Pertemuan itu terjadi setelah Thawaf Wada’, tepat di malam terakhir sebelum berangkat
ke Jeddah. Saat itu kami memilih thawaf di lantai dua yang lebih sedikit orang
dan sebenarnya diperuntukkan bagi mereka yang memakai kursi roda. Dari
lantai dua, Ka’bah dan orang-orang di bawah terlihat lebih jelas. Di
lantai dua kita tidak perlu berdesak-desakan thawaf. Shalat juga bisa lebih
tenang.
Setelah menyelesaikan putaran thawaf, saya mencari tempat kosong agar ayah dan ibu
bisa shalat di bagian paling depan. Sehingga tidak ada yang menghalangi pandangan
mereka dari Ka’bah. Karena tempat kosong yang saya dapat hanya muat dua orang,
saya persilakan ayah dan ibu shalat duluan. Sementara saya menunggu salah
satunya selesai agar bisa gantian. Saat menunggu itulah seorang lelaki yang
sejak tadi duduk di kursi kecil di samping ibu memberi isyarat kepada saya
dengan memundurkan kursinya. Dengan begitu ada ruang kosong bagi saya untuk shalat di
samping kiri ibu. Sementara saya shalat, dia duduk di belakang. Setelah shalat,
ternyata orang itu sudah pindah ke samping kiri saya. Yang dilakukannya hanya
duduk menatap Ka’bah di bawah.
“Maaf, kau
bisa bahasa arab ?”, sapanya
Refleks saya
menoleh, tapi matanya tak lepas dari Ka’bah. Setelah yakin bahwa sayalah yang
ditanya, saya pun menggeleng.
“Tidak bisa”
“Bahasa
Inggris ?”
“Sedikit”
Dia
menyodorkan sebuah kartu berwarna coklat yang di dalamnya terdapat cetakan
huruf arab. Walaupun tidak paham arab gundul tapi saya tahu kartu itu memuat 99 nama Allah.
“Ambillah”,
katanya
“Ini untukku
?”
“Ya.
Ambillah”
“Terima
kasih”
“Apa kau tahu
surah Al Mulk?”
Pertanyaannya
itu mengawali pembahasan panjang yang akan memakan waktu lebih dari satu jam.
Dia memulainya dari surah Al Mulk, menjelaskan keutamaan surah itu. Bahwa bila
membacanya akan menjaadi syafa’at di hadapan Allah, bahwa surah itu termasuk
surah-surah yang dibaca Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam sebelum tidur di malam hari. Setelah itu berpindah pada keutamaan
membaca surah Al Kahfi. Membaca surah ini pada hari jumat akan dipancarkan
cahaya dari kaki hingga ke baitul atiq, katanya sambil menunjuk sepatunya dan
menarik garis ke atas Ka’bah. Selain itu akan diampuni dosa di antara dua jumat
dan diselamatkan dari fitnah Dajjal. Selesai Al Kahfi, dia pindah ke surah An
Nisa lalu berpindah lagi ke surah Al Baqarah. Lebih lanjut dia mengingatkan
tentang ghibah dan namimah, dua perbuatan yang seringkali tanpa disadari
mengggelincirkan pelakunya. Saya diam mendengarkan dengan seksama sambil
menatap kerumunan manusia di lantai bawah, sesekali menimpali, bertanya atau minta diulangi sebab di
sekitar terlalu ramai oleh orang yang sedang thawaf. Sudah lewat 40 menit dia membahas
cepat berbagai materi. Dan selama itu pula saya belum tahu dengan siapa saya berbicara.
“Maaf, boleh
tahu namamu ?”, tanya saya
“Raith”
Kening saya
berkerut mendengar nama yang asing itu.
“Raith ?”
“Ya,
R-A-I-T-H. Raith”
“Saya tidak
pernah mendengar nama itu sebelumnya”
Dia mengeluarkan kartu identitasnya, mungkin semacam KTP. Terlihat foto, nama dan
beberapa hal tentang dirinya. Saya menggeleng-geleng melihat kartu itu oleh karena tidak bisa baca arab gundul. Raith tersenyum dan
membalik kartu tersebut. Di baliknya ada kotak berwarna kuning emas, seperti yang
ada di kartu SIM telepon seluler. Dia menjelaskan bahwa kartu itu memudahkannya
melakukan perjalanan ke negara-negara di Timur Tengah. Mungkin sama seperti
Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina atau sesama negara Asean.
