama kali
memasuki masjid Nabawi saya seperti orang udik, tak bisa menutup mulut
karena mengagumi payung-payung raksasa di pelataran masjid. Ribuan muslim dari
berbagai belahan dunia ada di sana. Wajah Eropa, Asia, Timur tengah dan Afrika
berbaur menjadi satu. Sulit menjelaskan perasaan saya saat itu. Walaupun dari
segi wajah sangat mudah dikenali bahwa saya orang Indonesia tapi di sana tak
ada yang memandang aneh dengan jilbab yang saya kenakan. Tak ada yang memandang
sinis apalagi takut. Berbeda ketika masih di bandara Soekarno Hatta Jakarta.
Luas Masjid
Nabawi 8,2 hektar. Di Masjid inilah terdapat Al-Rawdah, tempat yang
makbul untuk berdoa. Makam Rasulullah Shallallahu
‘alaihi Wasallam beserta dua shahabatnya, Abu Bakar dan Umar bin Khattab
juga ada di sana. Seluruh istri-istri Nabi dimakamkan di Madinah kecuali ibunda
Khadijah dan Maemunah yang dimakamkan di kota Makkah. Masjid Nabawi dilengkapi deretan al Qur’an di setiap pilarnya. Al Qur’an terjemahan berbagai bahasa
pun ada mulai dari bahasa Indonesia, Inggris, Turki, Rusia dll. Selain itu, ada
ratusan tempat penampungan air zam-zam yang dapat diminum setiap saat.
Al-Rawdah |
Ciri khas
lain kota Madinah adalah pohon kurma yang menghasilkan kurma-kurma terbaik. Penduduk
Makkah sendiri lebih sering membeli kurma Madinah karena keberkahannya. Pohon
kurma juga mempunyai sifat-sifat yang mirip dengan manusia. Salah satunya
adalah tidak bisa tumbuh dengan baik bila ditanam sendirian. Sewaktu ziarah ke
berbagai tempat, kami di bawa ke kebun dan toko kurma. Saat ibu sibuk membeli
kurma, saya sibuk makan coklat, sebab semua coklat di sana halal. Halal yang
dimaksud adalah kau bisa makan coklat sepuasnya alias gratis.
Saat saya bertanya apakah boleh mencoba setiap jenis coklat, penjual itu
mengiyakan. Katanya, dari kotak sini sampai kotak sana kau bisa ambil sesukamu.
Saya pun keluar dari toko itu dengan mengantongi belasan coklat mulai rasa
jeruk sampai rasa kelapa. Tapi karena ini pulalah maka harga kurma yang dijual
menjadi lebih mahal. Jadi sebenarnya tidak ada yang benar-benar gratis.
Hujan adalah
fenomena alam yang langka di sana. Sebegitu langkanya hingga bila hujan turun,
orang akan beramai-ramai keluar menonton. Bila di Jakarta orang jenuh dengan
banjir, orang Madinah justru senang melihat banjir.
Semua
informasi tersebut disampaikan oleh pemandu kami. Oh ya, perkenalkan pemandu
kami bernama Ahmad, sudah lebih dari tiga tahun tinggal di Makkah. Orangnya
sabar dan ramah menghadapi setiap peserta rombongan, terlebih pada mereka yang
sudah tua dan sering kesasar bila keluar hotel. Usianya mungkin lebih muda dari
saya. Setelah lulus pesantren di Jawa Timur dia langsung kuliah di Makkah. Tante
bercerita bahwa umumnya orang Indonesia yang kuliah di sana kerja
sampingan sebagai pemandu rombongan umrah, koki atau pramusaji.