02 March 2014

Namanya Raith

Pertemuan itu terjadi setelah Thawaf Wada’, tepat di malam terakhir sebelum berangkat ke Jeddah. Saat itu kami memilih thawaf di lantai dua yang lebih sedikit orang dan sebenarnya diperuntukkan bagi mereka yang memakai kursi roda. Dari lantai dua, Ka’bah dan orang-orang di bawah terlihat lebih jelas. Di lantai dua kita tidak perlu berdesak-desakan thawaf. Shalat juga bisa lebih tenang.

Setelah menyelesaikan putaran thawaf, saya mencari tempat kosong agar ayah dan ibu bisa shalat di bagian paling depan. Sehingga tidak ada yang menghalangi pandangan mereka dari Ka’bah. Karena tempat kosong yang saya dapat hanya muat dua orang, saya persilakan ayah dan ibu shalat duluan. Sementara saya menunggu salah satunya selesai agar bisa gantian. Saat menunggu itulah seorang lelaki yang sejak tadi duduk di kursi kecil di samping ibu memberi isyarat kepada saya dengan memundurkan kursinya. Dengan begitu ada ruang kosong bagi saya untuk shalat di samping kiri ibu. Sementara saya shalat, dia duduk di belakang. Setelah shalat, ternyata orang itu sudah pindah ke samping kiri saya. Yang dilakukannya hanya duduk menatap Ka’bah di bawah.

“Maaf, kau bisa bahasa arab ?”, sapanya

Refleks saya menoleh, tapi matanya tak lepas dari Ka’bah. Setelah yakin bahwa sayalah yang ditanya, saya pun menggeleng.

“Tidak bisa” 

“Bahasa Inggris ?”

“Sedikit”

Dia menyodorkan sebuah kartu berwarna coklat yang di dalamnya terdapat cetakan huruf arab. Walaupun tidak paham arab gundul tapi saya tahu kartu itu memuat 99 nama Allah.

“Ambillah”, katanya

“Ini untukku ?”

“Ya. Ambillah”

“Terima kasih”

“Apa kau tahu surah Al Mulk?” 

Pertanyaannya itu mengawali pembahasan panjang yang akan memakan waktu lebih dari satu jam. Dia memulainya dari surah Al Mulk, menjelaskan keutamaan surah itu. Bahwa bila membacanya akan menjaadi syafa’at di hadapan Allah, bahwa surah itu termasuk surah-surah yang dibaca Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sebelum tidur di malam hari. Setelah itu berpindah pada keutamaan membaca surah Al Kahfi. Membaca surah ini pada hari jumat akan dipancarkan cahaya dari kaki hingga ke baitul atiq, katanya sambil menunjuk sepatunya dan menarik garis ke atas Ka’bah. Selain itu akan diampuni dosa di antara dua jumat dan diselamatkan dari fitnah Dajjal. Selesai Al Kahfi, dia pindah ke surah An Nisa lalu berpindah lagi ke surah Al Baqarah. Lebih lanjut dia mengingatkan tentang ghibah dan namimah, dua perbuatan yang seringkali tanpa disadari mengggelincirkan pelakunya. Saya diam mendengarkan dengan seksama sambil menatap kerumunan manusia di lantai bawah, sesekali menimpali, bertanya atau minta diulangi sebab di sekitar terlalu ramai oleh orang yang sedang thawaf. Sudah lewat 40 menit dia membahas cepat berbagai materi. Dan selama itu pula saya belum tahu dengan siapa saya berbicara.

“Maaf, boleh tahu namamu ?”, tanya saya

“Raith”

Kening saya berkerut mendengar nama yang asing itu.

“Raith ?”

“Ya, R-A-I-T-H. Raith”

“Saya tidak pernah mendengar nama itu sebelumnya”

Dia mengeluarkan kartu identitasnya, mungkin semacam KTP. Terlihat foto, nama dan beberapa hal tentang dirinya. Saya menggeleng-geleng melihat kartu itu oleh karena tidak bisa baca arab gundul. Raith tersenyum dan membalik kartu tersebut. Di baliknya ada kotak berwarna kuning emas, seperti yang ada di kartu SIM telepon seluler. Dia menjelaskan bahwa kartu itu memudahkannya melakukan perjalanan ke negara-negara di Timur Tengah. Mungkin sama seperti Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina atau sesama negara Asean.