Dari hasil tanya
jawab, Raith adalah penduduk Makkah. Tapi penampilannya berbeda dengan kebanyakan
orang Arab yang memakai gamis putih dan bersorban. Dia memakai sepatu kets
warna hitam, celana kain, baju kaos, jaket, kupluk berwarna abu-abu dan ransel
hitam. Raith justru terlihat seperti pendatang dibanding penduduk asli. Tampaknya
dia orang yang suka bepergian. Ketika tahu saya dari Indonesia, dia
tersenyum mengatakan pernah mengunjungi Jakarta dan Madura. Tak banyak lagi
yang saya tahu tentangnya selain bahwa dia baru mengunjungi seorang teman
di London.
Dia menanyakan nama saya, kesibukan sehari-hari serta bertanya nama ibu yang
duduk di samping kanan saya. Terakhir, Raith memberi saya sebatang siwak, menjelaskan
keutamaan siwak dan manfaatnya. Dia bertanya apa orang Indonesia juga suka
bersiwak. Saya menggeleng, kami lebih familiar dengan sikat gigi, kata saya. Raith
tertawa. Jam di menara Zam-Zam menunjukkan pukul 11:30. Kami bersiap-siap
pulang ke hotel. Raith berdiri menggeser kursi. Saya menatap sepatunya sejenak,
lalu mengangkat wajah dan berterima kasih untuk semua ilmu dan nasihat yang disampaikannya.
Dia tersenyum mengangguk. Setelah itu kembali ke posisinya semula, duduk di
kursi menatap ke arah Ka’bah. Sambil berjalan pulang, tak tahu kenapa saya
seperti ingin menangis.
Malam itu
adalah malam terakhir di kota Makkah, di masjidil Haram. Saya tak tahu kapan lagi
bisa kembali ke tempat yang penuh berkah itu. Saya tak tahu apa masih punya
kesempatan untuk shalat dan thawaf di sana. Saya tak tahu apa ibadah saya
selama di sana diterima oleh Allah atau tidak. Saya tak tahu apa masih bisa
bertemu lagi dengan orang-orang yang saya temui selama perjalanan. Dengan Mona asal Mesir, dengan seorang nenek dari Maroko, dengan seorang ibu dari Kuwait,
dengan dua pramusaji yang saya temui tiap hari, atau dengan Raith.
Saya teringat akan gambar kotak kehidupan. Gambar segi empat dengan garis yang
membelah tengahnya sampai keluar kotak. Garis tengah yang melewati kotak itu
adalah cita-cita manusia. Garis atas kotak adalah batasan umur manusia. Garis-garis
di sisi lainnya adalah ruang lingkup kehidupan manusia. Titik-titik di
dalam kotak itu adalah orang-orang yang akan dijumpainya selama hidup. Mungkin
di antara orang-orang itu, ada yang hanya sekali kau jumpai seumur hidup. Boleh
jadi Mona, nenek dari Maroko, Ibu dari Kuwait, dua pramusaji ataupun Raith, hanya sekali itu saja saya temui selama hidup saya.
Sepertinya ini
yang membuat saya merasa seperti ketinggalan dompet. Di dalam dompet itu ada Masjid
Nabawi, Masjidil Haram, Ka’bah, bukit Uhud, Al Rawdah dan mereka yang saya
temui selama berada di sana. Kalau pun ada yang saya sesali, mungkin ada tiga hal. Pertama,
kenapa saya tidak belajar bahasa Arab. Kedua, kenapa tidak lebih banyak
menghabiskan waktu di masjid. Ketiga, kenapa sampai saat terakhir, saya tidak
tahu apapun, minimal nama dua orang pramusaji itu.
Hingga
setelah beberapa hari kembali ke rutinitas biasa, saya masih belum bisa sepenuhnya
berada di sini. Suara adzan, lantunan al Qur'an imam masjid, jalanan yang sesak
oleh orang-orang yang berangkat shalat, kawanan merpati di jalan raya, suasana
thawaf, beragam bahasa asing yang tidak saya pahami, bukit-bukit batu, bangunan
tinggi serta banyak hal membuat saya sulit tidur bila mengingatnya. Tak jarang
saya suka mencocok-cocokkan waktu. Bila di sini jam segini, di sana masih jam
segini. Orang-orang mungkin masih tidur di pelataran masjid pada jam segini, matahari
mungkin sudah setinggi ini, lantai dua mungkin sudah dibuka jam segini, pramusaji
itu mungkin sibuk bawa makanan ke sana ke sini. Dengan kondisi seperti ini, saya akan butuh usaha mengembalikan seluruh panca indera dan mengingatkan
diri bahwa saya tidak lagi berada di sana. Ada banyak hal yang wajib saya
selesaikan di sini. Dan bahwa saya, bagaimana pun, harus terus melanjutkan
hidup.