Berbeda
dengan Madinah yang dingin, cuaca di kota Makkah panas menyilaukan. Harga barang-barang
di Makkah juga lebih mahal dibanding Madinah. Sejauh pengamatan saya, jarang
dijumpai perempuan berdagang di kota itu. Kebanyakan pedagang adalah kaum
laki-laki. Kecuali saat mengambil miqat di Tan’im, saya melihat pedagang
perempuan di sekitar masjid. Di Madinah, perempuan ikut berjualan
di pinggir jalan membantu suami mereka. Bila masuk waktu shalat, mereka akan
meninggalkan barang dagangan dan ikut berjamaah di masjid Nabawi. Kondisi ini
mengingatkan akan perbedaan wanita muhajirin dan wanita anshar di masa
Rasulullah. Wanita anshar lebih aktif dan tidak segan-segan bertanya bila ada
yang kurang mereka pahami ketika menuntut ilmu.
Masjidil
Haram jauh lebih besar dan megah dibanding Masjid Nabawi. Juga lebih padat
manusia. Bila Masjid Nabawi sepi pada jam 1-3 pagi, Masjidil Haram tak
pernah sepi dari manusia. Semakin larut malam manusia semakin memadati masjid,
entah melaksanakan shalat, thawaf, sai’I atau mengaji. Boleh dibilang mungkin
itu satu-satunya tempat yang tak pernah sepi dari orang yang beribadah. Terlebih
di hari Jumat, sebab Jumat merupakan hari libur di sana, bukan hari ahad. Di
Masjidil Haram kita bisa sepuasnya minum air zam-zam. Orang-orang biasanya membawa botol
kosong untuk diisi lalu diminum selama di hotel. Tetapi berbeda dengan Masjid
Nabawi yang punya banyak toilet bawah tanah, di Masjidil Haram antrian toilet
bisa sangat panjang dan berjam-jam. Karena itu disarankan pilihlah hotel yang
dekat dari masjid sehingga bila ingin buang air tidak perlu lama-lama
mengantri. Saat ini masjidil Haram dalam proses perluasan. Karena itu beberapa
hotel di sekitarnya diruntuhkan. Proyek tersebut diperkirakan akan rampung pada
tahun 2020.
Karena
padatnya manusia di Masjidil Haram, orang jadi bebas berlalu lalang lewat di
depan orang shalat. Saran saya, bawa tas selempang setiap ke masjid sebagai
sutrah agar tidak melangkahi oang shalat. Selain daripada itu, yang paling
penting adalah kekuatan bertahan dan kesabaran. Di masjidil Haram berkumpul
kaum muslimin dari berbagai negara dan tentu saja budaya yang berbeda. Kita
orang Indonesia rata-rata berperawakan kecil, berbeda dengan orang-orang Timur
Tengah, Eropa atau Rusia yang tinggi besar. Pergerakan mereka juga cepat. Kita bisa
terlempar kesana kemari kalau disenggol mereka. Kadang saat sujud, tangan
atau kepala harus rela terinjak oleh mereka. Tapi begitulah kondisi di
sana karena begitu padatnya manusia. Padahal sebenarnya mereka tidak berniat
meyakiti.
Pernah saya
lihat seorang bapak melewati satu barisan yang duduk-duduk menunggu waktu
maghrib. Tanpa sengaja kakinya mengenai kepala bocah laki-laki berumur lima
tahun. Ketika menyadari itu, si bapak berbalik mengusap kepala bocah itu dan
mencium puncak kepalanya. Saya juga beberapa kali melihat orang yang sedang
berjalan ditabrak kursi roda dari belakang. Orang yang mendorong kursi roda
tersebut lalu memberi isyarat dengan meletakkan tangan di atas kepalanya dan
menggumamkan beberapa kalimat yang saya tangkap sebagai permintaan maaf.
Selama
di Makkah kami ziarah ke padang Arafah yang pada musim haji dipenuhi lautan
manusia. Kami juga mengunjungi Jabal Tsur, tempat persembunyian
Rasulullah Shalllallahu ‘alaihi wasallam bersama Abu Bakar dari kejaran kafir Quraisy. Juga mengunjungi Jabal Rahmah, tempat pertemuan Adam dan Hawa. Sewaktu
diturunkan ke bumi, Adam turun di Sri Lanka dan Hawa turun di Jeddah. Setelah 200
tahun keduanya bertemu kembali di Makkah, tepatnya di Jabal Rahmah. Wallahu’alam
apakah cerita itu shahih atau tidak. Tapi yang jelas tempat itu hanya tempat
bersejarah. Tidak ada keutamaan terkait jodoh seperti yang dipahami sebagian
orang. Sayangnya, masih banyak yang melakukan sesuatu yang tidak ada
tuntunannya dalam islam seperti menuliskan nama atau menyimpan foto di sela
bebatuan dengan harapan agar berjodoh dengan orang yang ditulis namanya atau yang
disimpan fotonya itu.
Jabal Tsur |
Jabal Rahma |