02 March 2014

Jejak Kaki di Tanah Suci (3)

Berbeda dengan Madinah yang dingin, cuaca di kota Makkah panas menyilaukan. Harga barang-barang di Makkah juga lebih mahal dibanding Madinah. Sejauh pengamatan saya, jarang dijumpai perempuan berdagang di kota itu. Kebanyakan pedagang adalah kaum laki-laki. Kecuali saat mengambil miqat di Tan’im, saya melihat pedagang perempuan di sekitar masjid. Di Madinah, perempuan ikut berjualan di pinggir jalan membantu suami mereka. Bila masuk waktu shalat, mereka akan meninggalkan barang dagangan dan ikut berjamaah di masjid Nabawi. Kondisi ini mengingatkan akan perbedaan wanita muhajirin dan wanita anshar di masa Rasulullah. Wanita anshar lebih aktif dan tidak segan-segan bertanya bila ada yang kurang mereka pahami ketika menuntut ilmu.

Masjidil Haram jauh lebih besar dan megah dibanding Masjid Nabawi. Juga lebih padat manusia. Bila Masjid Nabawi sepi pada jam 1-3 pagi, Masjidil Haram tak pernah sepi dari manusia. Semakin larut malam manusia semakin memadati masjid, entah melaksanakan shalat, thawaf, sai’I atau mengaji. Boleh dibilang mungkin itu satu-satunya tempat yang tak pernah sepi dari orang yang beribadah. Terlebih di hari Jumat, sebab Jumat merupakan hari libur di sana, bukan hari ahad. Di Masjidil Haram kita bisa sepuasnya minum air zam-zam. Orang-orang biasanya membawa botol kosong untuk diisi lalu diminum selama di hotel. Tetapi berbeda dengan Masjid Nabawi yang punya banyak toilet bawah tanah, di Masjidil Haram antrian toilet bisa sangat panjang dan berjam-jam. Karena itu disarankan pilihlah hotel yang dekat dari masjid sehingga bila ingin buang air tidak perlu lama-lama mengantri. Saat ini masjidil Haram dalam proses perluasan. Karena itu beberapa hotel di sekitarnya diruntuhkan. Proyek tersebut diperkirakan akan rampung pada tahun 2020.


Karena padatnya manusia di Masjidil Haram, orang jadi bebas berlalu lalang lewat di depan orang shalat. Saran saya, bawa tas selempang setiap ke masjid sebagai sutrah agar tidak melangkahi oang shalat. Selain daripada itu, yang paling penting adalah kekuatan bertahan dan kesabaran. Di masjidil Haram berkumpul kaum muslimin dari berbagai negara dan tentu saja budaya yang berbeda. Kita orang Indonesia rata-rata berperawakan kecil, berbeda dengan orang-orang Timur Tengah, Eropa atau Rusia yang tinggi besar. Pergerakan mereka juga cepat. Kita bisa terlempar kesana kemari kalau disenggol mereka. Kadang saat sujud, tangan atau kepala harus rela terinjak oleh mereka. Tapi begitulah kondisi di sana karena begitu padatnya manusia. Padahal sebenarnya mereka tidak berniat meyakiti.

Pernah saya lihat seorang bapak melewati satu barisan yang duduk-duduk menunggu waktu maghrib. Tanpa sengaja kakinya mengenai kepala bocah laki-laki berumur lima tahun. Ketika menyadari itu, si bapak berbalik mengusap kepala bocah itu dan mencium puncak kepalanya. Saya juga beberapa kali melihat orang yang sedang berjalan ditabrak kursi roda dari belakang. Orang yang mendorong kursi roda tersebut lalu memberi isyarat dengan meletakkan tangan di atas kepalanya dan menggumamkan beberapa kalimat yang saya tangkap sebagai permintaan maaf.

Selama di Makkah kami ziarah ke padang Arafah yang pada musim haji dipenuhi lautan manusia. Kami juga mengunjungi Jabal Tsur, tempat persembunyian Rasulullah Shalllallahu ‘alaihi wasallam  bersama Abu Bakar dari kejaran kafir Quraisy. Juga mengunjungi Jabal Rahmah, tempat pertemuan Adam dan Hawa. Sewaktu diturunkan ke bumi, Adam turun di Sri Lanka dan Hawa turun di Jeddah. Setelah 200 tahun keduanya bertemu kembali di Makkah, tepatnya di Jabal Rahmah. Wallahu’alam apakah cerita itu shahih atau tidak. Tapi yang jelas tempat itu hanya tempat bersejarah. Tidak ada keutamaan terkait jodoh seperti yang dipahami sebagian orang. Sayangnya, masih banyak yang melakukan sesuatu yang tidak ada tuntunannya dalam islam seperti menuliskan nama atau menyimpan foto di sela bebatuan dengan harapan agar berjodoh dengan orang yang ditulis namanya atau yang disimpan fotonya itu.

Jabal Tsur
Jabal Rahma
 
;