Dari hasil tanya jawab, Raith adalah penduduk Makkah. Tapi penampilannya berbeda dengan kebanyakan orang Arab yang memakai gamis putih dan bersorban. Dia memakai sepatu kets warna hitam, celana kain, baju kaos, jaket, kupluk berwarna abu-abu dan ransel hitam. Raith justru terlihat seperti pendatang dibanding penduduk asli. Tampaknya dia orang yang suka bepergian. Ketika tahu saya dari Indonesia, dia tersenyum mengatakan pernah mengunjungi Jakarta dan Madura. Tak banyak lagi yang saya tahu tentangnya selain bahwa dia baru mengunjungi seorang teman di London.

Dia menanyakan nama saya, kesibukan sehari-hari serta bertanya nama ibu yang duduk di samping kanan saya. Terakhir, Raith memberi saya sebatang siwak, menjelaskan keutamaan siwak dan manfaatnya. Dia bertanya apa orang Indonesia juga suka bersiwak. Saya menggeleng, kami lebih familiar dengan sikat gigi, kata saya. Raith tertawa. Jam di menara Zam-Zam menunjukkan pukul 11:30. Kami bersiap-siap pulang ke hotel. Raith berdiri menggeser kursi. Saya menatap sepatunya sejenak, lalu mengangkat wajah dan berterima kasih untuk semua ilmu dan nasihat yang disampaikannya. Dia tersenyum mengangguk. Setelah itu kembali ke posisinya semula, duduk di kursi menatap ke arah Ka’bah. Sambil berjalan pulang, tak tahu kenapa saya seperti ingin menangis.

Malam itu adalah malam terakhir di kota Makkah, di masjidil Haram. Saya tak tahu kapan lagi bisa kembali ke tempat yang penuh berkah itu. Saya tak tahu apa masih punya kesempatan untuk shalat dan thawaf di sana. Saya tak tahu apa ibadah saya selama di sana diterima oleh Allah atau tidak. Saya tak tahu apa masih bisa bertemu lagi dengan orang-orang yang saya temui selama perjalanan. Dengan Mona asal Mesir, dengan seorang nenek dari Maroko, dengan seorang ibu dari Kuwait, dengan dua pramusaji yang saya temui tiap hari, atau dengan Raith. 

Saya teringat akan gambar kotak kehidupan. Gambar segi empat dengan garis yang membelah tengahnya sampai keluar kotak. Garis tengah yang melewati kotak itu adalah cita-cita manusia. Garis atas kotak adalah batasan umur manusia. Garis-garis di sisi lainnya adalah ruang lingkup kehidupan manusia. Titik-titik di dalam kotak itu adalah orang-orang yang akan dijumpainya selama hidup. Mungkin di antara orang-orang itu, ada yang hanya sekali kau jumpai seumur hidup. Boleh jadi Mona, nenek dari Maroko, Ibu dari Kuwait, dua pramusaji  ataupun Raith, hanya sekali itu saja saya temui selama hidup saya.

Sepertinya ini yang membuat saya merasa seperti ketinggalan dompet. Di dalam dompet itu ada Masjid Nabawi, Masjidil Haram, Ka’bah, bukit Uhud, Al Rawdah dan mereka yang saya temui selama berada di sana. Kalau pun ada yang saya sesali, mungkin ada tiga hal. Pertama, kenapa saya tidak belajar bahasa Arab. Kedua, kenapa tidak lebih banyak menghabiskan waktu di masjid. Ketiga, kenapa sampai saat terakhir, saya tidak tahu apapun, minimal nama dua orang pramusaji itu. 

Hingga setelah beberapa hari kembali ke rutinitas biasa, saya masih belum bisa sepenuhnya berada di sini. Suara adzan, lantunan al Qur'an imam masjid, jalanan yang sesak oleh orang-orang yang berangkat shalat, kawanan merpati di jalan raya, suasana thawaf, beragam bahasa asing yang tidak saya pahami, bukit-bukit batu, bangunan tinggi serta banyak hal membuat saya sulit tidur bila mengingatnya. Tak jarang saya suka mencocok-cocokkan waktu. Bila di sini jam segini, di sana masih jam segini. Orang-orang mungkin masih tidur di pelataran masjid pada jam segini, matahari mungkin sudah setinggi ini, lantai dua mungkin sudah dibuka jam segini, pramusaji itu mungkin sibuk bawa makanan ke sana ke sini. Dengan kondisi seperti ini, saya akan butuh usaha mengembalikan seluruh panca indera dan mengingatkan diri bahwa saya tidak lagi berada di sana. Ada banyak hal yang wajib saya selesaikan di sini. Dan bahwa saya, bagaimana pun, harus terus melanjutkan hidup.

 
;